Akhlak
Kedudukan Sayidah Fatimah di Sisi Allah Swt dan Nabi Saw
Ulama Syiah dan Ahlusunah meyakini bahwa kecintaan kepada Fatimah sa adalah sebagai pesan Allah swt kepada kaum muslimin. Berdasarkan ayat 23 Surah Al-Syura yang masyhur dengan ayat Mawaddah, mereka memandang kecintaan kepada Fatimah adalah suatu keharusan. Dalam ayat Mawaddah dijelaskan bahwa kecintaan pada Ahlulbait as sebagai upah penyampaian risalah. Berdasarkan sebagian riwayat, manifestasi Ahlullbait dalam ayat ini adalah Fatimah sa, Ali as, dan Hasanain as (Hasan as dan Husain as).[1]
Selain ayat Mawaddah, dinukil pula riwayat-riwayat dari Rasulullah saw yang menerangkan bahwa Allah murka di saat Fatimah Murka dan Allah rela di saat Fatimah rela.[2] Dalam sebagian literatur disinggung hadis Qudsi Nabi saw yang menerangkan kebergantungan penciptaan alam semesta pada penciptaan Nabi saw, kebergantungan penciptaan beliau pada penciptaan Ali as, kebergantungan penciptaan Nabi saw dan Ali as pada penciptaan Fatimah sa.[3] Sebagian ahli hadis yang mempermasalahkan sanad hadis ini meyakini bahwa kandungan isinya dapat dipertanggungjawabkan.[4]
Nabi saw sangat mencintai Fatimah sa dan beliau lebih mecintai dan menghormatinya dibanding orang lain. Dalam sebuah hadis yang terkenal dengan hadis Bidh’ah Nabi saw menegaskan bahwa Fatimah sa adalah penggalan darah daging beliau sambil bersabda: “Barang siapa yang menyakiti Fatimah berarti ia menyakiti aku”. Riwayat ini dengan beragam redaksi telah dinukil oleh ahli hadis periode pertama seperti Syaikh Mufid dari ulama Syiah dan Ahmad bin Hanbal dari ulama Ahlusunah. [5]
Penghulu Kaum Wanita
Dalam banyak riwayat Syiah dan Ahlusunah, Fatimah sa disebut sebagai sebaik-baik wanita surga, sebaik-baik wanita di dua alam dan sebaik-baik wanita umat ini.[6]
Satu-satunya Wanita Pilihan dalam Peristiwa Mubahalah
Di antara para wanita muslim, hanya Fatimah sa yang dipilih untuk hadir dalam Mubahalah Nabi saw dengan kaum Kristen Najran. Peristiwa ini disinggung dalam ayat Mubahalah. Ayat ini menetapkan kebenaran diri Nabi saw dimana Fatimah sa, Ali as dan Hasanain as turut hadir di dalamnya. Dalam buku-buku tafsir, riwayat dan sejarah disebutkan bahwa ayat Mubahalah adalah salah satu ayat yang turun berkenaan dengan keunggulan dan kemuliaan Ahlulbait Nabi saw.[7]
Keberlangsungan Keturunan Nabi saw Melalui Fatimah
Keberlangsungan keturunan Nabi saw melalui Fatimah dan penentuan Imam-imam Syiah dari anak keturunan Fatimah disebutkan sebagai salah satu keutamaannya.[8]Sebagian mufasir berkeyakinan bahwa Fatimah sa dan keturunannya menjadi manifestasi “Kautsar” (kebaikan yang melimpah) dalam Surah Al-Kautsar. Atas dasar ini, kebaikan yang banyak adalah keberlangsungan keturunan Nabi saw melalui Fatimah sa [9] yang mana kedudukan Imamah dipercayakan pada keturunan ini.
