Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Ustaz Muhsin Labib: Fikih Bukan Rembukan (1)

Sebagaimana ilmu lainnya yang kompleks dan punya koridor, fikih bukan seperti produk rembukan warga di balai RW. Setiap ilmu, dalam kategori sains, agama dan filsafat dengan aneka cabangnya harus dihormati dengan tidak mencoba memasukinya tanpa kompetensi.

Hanya orang-orang yang secara faktual diketahui kualifikasi dan keahliannya yang berhak mengajarkannya, memberikan pandangannya dan membincangkan dasar-dasar dan tema-temanya.

Ilmu apapun secara umum mengakibatkan terbentuknya dua tipe manusia, yaitu orang yang mempunyai atau menguasainya dan orang yang mempunyai atau menguasainya. Manusia tipe pertama disebut kompeten, ahli, pakar dan sebagainya. Manusia tipe kedua umumnya disebut awam.

Untungnya, penghormatan masyarakat umum terhadap bidang-bidang sains, natural dan sosial, cukup tinggi dan hukum terhadap malpraktik atau plagiasi diterapkan. Namun dalam bidang agama, terutama fikih, hadis dan tafsir, situasinya sangat kontras.

Sebagian orang terlihat dari lontaran pikiran dan sikapnya keberatan untuk menerima fakta dirinya sebagai inkompeten dalam sebuah bidang dan tidak rela untuk tidak memberikan pandangannya dalam persoalan yang tak dipahaminya secara komprehensif dan mendalam.

Salah satu alasan yang mendasari keberatan memposisikan diri sebagai pihak inkompeten adalah mindset irrasional tentang kemuliaan, yaitu anggapan bahwa terlihat kompeten adalah kemuliaan di mata sesama awam dan bahwa fakta inkompetensi adalah kehinaan. Padahal kemuliaan tak hanya ditentukan oleh status ahli tapi ditentukan oleh kualitas pengamalan ilmu yang dimiliki setiap orang sesuai kapasitasnya.

Hilangnya kepatuhan kepada asas kompetensi dalam menyelesaikan masalah dan menyingkap hukum agama mengungkap rendahnya tingkat penghormatan dan perhatian kepada agama sebagai sesuatu yang wajib dimuliakan.

“Mengaku tak tahu adalah setengah pengetahuan,” kata Imam Ali AS. Orang yang mengaku tak tahu berpeluang untuk mengetahui sesuatu yang tak diketahuinya. Sedangkan orang yang keburu mengaku mengaku tahu meski tak diekspresikan secara eksplisit sangat mungkin mempertahankan info invalid yang terlanjur dipegang dan disampaikannya.

Orang yang mengaku tak mengetahui masalah yang tak diketahuinya mungkin dianggap bodoh tentang masalah tersebut tapi dia berhak menyandang bijak.

Itu juga mengisyaratkan anggapan umum bahwa bukanlah sebuah pengetahuan yang hanya bisa diperoleh dengan inteleksi tapi sebuah doktrin yang dijejalkan.

Cara bijak orang tak mengerti tentang sesuatu adalah tanya kepada ahlinya. Allah berfirman, “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (QS. An Nahl: 43).

Fikih dan Justifikasi Perbedaan

Karena mengira agama yang dipersepsinya adalah sempurna dan mutlak benar dan satu. Karena itu, banyak orang awam mempertanykan perbedaan fatwa dan pendapat para fuqaha tentang beragam tema hukum.

Agama dapat dilihat dari dua dimensi; yaitu pertama adalah agama sebagai wahyu suci berupa ilmu Allah yang mutlak benar dan sempurna dan diterima manusia suci yaitu Nabi Saw dan dijaga para manusia suci pilihanNya; agama sebagai produk persepsi dan pemahamanan manusia-manusia yang menjadi umat pengamal agama.

Umat sebagai pengamal agama adalah pertama adalah mukallaf yang dapat dibagi dua; muklallaf yang meyisihkan waktu meningkatkan kompetensi dengan mempelajari ilmu-ilmu yang diperlukan untuk memenuhi syarat menjadi penafsir, penyimpul hukum juga pemberlaku dan referensi, disebut khawash; kedua adalah mukallaf yang inkompeten karena tidak mempelajari ilmu-ilmu yang dapat membuatnya menjadi khawash. Inilah yang disebut awam.

Khawash adalah sekelompok orang kompeten dalam bidang agama terutama hukum agama yang disebut fikih. Kelompok ini berada dalam struktur dan hierarki kompetensi dan kredibilitas sesuai kapasitas dan capaian prestasi. Mereka adalah fuqaha atau ulama dengan ragam level mulai dari pelajar agama hingga pemegang kompetensi tertinggi yang umumnya disepakati sebagai representasi imam suci dalam masa kegaiban.

