Berita
Tantangan Pendekatan Mazhab dan Persatuan Islam [1]
Sejarah masa lalu umat Islam sarat pasang surut terkait kedekatan antar sesama mereka. Sepanjang perjalanan sejarah, umat Islam pernah mencapai puncak kemajuan dan kegemilangan berkat persatuan dan solidaritas yang terjalin di antara mereka. Sementara pada sisi lain sepak terjangnya, umat Islam juga mengalami puncak kelemahan dan ketertinggalan akibat perselisihan, perseteruan, dan keterasingan satu sama lain. Tentu saja, tingkat kesuraman ini bervariasi dan tergantung pada letak geografis dan intensitas antar mazhab serta dilatarbelakangi oleh peristiwa-peristiwa yang saling terpisah.
Tudingan palsu, pengkafiran, prasangka buruk, dan fanatisme buta antara kebanyakan pengikut mazhab dalam Islam, merupakan sebuah fenomena umum di masa lalu dan sekarang. Karena itu, sangat urgen untuk memahami faktor-faktor yang melahirkan hubungan tidak sehat, konflik dan perseteruan di antara mereka. Kita perlu mengidentifikasi faktor-faktor yang telah menghalangi kerjasama dan pendekatan antar sesama Muslim. Di sini kami akan menyinggung beberapa kendala yang menciptakan jurang pemisah dan jarak di tengah umat yang agung ini.
Kebodohan dan ketidaktahuan satu sama lain.
Salah satu problema Muslim dan pengikut mazhab-mazhab Islam pada masa lalu dan sekarang adalah sangat minimnya pengetahuan dan pengenalan mereka terhadap pengikut seluruh mazhab lain. Secara umum, mereka tidak mengetahui akidah, fikih, dan akhlak kelompok lain. Dan tragisnya, kadang mereka justru memiliki pengetahuan sebaliknya tentang saudaranya sesama Muslim. Pada masa lalu, ketidaktahuan ini didominasi oleh jarak dan minimnya sarana komunikasi antara mereka. Namun, kini dunia telah berubah menjadi sebuah institut dan jarak bukan lagi halangan seiring kemajuan teknologi komunikasi, surat kabar, majalah, radio, televisi dan internet. Jadi, sekarang ketidaktahuan tersebut tidak dapat dibenarkan lagi.
Tokoh masyarakat, pemilik sarana komunikasi, para khatib dan orator perlu memberi wawasan dan pengetahuan kepada umat tentang adab, tradisi dan kepercayaan umat Islam di seluruh penjuru dunia, sehingga semua mengetahui bahwa Muslim menyerap pengetahuan Islam dari sumber yang satu, yaitu; Alquran dan hadis. Terlepas dari adat istiadat masing-masing daerah, prinsip-prinsip keyakinan dan pengetahuan Islam, mereka adalah satu dan umat yang satu. Langkah mewujudkan sikap saling pengertian dan pengenalan antara Muslim, tentu saja memberi kontribusi besar dalam melahirkan simpati dan persaudaraaan di tengah mereka.
Tudingan tak berdasar dan kesalahpahaman.
Memperhatikan buku-buku yang ditulis oleh pengikut mazhab-mazhab Islam terhadap satu sama lain, dengan penilain objektif dan ilmiah, akan terlihat jelas bahwa kebanyakan isi buku-buku tersebut tidak lebih dari tudingan palsu dan fitnah. Sayangnya, tudingan-tudingan tak berdasar itu menyebar begitu cepat di tengah umat Islam. Tudingan tersebut bisa jadi karena kebodohan penulis terhadap akidah kelompok lain, atau dampak fanantisme buta akibat dendam sejarah yang diciptakan oleh musuh-musuh Islam, lalu mereka menebarkannya di tengah masyarakat Islam lewat goresan-goresannya.
Kebanyakan dendam dan prasangka buruk yang ada di tengah pengikut mazhab-mazhab Islam, juga lahir akibat kesalahpahaman mereka terhadap prinsip-prinsip, nilai-nilai dan akidah kelompok lain. Sebagian Muslim tidak saling mengenal satu sama lain, tidak punya pengenalan sempurna terhadap kebiasaan dan tradisi kelompok lain, dan setiap ritual sosial dan nasional kelompok lain akan dianggap sebagai akidah mazhab mereka. Kemudian dengan melihat sedikit perbedaan, mereka langsung membuat kesimpulan keliru dan berburuk sangka kepada saudaranya serta menuding mereka sebagai ahli bid’ah. Padahal, perbedaan-perbedaan parsial seperti itu banyak ditemukan di tengah pengikut mazhab-mazhab Islam, antara lain; sujud di atas tanah (turbah), ziarah kubur, gelar ratapan duka di tengah pengikut Syiah. Puasa di hari Asyura dan ziarah kubur di tengah pengikut Ahlusunah, akan dianggap bid’ah oleh orang-orang yang tidak berpengetahuan dan fanatik buta. Mereka dengan mudah mengkafirkan kelompok tertentu dan menebarkan tuduhan-tuduhan palsu. Padahal, jika mereka mengetahui dengan baik keyakinan mazhab lain, tentu jurang pemisah di tengah umat Islam dapat dipangkas secara drastis.
Fanatisme kesukuan, sektarian, dan individual.
