Berita
Syiah di Indonesia dan Dinamika Politik Iran (bag 4 Iranisme & Gerakan Transnasional)
“Iranisme”
Syiah tampil dengan dua ciri khas yaitu poros Arab dan poros Iran. Syiah di Iran lebih bercorak mistik dan filosofis, sedangkan Syiah di Irak dan Negara-negara Arab lainnya, seperti Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Lebanon dan lainnya lebih bercorak ortodoks. Meski demikian, warna Syiah di setiap negara Arab punya ciri lokalnya masing-masing. Ciri-ciri itu dibentuk oleh identitas etnik, budaya, geografis, sejarah, dan lainnya.
Baca juga Syiah di Indonesia dan Dinamika Politik Iran (bag 3 Mendirikan Negara Islam)
Kebanyakan dari kita memahami Syiah secara tidak tepat. Sebagai contoh adalah pernyataan beberapa tokoh yang menganggap Syiah di Indonesia sebagai suatu ancaman karena merupakan kepanjangan tangan wilayah al-faqih di Iran. Hal ini terjadi disebabkan tidak hanya kurangnya informasi dalam membaca Islam umumnya dan Syiah khususnya, namun juga karena terlanjur berbicara untuk kepentingan politik sesaat menjelang pemilihan umum.
Jika hal ini tidak direspon secara serius, maka bisa berdampak serius bagi masyarakat Syiah dan bangsa ini yang menjunjung tinggi keragaman dan keberagamaan. Oleh karena itu, perlu bagi kami untuk menanggapi dan mengklarifikasi beberapa hal tentang Syiah bahwa Syiah bersifat dinamis, dimana pun Syiah berada selalu mewarnai dan diwarnai oleh budaya sekitar. Sebagai contoh, Syiah Arab yang terbagi menjadi beberapa basis, dengan berpusat Najaf, Irak, Lebanon, Bahrain dan Hijaz.
Hijaz tidak bisa diidentikkan dengan Wahabi. Wahabi berkuasa meskipun minoritas di negerinya. Padahal Syiah banyak mendominasi di beberapa wilayah seperti Damam, Qatif dan Ahsa, yaitu kawasan utara Hijaz yang kaya dengan sumber daya energi. Syiah di sini memiliki kekuatan tersendiri dan memiliki warnanya dan berbeda dengan Syiah di Irak atau pun di Iran. Ada juga Syiah di Lebanon dengan karakternya yang lebih moderat.
Syiah juga banyak di negara-negara teluk seperti Bahrain, Kuwait, UEA, dan Qatar. Jika kita ingin bicara mayoritas Syiah, memang kita akan menemukan Syiah di Irak yang berpusat di Najaf dan Iran yang berpusat di Qom sebagai dua poros utama yang melahirkan tradisi keulamaan ala hauzah/pesantren Syiah.
Sejak dahulu kala, Syiah memang didominasi oleh para ulama yang berasal dari dua poros ini. Selama ini informasi yang kita peroleh tentang Syiah hanya berasal dari Qom, Iran jelas salah karena justru Qom sebagai hauzah baru terbentuk pada masa lima puluh tahun hingga satu abad yang lalu. Sementara hauzah Najaf, Irak sudah terbentuk sejak beberapa abad silam. Bisa dikatakan bahwa para Marja’ besar yang hidup saat ini adalah para alumnus hauzah Najaf.
Karakteristik keulamaan Irak dan Iran berbeda berdasarkan watak, etnik dan sebagainya. Model keulamaan yang mendominasi adalah fikih, sementara model filsafat cenderung terpencil. Tokoh filosof seperti Mulla Sadra kala itu tidak dikenal bahkan pada era Sabzawari. Hal ini tentu saja terkait dengan kecenderungan ulama yang lebih mengembangkan keilmuan yang bersifat praktis ala fikih. Sedangkan keilmuan yang bersifat diskursif ala filsafat baru tren pada masa Allamah Thabathaba’i dengan karyanya Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qurân yang bercorak teosofis dan melahirkan tokoh-tokoh seperti Hosein Nasr, Khomeini dan Murtadha Muthahhari.
Bisa dikatakan bahwa Allamah Thabathaba’i dan Khomeini adalah tokoh-tokoh reformis di kalangan Syiah. Misalnya Allamah Thabathaba’i tidak mengangkat dirinya sebagai marja’ saat itu. Keduanya merupakan tonggak revolusi Islam Iran di masa itu. Banyak kalangan ulama yang menentang perlawanannya terhadap rezim Shah kala itu, bahkan dari marja’ besar seperti Mazhahiri. Sebagian besar ulama menganggap urusan pemerintahan bukanlah bagian dari peran ulama. Perbedaan sikap ini juga terjadi di Irak, misalnya antara Khu’i dengan Muhammad Bagir Sadr terhadap Saddam Husein. Tentu saja kedua perbedaan sikap tersebut mempertimbangkan kemaslahatan umat saat itu.
Kembali ke persoalan semula, bahwa Syiah berkembang sesuai dengan karakteristik masyarakatnya. Syiah di Hijaz, Kuwait, Bahrain, Qatar, Irak, Iran, dan Indonesia tentu saja memiliki masing-masing corak keberagamaan tersendiri. Banyak yang menganggap Arab itu seragam, sama, sebagaimana digambarkan media-media Barat yang penuh dengan propaganda. Padahal Arab itu terdiri dari dua puluh empat negara berbeda dengan ragam bahasa, logat, karakteristik, watak dan tradisi berbeda-beda. Sebagai contoh, Lebanon sebagai negara Arab yang memiliki kebudayaan berbeda akibat percampuran etnik dan bahasa sehingga Syiah di Lebanon memiliki corak berbeda dengan Syiah di Irak dan Iran. Begitu pula Syiah di Iran, memiliki corak berbeda dengan peran mistik dan filsafatnya.
Transnasional
Indonesia memiliki sejarah panjang dengan Syiah dan mistisismenya. Memang kita tidak bisa memungkiri adanya pengaruh Iran dalam Syiah di Indonesia sebagai gelombang revolusi, sehingga dicurigai memiliki kecenderungan politik seperti Syiah di Iran. Padahal karakteristik kedua negara ini berbeda. Iran cenderung satu etnik Persia, sedangkan Indonesia memiliki keragaman etnik yang mengakibatkan perbedaan karakter masing-masingnya. Tentu saja Syiah di Indonesia lebih elastis menghargai perbedaan dan sangat menjunjung tinggi negeri tempat mereka lahir sendiri, ketimbang Iran sebagai sebuah negara nun jauh di sana.
Syiah di Indonesia memosisikan diri mereka sebagai bagian integral dari bangsa ini dan bangga menjadi bagian dari bangsa yang besar. Karena sifatnya yang dinamis, setiap orang Syiah di Indonesia memiliki pilihan masing-masing dalam hal politik. Satu hal yang pasti, Syiah di Indonesia bukan Syiah Arab, bukan Syiah Iran dan bukan pula Syiah mana pun selain Syiah Indonesia yang berkarakter, berbudi pekerti meng-Indonesia.
Banyaknya alumni dari Iran dan Irak tidak serta merta diasumsikan sebagai afiliasi negara-negara itu dan dianggap sebagai ancaman bagi NKRI. Sebagaimana kita tidak bisa mengasumsikan para lulusan Amerika dan Saudi sebagai pembawa kepentingan asing dan ancaman bagi NKRI.
Selanjutnya Syiah di Indonesia dan Dinamika Politik Iran (bag 5 Republik Islam Iran)
(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)