Berita
Update Terkini Kelud (3)
Memasuki hari ke lima pasca erupsi Kelud, tim relawan melakukan pemantauan ke zona merah terdampak abu vulkanik, berjarak 1 Km dari puncak gunung. Untuk mencapai wilayah tersebut, mereka harus berjalan kaki melalui jalur terjal dan menanjak sejauh 3 Km. Demikian disampaikan Deni Yudawan, koordinator relawan Jausan kepada ABI Press hari ini (17/2).
Dalam perjalanan menuju puncak, para relawan berhenti sejenak di salah satu titik bukit zona merah. Tampak di kejauhan pemandangan sangat menakjubkan: kelok sungai yang seluruh permukaannya dari hulu ke hilir, tertutup pasir vulkanik Kelud. Bagi orang kebanyakan, pemandangan itu boleh jadi sekadar menakjubkan. Tapi tidak bagi relawan yang paham apa konsekuensi yang bakal terjadi, andai sewaktu-waktu hujan lebat bakal turun. Sudah tentu akan sangat berbahaya. Jika intensitas hujan cukup tinggi, maka banjir akan menyeret seluruh material timbunan pasir berjuta kubik itu ke wilayah lebih rendah dengan kecepatan tinggi.
“Bila hal itu terjadi, terbayang di benak kami, betapa akan menghasilkan daya rusak cukup dahsyat. Karena arusnya akan menghancurkan apa saja yang dilewatinya,” tutur Deni.
Karena kekhawatiran itu, relawan pun mendokumentasi foto-foto kondisi sungai yang tertutup pasir dan segera melaporkannya kepada otoritas setempat. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan ke Dusun Sedawun, Desa Pandansari, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang.
Ibarat kota mati, kondisi dusun Sedawun tampak semrawut. Sejumlah rumah roboh, atapnya rusak dan berantakan. Pasir erupsi yang menutupi atap dan lingkungan sekitar tampak basah akibat guyuran air hujan hari sebelumnya. Itulah yang kemungkinan besar menjadi penyebab utama ambruknya atap karena tak mampu menahan timbunan pasir basah yang bertambah berat karena guyuran air hujan.
Dalam perjalanan menyusuri dusun Sedawun lebih dalam, para relawan bertemu seorang lelaki berusia 60-an tahun sedang membersihkan debu vulkanik dari atap rumahnya. Saat relawan menawarkan bantuan, sang kakek pun mengiyakan. Dengan sigap para relawan menaiki tangga. Menyapu bersih tumpukan debu vulkanik di atap rumah. Sementara yang lain membersihkan bagian dalam dan teras rumah. Setelah 3 jam acara bebersih itu, kondisi rumah pun sudah relatif aman untuk dihuni kembali.
Dari keterangan salah seorang warga, terdapat 246 KK atau 858 jiwa yang tinggal di dusun itu, yang sebagiannya telah mengungsi: terutama anak-anak, wanita dan manula. Sementara sejumlah warga laki-laki tetap tinggal untuk berjaga-jaga agar tak ada barang-barang mereka yang hilang akibat ulah pencuri yang biasanya aji mumpung memanfaatkan situasi.
Ironisnya lagi, banyak temuan lain yang membuat iba hati para relawan. Warga Sedawun mengaku, sejak hari pertama erupsi mereka belum tersentuh bantuan sama sekali. Tak ada listrik, tak ada nasi bungkus, apalagi obat-obatan. Karena saluran air bersih mati, untuk sekedar minum, warga pun terpaksa menampung air hujan.
“Jika tak kuat menahan lapar, dua atau tiga orang dari mereka akan turun ke lokasi pengungsian untuk sekadar meminta nasi bungkus. Jika beruntung, akan didapat nasi bungkus yang jumlahnya hanya setengah jumlah warga yang bertahan itu. Itulah yang kami dengar dari penuturan mereka. Menyedihkan sekali,” kisah Deni.
Mendapati kondisi warga yang mengenaskan itu, akhirnya relawan Jausan memutuskan akan fokus menyalurkan bantuan selanjutnya ke dusun itu. (Deni-Lutfi/Yudhi)