Rasa kagum manusia terhadap diri dan apa yang dimilikinya, senantiasa menjadi sisi negatif yang menghalangi manusia mencapai kesempurnaan material dan spiritual. Sifat itu juga telah mencegah manusia memanfaatkan karunia-karunia orang lain. Kekaguman ini muncul dalam bentuk individu, etnis, suku, mazhab dan sekte. Terpengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, manusia akan bersikap egois dan memandang dirinya di atas yang lain serta bersikap fanatik. Padahal, kitab suci Alquran memperkenalkan konsep kesetaraan manusia dalam sebuah pesan globalnya; “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa.”
Namun, manusia yang terlena oleh hawa nafsu dan gemerlap dunia, senantiasa menganggap warisan nenek moyangnya dan interpretasinya atas kitab dan sunnah, sebagai kebenaran, sementara pemikiran dan gagasan kelompok lain selalu salah dan keliru di mata mereka. Padahal, alangkah bijaksananya jika ia menilai perbedaan ras, bahasa, dan letak geografis sebagai sebuah kewajaran. Mereka menolak kelompok lain atas dasar fanatisme buta dan bukan argumentasi rasional. Sementara metode yang benar adalah mengajak pengikut berbagai mazhab untuk membahas bersama-sama dalam kerangka dialog logis dan rasionalitas agama, serta menjadikan Alquran dan sunnah sebagai landasan ijtihad.
Dalam konteks seperti itu, perbedaan mazhab akan menjadi rahmat bagi kaum Muslim dan jembatan untuk mendalami pemahaman keagamaan. Perbedaan suku, ras, bahasa, dan mazhab bukan alasan untuk membenarkan atau menyalahkan penafsiran dan ijtihad dari kitab dan sunnah. Akal sehat dan logika yang kuat adalah satu-satunya parameter untuk menilai kebenaran dan kesesatan akidah dan kepercayaan.
Ekstrimisme, fanatisme etnis, pengkafiran, dan pelecehan sakralitas kelompok lain.
Di antara problema dunia Islam pada masa lalu dan sekarang, adalah semangat radikalisme dan ekstrimisme di tengah sekelompok kecil Muslim. Islam adalah agama yang seimbang dan fitrah suci manusia. Keterikatan Muslim terhadap mazhab tertentu, kadang-kadang bisa mengeluarkan mereka dari jalan tengah dan stabil, lalu menyeret mereka ke lembah ekstrimisme dan radikalisme.
Di bawah semangat yang tidak sehat ini, mereka kemudian saling mengkafirkan dan menuding pihak lain sebagai ahli bid’ah. Mereka juga bersikap ekstrim dan kaku dalam menafsirkan dan menerapkan prinsip-prinsip dan aturan syariat kepada kelompok lain. Dengan alasan yang dibuat-buat, mereka menganggap pihak lain sebagai orang yang fasik, munafik, dan keluar dari Islam. Sejalan dengan sikap negatif tersebut, kelompok lain bangkit menghina seluruh umat Islam dan sakralitas mereka. Langkah ini telah melukai perasaan umat Islam sedunia.
Pada masa lalu, contoh nyata model pemikiran dan semangat yang tidak berimbang ini adalah kelompok Khawarij. Sempalan ini menyakini bahwa setiap orang yang melakukan dosa besar akan digolongkan kafir. Dengan alasan itu, mereka bahkan memerangi Imam Ali ibn Abi Thalib as. Akhirnya, melalui sebuah konspirasi busuk, mereka mengantarkan Imam Ali as ke gerbang syahadah.
Sekarang, kelompok-kelompok kecil di tengah mazhab Syiah dan Ahlusunah juga terjebak ke jurang ekstrimis. Mereka mengkafirkan kelompok lain dan kadang-kadang menganggap tindakan membunuh saudaranya sesama Muslim sebagai ibadah. Atau menyulut api perpecahan dan perseteruan dengan menghina kesucian satu sama lain dan umat Islam. Salah satu tugas para pelopor pendekatan antar-mazhab adalah memperluas rasionalisme dan keseimbangan di tengah umat Islam.
Kepentingan politik dan ekonomi penguasa.
Sejak dulu sering dikatakan bahwa manusia bersama agama para penguasanya. Artinya, kebijakan penguasa di setiap masyarakat sangat berperan dalam membentuk pikiran dan ide-ide masyarakat tersebut. Keyakinan beragama para anggota masyarakat juga tak luput dari pengaruh penguasa. Kebijakan penguasa yang menguasai jiwa, harta dan keamanan masyarakat, telah mendominasi politik, ekonomi, budaya dan pendidikan dan pengajaran masyarakat tersebut. Kini, seiring meluasnya sarana komunikasi publik, pengaruh itu menjadi berlipat ganda.
Penguasa dan politisi yang bijak akan memanfaatkan sarana dan fasilitas tersebut demi kebaikan, perubahan dan persatuan umat. Namun, ada banyak penguasa yang mengeksploitasi kemajuan teknologi untuk kepentingan politik dan ekonominya. Selain tahta dan harta, mereka menyalahgunakan kekuasaan untuk memperlebar pengaruhnya dan menciptakan perpecahan di tengah umat Nabi Muhammad Saw. Tindakan seperti ini merupakan contoh nyata tiranisme, yang menjadi akar perselisihan dan perseteruan umat. (alhassanain)
Oleh: Hujjatul Islam Mir Aghaei
(Penasehat Sekjen Forum Internasional Pendekatan Mazhab-mazhab Islam (FIPMI).
Bersambung………