Berita
Syiah di Indonesia dan Dinamika Politik Iran (bag 1)
Budaya Syiah di Indonesia
Berbagai literatur sejarah menunjukkan bahwa Syiah sudah lama ada di Nusantara. Artefak budaya di berbagai daerah menyimpan jejak ajaran Islam Syiah. Peninggalan kerajaan-kerajaan Islam juga memiliki kaitan yang sulit dibantah bahwa Syiah bukanlah mazhab Islam yang baru masuk ke tengah-tengah muslim Sunni.
Indonesia adalah bangsa yang plural dan menghormati perbedaan dan keanekaragaman suku, bangsa, aliran, dan agama, sesuai prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Sebagai bangsa yang selalu menjunjung tinggi toleransi, Indonesia mengakui dan menjamin penghormatan terhadap kebebasan HAM di konstitusi UUD 1945 dan berbagai konvensi dan perjanjian internasional tentang HAM.
Secara historis, Islam Syiah di Indonesia telah ada sejak Islam masuk di Indonesia pertama kalinya. Fakta ini telah banyak dirujuk oleh banyak pengamat dan sejarawan termasuk Abubakar Aceh, A. Hasyimi, Agus Sunyoto, Azmi Jamil, Fatimi, Kern, dan sebagainya. (Untuk lengkapnya, silakan lihat disertasi Zulkifli di Universitas Leiden, berjudul The Struggle ofthe Shi’is in Indonesia, 2009).
Bahkan K.H. Abdurahman Wahid pernah menyatakan bahwa NU secara kultural adalah Syiah. Hal itu karena tradisi Syafi’i di Indonesia —berbeda dengan tradisi Syafi’i di negeri-negeri lain— sangat kental diwarnai tradisi-tradisi Syiah. Ada beberapa shalawat khas Syiah yang sampai sekarang masih dijalankan di pesantren-pesantren.
Ada wirid-wirid tertentu yang jelas menyebutkan lima keturunan Ahlulbait. Kemudian juga tradisi ziarah kubur, lalu membuat kubah pada kuburan. Menurut beliau, itu semua tradisi Syiah. Tradisi tersebut lahir di sini dalam bentuk mazhab Syafi’i. Jadi, di luarnya Syafi’i, di dalamnya Syiah.
Masih ada juga bukti-bukti ritus khas Syiah – bukan khas Syafi’i – yang populer di Indonesia. Salah satunya ialah tahlilan hari ke satu atau keempat puluh (setelah kematian seseorang) dan juga haul. Tradisi Sunni seperti ini tidak dikenal pada, misalnya, mazhab Syafi’i di Mesir. Lalu, di kalangan NU setiap malam Jumat sering dibacakan maulid Dibâ’ dan lainnya yang sarat dengan shalawat dan salam kepada Rasulullah dengan berdiri, yang tidak lain merupakan tradisi ziarah dari jauh, yang tidak kita temui kecuali dalam tradisi orang-orang Syiah saja.
Hal di atas menunjukkan bahwa antara para penganut muslim Syiah dan Sunni telah terjadi pembauran sosial yang sanggup memberi contoh kerukunan dan hidup harmonis. Secara sosio-kultural Syiah telah sejak lama menjadi bagian utuh dari Bangsa Indonesia. Demikian halnya secara teologis, terdapat irisan yang mempertemukan ajaran Sunni Nahdlatul Ulama dengan Syiah, dan dalam penghargaan terhadap rasionalitas juga mempertemukan Sunni Muhammadiyah dengan Syiah.
Syiah di Indonesia adalah Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah yang dianut secara pribadi-pribadi. Keyakinan tersebut hidup dalam masyarakat Indonesia dengan tingkat adaptasi yang amat tinggi. Syiah di Indonesia belum pernah memberikan catatan sejarah yang membuktikannya sebagai sebuah mazhab Islam agresif serta ekspansif. Pribadi-pribadi yang menganut Syiah tadi selain karena berasal dari keluarga Syiah tetapi boleh jadi sebelumnya Sunni, namun bukan hasil dari suatu agresivitas yang memaksakan terjadinya perpindahan mazhab tersebut.
Syiah meyakini bahwa kebenaran diperoleh atas dasar rasionalitas dan kekuatan akal sehat. Itu sebabnya agresivitas untuk mengajak orang lain memeluk keyakinan Islam mazhab Syiah, tidak dapat dikatakan mewakili ajaran Islam Syiah. Hal ini dapat dibuktikan dengan amat banyaknya anak-anak Syiah yang tak berupaya mengajak orang tuanya sendiri atau saudara dan kerabatnya menjadi Syiah. Amat banyak juga kepala keluarga yang anak-anaknya bukan Syiah. Syiah adalah pilihan sadar, bukan hasil doktrin dan tekanan-tekanan tekstual.
Perkembangan Syiah di Indonesia selanjutnya berupa pelembagaan lewat berbagai yayasan yang juga dalam catatannya tidak menimbulkan persoalan di tengah masyarakat Sunni bahkan memberikan sumbangan penting misalnya dalam pengembangan pendidikan dan dakwah Islam lewat sekolah atau pesantren serta buku-buku. Ringkasnya, Syiah di Indonesia adalah komunitas Islam yang damai sebagaimana Sunni yang sejak semula masuk ke Indonesia. Karakter ini juga tampil dalam konteks pelembagaan baik berupa yayasan hingga munculnya Organisasi Kemasyarakatan (ormas) Islam Syiah.
Ketika melembagakan diri melalui ormas, muslim Syiah lebih memilih diksi Ahlulbait daripada Syiah. Ahlulbait merupakan sebutan lain Syiah karena kecintaan kepada keluarga atau Ahlulbait Nabi Muhammad Saw merupakan bagian utuh dari kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya itu. Dipilihnya diksi Ahlulbait karena terminologi ini lebih tepat untuk tidak membuat jarak yang demikian jauh dengan saudaranya, Ahlusunah, sebab dalam ajaran Sunni juga terdapat anjuran bahkan kewajiban untuk memuliakan keluarga (Ahlulbait) Nabi Muhammad Saw. Oleh sebab itu, Ormas Syiah di Indonesia menerima siapa pun yang mencintai Ahlulbait Nabi Muhammad Saw sebagai anggota.
Di Indonesia ada dua ormas Islam Syiah yang terdaftar di Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri, yakni Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) dan Ahlulbait Indonesia (ABI).
(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)