Berita
Posisi Syiah dalam Dinamika Politik
Diusulkannya penghapusan sebutan kafir untuk Nonmuslim oleh PBNU diharapkan mengurangi intoleransi dan ujaran kebencian yang mengancam keutuhan bangsa.
Langkah ini mestinya secara otomatis berlaku atas komunitas Muslim non Sunni di Indonesia. Namun ironisnya, pengkafiran dan penyesatan oleh anasir intoleran yang mencatut nama Islam dan Ahlusunah terhadap sesama Muslim yang berbeda mazhab justru makin marak.
Meski orang yang terang-terangan mengaku Syiah tak sulit ditemukan untuk diminta memberikan keterangan dan penjelasan tentang keyakinannya, banyak orang di luar lebih menerima info dusta dari pembencinya karena menganggap seluruh penganutnya “janjian” untuk menutup diri atau merahasiakan keyakinan alias bertaqiyah sebagai dalih untuk tidak memberikan hak jawab dan klarifikasi sekaligus dalih mengkafirkannya.
Meski beberapa orang disebut-disebut sebagai tokoh Syiah, banyak instansi negara, lembaga penelitian juga otoritas keamanan dan media selalu mengambil informasi yang tak akurat tentang hakikat komunitas aliran ini dan dinamika intelektual, kultural, sosial dan politik di dalamnya.
Meski Syiah di Indonesis adalah komunitas penganut mazhab terbesar kedua di dunia Islam yang terbentuk sejak abad pertama sejarah Islam, banyak pihak, termasuk pemerintah dan tokoh masyarakat menganggapnya sebagai aliran baru seperti umumnya kelompok-kelompok yang biasa disebut sempalan dengan semua stigma negatifnya.
Meski fakta keragaman individu-individu di dalamnya mudah ditemukan, banyak pihak menganggapnya homogen dalam segala hal bahkan memperlakukannya sama dengan kelompok-kelompok skriptural pemimpi khilafah yang digerakkan oleh para mentor dan instrukturnya dengan doktrin skriptual dan anti logika.
Jelang pilpres antusiasme politik menciptakan polarasasi dalam masyarakat Indonesia dengan segala dinamikanya dalam semua lapisan, termasuk kelompok-kelompok minoritas. Salah satunya adalah komunitas keyakinan minoritas Syiah.
Terlepas dari ketegangan politik yang belakangan kian terlihat, fenomena antusiasme luas ini memberikan isyarat bahwa spirit kebangsaan masyarakat dari semua kelompok kian menguat.
Polemik sengit di dunia virtual komunitas ini seputar kontestasi politik sempat mengemuka dan sebagian berperan besar dalam dinamika politik formal (kendati pada akhirnya suara politik individu-individu di dalamnya untuk salah satu paslon terlihat dominan).
Seiring dengan itu tampilnya beberapa seleb media sosial yang dianggap Syiah dalam laga viral politik mulai membuka mata sebagian publik terutama kalangan free thinker tentang perannya dalam dinamika negara ini dan mengakui eksistensinya sebagai bagian integral bangsa ini.
Inilah momentum yang tepat bagi komunitas ini untuk memperkenalkan kepada masyarakat dan Pemerintah visi berbangsa dan bernegara, termasuk tentang Pancasila, UUD dan isu-isu penting lainnya sesuai pandangan teologis dan keagamaannya yang boleh jadi berbeda dari aspek material dan formal metodologinya. Diperlukan sebuah platform atau manifesto yang diharapkan menjadi acuan representatif bagi semua pihak, kalangan internal komunitas dan kalangan eksternal.
Platform yang menjadi substansi identitas komunitas ini berdiri di atas identitas-identitas utama yang disarikan secara rasional dari aksioma rasional dan pandangannya yang khas sebagai turunannya, yaitu kemanusiaan, kebangsaan, keumatan (keislaman) dan kesyiahan.
Dr Muhsin Labib Assegaf MA
Ketua Komisi Bimbingan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia