Berita
Kemeriahan Peringatan Milad Imam Ali bin Abi Thalib as di ICC, Jakarta
Jakarta – Selasa malam tepat 13 Rajab 1440 H di Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta diadakan perayaan wiladah atau hari kelahiran manusia mulia penjaga risalah kenabian al Imam Ali ibn Abu Thalib as’ 1400 tahun lalu manusia mulia ini lahir, tepa pada 23 tahun sebelum Hijrah. Ali adalah imam pertama seluruh mazhab Syiah dan khalifah keempat dari empat Khulafa al-Rasyidin di kalangan Ahlusunah.
ICC secara rutin mengadakan peringatan wiladah maupun syahadah, serta hari besar Islam lainnya, bisa dipastikan setiap bulannya tempat ini tidak pernah sepi, berbagai sajian makanan gratis pun tersedia untuk melayani tamu pencinta Ahlulbait, buku-buku keislaman pun dijual dengan diskon-diskon khusus yang relatif dijual sangat murah. Peserta yang datang pun beragam dan mencapai ribuan.
Ustaz Muhsin Labib menjadi penceramah inti dalam milad Imam Ali ini, beliau menyampaikan bahwa memperingati Kelahiran Imam Ali bukan aekedar memperingati kehadiran fisik. “Apakah memperingati kelahiran itu adalah memperingati kelahiran fisiknya?” tanyanya.
Tentu bukan hanya itu karena fisiknya sudah tiada. Tapi yang kita kenang ada apa yg ada dibalik fisik itu. Memperingati kelahirannya adalah menegaskan kembali bahwa kita sedang memperingati jiwa. Memperingati kelahiran Ali bukan sekedar entitas historisnya, bukan sekedar kehadiran sosok manusia. Ini adalah tentang kelahiran jiwa. Karena tanpa Ali kita tidak bisa membuktikan keagungan Rasulullah. Apa bukti karyanya? Pemimpin sejati menciptakan pemimpin. Bukan menciptakan massa, dan Ali adalah hasil didikan Rasulullah.
“Ummat serumpun dengan Imam, kata mutual seperti atas dan bawah. Ketika kita menyebut ummat maka harus ada Imam di sana. Karenanya umat tanpa pemimpin /Imam adalah sia-sia. Rasulullah berhasil menciptakan umat dan juga Imam,” tegasnya.
Memperingati Kelahiran Imam Ali, bukan untuk sekedar memujanya, tidak sekedar mengagungkan namanya. Tapi memasuki sebuah pintu untuk masuk ke dalam sebuah kota ilmu. Sebagai konfirmasi dari sebuah kompetensi dan keahlian yang melahirkan otoritas dan trust.
Menarasikan kecintaan pecinta kepada yang dicintainya, yaitu cinta yang bersifat vertikal, bukan horisontal, Ustaz Muhsin Labib menceritakan tentang sosok sahabat mulia yang sangat mencintai Ahlulbait, yaitu Sahabat Salman al-Farisi, yang satu di antara tokoh Islam yang dikenal sebagai intelektual berotak cemerlang dan berhati salju. Begitu tinggi kedudukan dan jasanya dalam sejarah perintisan Islam sehingga Nabi saw mengangkatnya sebagai anggota kehormatan dan bintang tamu keluarga beliau dengan sabdanya yang terkenal menjelang perang Khandaq (al-Ahzab), “Salman dari kami, Ahlulbait”.
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, lelaki non Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Persia ini bersama sejumlah sahabat senior seperti Zubair bin Awwan, Miqdad bin al-Aswad dan Ammar bin Yasir melawan arus politik yang dominan dengan menyatakan Ali sebagai pemimpin pengganti Nabi.
Sejak saat itu Salman dikenal sebagai pendukung dan pengikut paling setia menantu Nabi itu. Pada masa-masa kepemimpinan tiga Khalifah, ia menghabiskan waktu dengan menimba ilmu di rumah Ali yang dikenal sebagai ‘gerbang pintu ilmu Nabi’ itu dan melakukan kegiatan dakwah di daerah-daerah terpencil Jazirah.
Hal inilah yang membuat penasaran sebagian sahabat. Suatu saat sebagian murid Ali berembuk demi mencaritahu rahasia kedudukan tinggi Salman. Salah seorang diantara mereka ditunjuk untuk melakukan misi mengintai dan menandingi prestasi Salman, terutama dalam kegiatan shalat jamaah dan majlis taklik Ali bin Abi Thalib.
Ia pun memulai misinya pada hari pertama. Saat azan subuh berkumandang, dia segera bangun dari tidur dan bergegas menuju masjid dengan harapan menjadi orang pertama yang berada di shaf belakang Amirul-Mukminin.
Saat memasuki area halaman masjid, hati berbunga karena ia hanya melihat satu jenis jejak kaki. “Ini pasti jejak kaki Ali dan Salman belum datang,” gumamnya dalam hati.
Betapa terkejut hatinya saat matanya menumbuk sosok Salman yang sedang duduk bersila di belakang sang Imam yang sedang sibuk berzikir. Ia benar-benar tidak habis pikir dan merasa kecolongan. Ia pun bertekad mengulangi misinya dalam acara shalat jamaah subuh esok.
Pada hari kedua, ia pun gagal melakukan misinya karena lagi-lagi Salman mendahuluinya. Meski sedih, ia tetap optimis akan berhasil mendahului Salman pada subuh hari ketiga. Untuk itu ia bertekad untuk berjaga malam dan tidak membiarkan kantuk menghampiri matanya.
Pada hari ketiga, beberapa saat azan subuh menyapa telinga warga, ia bergegas menuju masjid. Dengan langkah cepat dan dengan perasaan penuh keberhasilan dalam hati, ia memasuki gerbang masjid. Hanya ada satu jenis jejak bersambung di area masjid.
Tak apa yang tertangkap oleh matanya membuat pusing dan tak benar-benar tak percaya. Salman telah berada di shaf belakang Ali bin Abi Thalib.
Seusai melaksanakan shalat, ia merapat ke Salman dan bertanya dengan nada berbisik, “Salman, selama tiga hari aku mengikuti shalat jamaah ini dengan harapan bisa menjadi orang kedua setelah Ali yang memasuki masjid. Anehnya, meski aku hanya menemukan satu jejak kaki Ali, aku gagal mendahuluimu.”
Salman hanya tersenyum ringan mendengar pengakuannya.
“Aku masih heran karena hanya menemukan satu jejak kaki. Apakah kau memang tidur di masjid ini sejak malam sehingga jejak kakimu tidak terlihat?” tanyanya penasaran.
“Oh tidak, sahabatku. Aku segara bangun dari tidur saat hidungku menangkap aroma wangi Ali melintas di depan rumahku,” jawabnya pelan.
“Lalu, mengapa hanya ada satu jejak kaki?” tanya lagi dengan nada lebih kerasa.
“Oh soal jejak kaki itu, aku memang sejak semula ingin mengukuti Ali secara sempurna, termasuk menginjak kakiku di jejak kaki beliau,” sahut salman tenang.
Ia nyaris pingsan mendengar jawaban Salman. Saat itu juga ia mengakui bahwa dirinya tidak akan bisa menandingi lelaki dari Persia itu. Ia sangat mengagumi konsistensi dan totalitas salman dalam cintanya kepada Ali bin Abi Thalib, yang diyakininya sebagai duplikat Muhammad. (ASF/MM)