Selama masa kegaiban para fuqaha berkompetisi dalam usaha-usaha intelektual menggali tema-tema hukum spekulatif (zhanni). Para awam melaksakan hukum-hukum zhanni melalui produk spekulasi (ijtihad) faqih level tertinggi. Laksana pasien, awam tidak berhak ikut meracik obat dan membuat resep atau mengkritik dokter.

Fikih adalah ilmu hukum agama. Ushul fiqh adalah epistemologi fikih. Syariat adalah produk hukum yang merupakan produk hukum. Produk hukum bermacam dua, qath’i, yaitu bersifat defitif dan tak diperselisihkan dan zhanni, yaitu bersifat spekulatif yang diperselisihkan oleh para faqih afau para ahli di bidang fikih dan ushul fiqh.

Fikih dan Asas Referensi

Dalam bidang fikih setiap penganut ajaran ini yang balig adalah mukallaf, yaitu individu yang mengemban taklif. Taklif adalah tanggungjawab melaksanakan syariat dalam setiap aktivitasnya yang terbagi dua ibadah dan muamalah.

Mukallaf adalah mukmin yang memenuhi syarat balig dan berakal sehat. Perempuan bila mencapai usia 9 tahun atau mengalamai haid menjadi mukallafah. Pria bila mencapai uia 14 tahun atau mengalami mimpi jenabat atau mengalami perubahan hormonal. Mukkallaf mesti melaksanakan syariat dengan salah satu dari dua cara; berijtihad dan bertaqlid.

Mukallaf yang memiilih taqlid sebagai sumber dan cara melaksanakan taklif disebut muqallid. Sedangkan mukallaf yang memilih ijtihad sebagai sumber dan cara melaksanakan taklif disebut mujtahid. Mujtahid yang dijadikan sebagai rujukan disebut dengan muqallad atau marja’ taqlid.

Bila tebukti ibadah dan muamalah yang dilaksanakannya salah atau tak sesuai dengan fatwa mujtahid yang ditaqlid, konsekuensi dan sanksinya bisa sangat berat.

Untuk mengetahuinya, mukallaf tidak boleh asal bertanya kepada sesama penganut mazhab tanpa memperhatikan kompetensi dan kehati-hatiannya, apalagi mempercayainya begitu saja. Yang ditanya pun tidak boleh sekehendaknya menjawab bila tak menguasainya dengan pertanggungjawaban.

Mukallaf level muqallid memikul tanggungjawab-tanggungjawab hukum sebagai berikut:

  • Menjadikan “bertaqlid” sebagai isu di luar masalah-masalah fatwa. Dengan kata lain, bagi muqallid pemula, taqlid kepada seorang mujtahid tidak boleh didasarkan pada taqlid, harus dengan ijtihad.
  • Melakukan istifta’, yaitu mengajukan soal fatwa dengan sarana apapun kepada marja’ melalui komunikasi langsung, bertanya kepada seseorang yang dipastikan jujur dan memahami fatwa marja yang ditaqlid atau merujuk ke buku pedoman praktis (risalah amaliyah) yang berisikan kumpulan fatwa-fatwa dari marja’nya.
  • Melakukan tahkim, yaitu memperlakukan marja’nya sebagai hakim syar’i pengadilan. Namun, sebagian ulama beranggapan bahwa fungsi yudikatif adalah wewenang wali fakih, kecuali bila tidak ditangani atau diserahkan oleh wali fakih bersangkutan kepada mujtahid lain. Menyerahkan dana-dana syar’i (al-huquq asy-syar’iyah), seperti khumus dan madhalim kepada marja’ yang ditaqlidnya selaku wakil imam maksum. Sebagian ulama juga menganggap penerimaan dana-dana syar’i sebagai hak dan wewenang wali fakih.
  • Merujuk kepada marja’ a’lam lain yang memberikan fatwa berkenaan dengan masalah yang sama, jika marja’ yang dijadikan sebagai muqallad tidak memberikan fatwa (hukum yang tegas) namun hanya menyarankan untuk ber-ihtiyath berkenaan dengan suatu masalah.
  • Bertaqlid dalam masalah-masalah ibadah yang berifat zhanni (bukan dharuri), seperti hukum wajib shalat asar dan puasa Ramadhan.
  • Melakukan identifikasi terhadap subjek hukum atau kasus spesifik. Dengan kata lain, fatwa hanyalah hukum yang bersifat umum. (Ketika marja’, mislanya, berfatwa bahwa diharamkan makan ikan tidak bersisik, maka muqallid bertanggungjawab untuk melakukan verifikasi dan identifikasi apakah ikan gurame yang di depan mejanya bersisik ataukah tidak).

Bersambung….

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *