Disamping ayat-ayat Alquran yang tidak terbilang jumlahnya tentang hari kiamat (sekitar ratusan ayat), terdapat dalil-dalil rasional (‘aqli) yang sebagaimana secara garis besar akan kami uraikan di sini.
a. Argumentasi Hikmah
Apabila kita memandang kehidupan dunia ini tanpa adanya kehidupan yang lain, maka kehidupan dunia ini akan terasa nihil dan tanpa makna. Persis seperti kita beranggapan bahwa kehidupan di alam rahim tanpa adanya kehidupan dunia setelahnya adalah hampa. Berdasarkan tata cipta, apabila manusia pada awal detik-detik penciptaanya akan binasa dan mati, betapa kehidupan alam rahim akan menjadi sebuah kehidupan yang tanpa makna. Demikian juga bila dibayangkan kehidupan dunia ini terputus dari kehidupan lainnya, kehidupan ini akan mengalami kehampaan. Haruskah kita hanya hidup selama kurang lebih tujuh puluh tahun di alam dunia ini dengan segenap masalah yang kita hadapi, lalu kita musnah begitu saja? Berapa lama kita harus mengejar ilmu pengetahuan, dan setelah memperoleh segala pengetahuan, salju ketuaan datang menerpa kita. Lalu, untuk apa kita hidup? Menyantap beberapa porsi makanan, memakai beberapa potong pakaian, bangun dan tidur, yang berulang-ulang terus menerus, melanjutkan aktivitas hidup yang membosankan dan melelahkan?
Sebenarnya, apakah langit yang membentang dan bumi yang menghampar, dan seluruh pendahuluan dan pengakhiran, seluruh guru, seluruh perpustakaan besar, dan seluruh pekerjaan rumit dalam penciptaan kita dan makhluk-makhluk yang lain; seluruhnya dialokasikan untuk makan, tidur, pakaian dan kehidupan materi?
Di sinilah mereka yang menolak kejadian hari kiamat harus mengakui kenihilan dan ketakbermaknaan hidup mereka. Ironisnya, sebagian mereka melakukan bunuh diri untuk menyelamatkan diri dari kehidupan nihil ini dan itu malah menjadi kebanggaan bagi mereka.
Bagaimana mungkin seseorang yang beriman kepada Allah Swt dan kemahabijaksanaan-Nya yang tak terhingga, meyakini bahwa kehidupan dunia ini bukan sebagai pendahuluan untuk memasuki kehidupan abadi di alam lain?
Allah berfirman, “Apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakanmu secara main-main [saja], dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. al-Mukminun: 115)
Maksudnya, apabila kamu tidak kembali ke sisi Tuhan, maka dunia ini akan mengalami kesia-siaan dan ketanpamaknaan.
Ya! Kehidupan dunia ini akan memiliki makna dan sesuai dengan hikmah llahi jika ”ad-dunya mazra’atul akhirah” (dunia ini merupakan ladang akhirat). Kita harus memandang dunia ini sebagai lintasan untuk memasuki alam yang lebih luas. Dunia ini merupakan lahan persiapan untuk menjelang dunia lain, dan pasar bagi kehidupan akan datang.
Demikianlah Amirul Mukminin Ali as berkata dalam kalimat yang sarat makna: “Dunia ini adalah tempat yang benar bagi orang yang membenarkannya, tempat aman bagi mereka yang memahaminya; kediaman yang kaya bagi siapa yang mengumpulkan bekal di dalamnya (untuk kehidpan masa datang), istana nasihat bagi yang mengambil nasihat darinya, masjid bagi para pencinta Tuhan, kemudian ibadah para malaikat Allah, rumah bagi wahyu Ilahi dan tempat perniagaan bagi yang berbakti kepada Tuhan!.” [ Nahj al-Balaghah, Arofisme no 131]
Ringkasnya, menelaah dan mengkaji keadaan dunia ini dengan baik akan memberikan kesaksian bahwa di balik kehidupan dunia ini masih terdapat kehidupan yang lain. “dan sesungguhnya engkau telah mengetahui penciptaan yang pertama. Maka mengapa engkau tidak mengambil pelajaran untuk penciptaan yang kedua]? ”(QS. aI-Waqi’ah: 62)
b. Argumentasi Keadilan (Adalah)
Dengan memerhatikan sistem semesta dan undang-undang penciptaan, seluruhnya menunjukkan bahwa segala sesuatunya berlaku sesuai dengan perhitungan yang matang. Dalam struktur badan kita, sedemikian sistem itu beroperasi secara adil sehingga secuil pun perubahan yang terjadi akan menjadi sebab penyakit dan kematian. Gerakan jantung, sirkulasi darah, kelopak mata, dan bagian sel-sel badan kita termasuk dalam sistem yang apik dan akurat yang berlaku di alam semesta. “Wa biI-adl qamat as-samawati waI-ardh.” Dengan keadilan Iangit dan bumi dapat tegak.” Apakah manusia hanyalah sebuah potongan ganjil di alam semesta yang membentang ini?Benar bahwa Allah Swt menganugerahkan kehendak bebas kepada manusia hingga ia diuji dan dapat melintas dalam perjalanan menuju kesempurnaan. Akan tetapi, sekiranya manusia menyalahgunakan kebebasan yang dimilikinya, apa yang akan terjadi? Apabila para tiran dan orang-orang yang tersesat dan menyesatkan menyalahgunakan anugerah Ilahi ini, apa yang dituntut oleh keadilan Ilahi?