Dermawan
Kedermawanan Fatimah saw disebutkan sebagai salah satu dari tindakan-tindakan agungnya. Dalam kehidupannya bersama Ali as, ketika kondisi ekonomi Fatimah bagus ia tetap hidup dengan sederhana dan senantiasa menginfakkan hartanya.[10]. Menghadiahkan baju baru pada malam pernikahannya kepada orang yang membutuhkan,[11]memberikan kalungnya kepada orang fakir [12] dan memberikan semua makanannya kepada orang miskin, yatim dan tawanan termasuk di antara tindakan-tindakan mulianya.[13]
Berdasarkan catatan-catatan riwayat dan tafsir, setelah Imam Ali as, Fatimah sa dan Hasanain berpuasa tiga hari secara berturut-turut, setiap kali mereka hendak berbuka puasa, mereka memberikan semua hidangan mereka kepada orang-orang yang membutuhkan. Ayat 5-9 Surah Al-Insan yang dikenal dengan ayat Ith’am(memberi makan) turun berkenaan dengan mereka.[14]
Muhaddatsah
Percakapan para Malaikat dengan Fatimah sa adalah diyakini sebagai salah satu karakteristiknya. Ciri khusus ini membuat Fatimah disebut Muhaddatsah. Dialog Fatimah sa dengan para Malaikat pada zaman Nabi saw dan sepeninggalnya adalah untuk menghiburnya dan mengabarkan keadaan masa depan keturunan Nabi saw. Kejadian-kejadian yang akan datang, yang diberitahukan oleh Malaikat Ilahi kepada Fatimah sa, dicatat oleh Imam Ali as dan dikenal dengan nama “Mushaf Fatimah”.[15] (wikishia.net)
Catatan Kaki
- Abul Futuh Razi, Raudhah al-Jinan wa Rauh al-Jinan fi tafsir al-Qur’an, jld.17,hlm.122; Bahrani, al-Burhan fi Tafsir al-Qur’an, jld.4, hlm.815; Suyuthi, al-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur, jld.6, hlm.7;Abu al-Su’ud, Irsyad al-‘Aql al-Salim ila Mazaya al-Qur’an al-Karim, jld.8, hlm.30.
- Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, jld.3, hlm.154.
- Mirjahani, Sayid Muhammad Hasan, Jannat al-‘Ashimah, hlm.148.
- Syubairi Zanjani-Mengingkari kezaliman-yang terjadi atas Sayidah Fatimah Zahra sa adalah suatu hal yang tidak dibenarkan- Situs Jamaran: Wawancara dengan Ayatullah Syubairi Zanjani
- Mufid, al-Amāli, hlm.260; Thusi, al-Amāli, hlm.24; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, jld.4, hlm.5
- Shaduq, ‘Ilal al-Syarayi’ , jld.2, hlm.182; Thabari Imami, hlm.81; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, jld.3, hlm.80; Bukhari, Muhammad bin Isma’il, Shahih al-Bukhari, jld.4, hlm.183; Muslim Naisyaburi, Shahih Muslim, jld.7, hlm.143,144.
- Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jld.1, hlm.379; Balaghi, Hujjah al-Tafasir wa Balagh al-Iksir, jld.1, hlm.268; Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, jld.4, hlm.293.
- Thabathaba’i, al-Mizān fi Tafsir al-Qur’ān, jld.20, hlm.370-371
- Thabathaba’i, al-Mizān fi Tafsir al-Qur’ān, jld.20, hlm.370-371; Makarim Syirazi, Tafsir Nemunah, jld.27, hlm.371; Fakhrurrazi, al-Tafsir al-Kabir, jld,32, hlm.313; Baidhawi, Anwār al-Tanzil wa Asrār al-Ta’wil, jld.5, hlm.342; Naisyaburi, Tafsir Gharā’ib al-Qur’ān, jld.6, hlm.576.
- Thabrasi, Makarim al-Akhlaq, hlm.94 dan 95
- Mar’asyi Najafi, Syarh Ihqaq al-Haq, jld. 19, hlm.114
- Thabari, Bisyārah al-Musthafa li Syiah al-Murtadha, hlm.218-219
- Arbili, Kasyf al-Ghummah fi Ma’rifah al-Aimmah, jld.1, hlm.169
- Ibnu Thawus, al-Taraif, hlm. 107-109; Thusi, al-Tibyan fi Tafsir al-Qur’an jld.10, hlm.211; Zamakhsyari, al-Kasyaf jld.4, hlm.670; Fakhrurrazi, al-Tafsir al-Kabir, jld.30, hlm.746-747.
- Kulaini, al-Kāfi, jld.1, hlm.240-241; Ibnu Syahr Asyub, Manāqib Al Abi Thālib, jld.3, hlm.116.