Benar bahwa sekelompok orang yang buruk perbuatannya di dunia ini akan dikenakan hukuman atau setidaknya sebagian dari hukuman tersebut. Akan tetapi, tentu saja tidak seluruh pelaku kejahatan mendapatkan hukuman atas perbuatannya, atau semua orang suci dan baik tidak mendapatkan ganjaran dari perbuatan baik mereka di dunia ini secara tunai. Lalu, apakah mungkin kedua kelompok ini berada pada satu telapak keadilan ilahi?
Menurut Alquran: ”Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berbuat dosa?Mengapa kamu [berbuat demikian]; bagaimanakah kamu mengambil keputusan ?”(QS. al-Qalam: 35-36)
Di tempat lain Alquran menegaskan, “Patutkah Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?”(QS. al-Shaf: 28)
Secara umum, tidak ada keraguan tentang perbedaan manusia dalam ketaatannya kepada Allah swt, sebagaimana juga ganjaran yang dapat diterima di dunia ini tidaklah memadai. Mahkamah fitrah, dan reaksi dosa-dosa dengan sendirinya (tanpa adanya kiamat) pun tidaklah cukup. Oleh karena itu, kita mesti menerima bahwa dalam upaya menegakkan keadilan Ilahi harus terdapat sebuah mahkamah pengadilan yang bersifat menyeluruh, sehingga sekecil apapun kebaikan atau perbuatan buruk harus diperhitungkan di dalamnya. Apabila tidak, asas keadilan tidak akan pernah dapat tegak.
Dengan demikian, harus kita terima bahwa penerimaan keadilan Tuhan sama dengan penerimaan adanya Hari Kiamat (ma’ad) dan Hari kebangkitan. Alquran menyebutkan, “Kami akan tegakkan neraca-neraca keadilan pada Hari Kiamat.” (QS. a-lAnbiya’: 47)
Alquran juga menegaskan, ”Pada Hari Kiamat mereka akan dihukum berdasarkan keadilan dan mereka tidak akan dizalimi dan dianiaya.”(QS.Yunus: 54)
c. Argumentasi Tujuan Penciptaan
Berbeda dengan anggapan kaum materialis, manusia dalam pandangan dunia tauhid memiliki tujuan dalam penciptaanya. Tujuan ini dalam terma filsafat disebut sebagai takamul (kesempurnaan), dan dalam bahasa Alquran dan hadis dikenal sebagai qurb ilallah ( kedekatan diri terhadap Tuhan) atau ibadah (penghambaan). ”Aku tidak menciptkan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu” (QS. al-Dzariyat: 56). Di bawah cahaya penghambaan ini, mereka mencapai kesempatan dan merengkuh kedekatan kepada Allah Swt.
Apakah tujuan agung ini dapat tercapai jika kematian merupakan akhir dari segalanya? Tanpa ragu, jawabannya adalah tidak.
Kehidupan setelelah kematian di dunia ini melazimkan adanya dunia lain dan penyempurnaan manusia menjalani proses kontiunitas. Tempat menuai hasil ladang dunia ini adalah alam sana. Bahkan, sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumya, di dunia yang lain, perjalanan menuju kesempurnaan (takamul) ini berlanjut sehingga tujuan akhir ini dapat tergapai.
Konklusinya, pencapaian tujuan penciptaan ini tanpa keberadaan ma’ad tidak akan dapat terwujud. Sekiranya kita memutus relasi kehidupan ini dengan kehidupan pasca kematian, maka seluruh kehidupan ini misterius dan kita tidak akan pernah memiliki jawaban atas pertanyaan mengapa dan mengapa.
Pembahasan sebelumnya Filsafat Penantian (Intizhar) di Masa Keghaiban Imam Zaman Afs [Bagi 1]
Dikutip dari buku 110 Persoalan Keimanan yang Menyehatkan Akal, Ayatullah Makarim Syirazi