Berita
Pentingnya Penanganan Khusus Anak-anak Korban Bencana
Sepanjang tahun 2013 hingga awal 2014 ini, aneka bencana merata terjadi hampir di seluruh wilayah negeri kita. Banyak nyawa terenggut, harta-benda ludes tak tersisa, kebun dan ternak pun terlantar karenanya. Dan ironisnya, anak-anak calon generasi penerus bangsa pun terpaksa kehilangan masa-masa indah mereka.
Didera bencana yang menghantam tanpa pilih kasih itu, bersama orang tua mereka tercatat ribuan anak yang telah kehilangan keriangan masa kecilnya dan terpaksa hidup di tenda-tenda darurat sebagai pengungsi. Tak ada lagi waktu bermain yang cukup bagi mereka, pun waktu untuk belajar di sekolah seperti layaknya di hari-hari biasa. Anak-anak korban banjir Jakarta dan banjir bandang Manado-Sulawesi Utara. Juga korban erupsi Sinabung di Sumatera Utara, tanah longsor di Jepara-Jawa Tengah dan Mojokerto-Jawa Timur, adalah sebagian anak-anak yang sedang menderita dan selayaknya mendapatkan perlakuan khusus sebagaimana ibu hamil, bayi, dan para lansia.
Prihatin pada kondisi anak-anak korban bencana alam itu, hari ini (3/2), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Pusat, Kemensos dan Kemendikbud menggelar acara konferensi pers bertajuk “Perlindungan Anak dalam Situasi Bencana.” Konferensi pers yang menekankan tentang perlunya perhatian serius dari pemerintah dan semua pihak terhadap nasib anak-anak korban bencana, baik terkait kondisi fisik maupun kondisi kejiwaan mereka.
Dalam pertemuan yang digelar di kantor KPAI Menteng, Jakarta Pusat itu dibeberkan berbagai masalah dan situasi-kondisi terkini bencana yang terjadi di seluruh Tanah Air, terutama kondisi anak-anak korban bencana yang sampai saat ini masih berada di pengungsian.
Perwakilan BNPB, Sutopo Purwo N menerangkan bahwa dalam kurun waktu Januari 2014 saja telah terjadi 203 bencana, dengan erupsi Sinabung sebagai bencana terparah yang mengakibatkan 30.117 jiwa terpaksa mengungsi, sementara diperkirakan 10.540 jiwa diantaranya adalah anak-anak.
Untung Basuki mewakili Kemensos mengakui sekaligus prihatin, karena hingga saat ini masih belum ada sistem penanganan sistematis dan kerangka yang jelas perihal teknis penanggulangan khusus terhadap anak-anak korban bencana alam. Padahal, di antara korban lainnya, anak-anak adalah golongan yang paling rentan secara fisik terhadap berbagai macam penyakit. Belum lagi bila harus menghadapi dampak trauma psikis yang biasanya tak mudah diatasi dan memerlukan waktu lebih lama untuk disembuhkan. Hal ini sebagaimana tercatat dalam berbagai laporan berisi pengalaman-pengalaman buruk anak-anak korban bencana sebelumnya, seperti tsunami Aceh, gempa Yogya dan letusan Merapi beberapa tahun silam.
Sementara Kemendikbud yang diwakili Setiono menjanjikan bahwa pihaknya akan mengucurkan dana beasiswa yang berasal dari dana abadi pendidikan bagi anak-anak korban bencana. Untuk tingkat SD akan mendapatkan bantuan beasiswa sebesar 1 juta, SMP 1,5 Juta, dan untuk SMA sebesar 2 juta rupiah.
Dalam acara yang berlangsung satu jam, dimulai pukul 14.00 dan berakhir pukul 15.00 WIB itu, seluruh pembicara sepakat bahwa para pengungsi korban bencana tidak hanya membutuhkan makanan, pakaian dan obat-obatan semata, tapi ada yang lebih penting dari itu yaitu perlunya konsep dan pedoman komprehensif penanganan korban bencana, utamanya mereka yang masih anak-anak.
Setidaknya ada 4 poin catatan penting yang disampaikan dalam konferensi pers kali ini dalam hal penerapan kebijakan penanganan bencana, agar menyentuh juga tradisi dan kearifan lokal tempat dimana para korban bencana berada. Pertama, bencana alam haruslah dianggap sebagai masalah bersama. Sehingga dengan demikian, tak ada satu pihak pun bisa berlepas tangan darinya. Kedua, harus diakui oleh instansi pemerintah terkait bahwasanya masih banyak terdapat kekurangan dalam hal pelayanan terhadap korban bencana. Ketiga, dipandang perlu untuk meningkatkan komitmen perlindungan terhadap anak-anak korban bencana dengan melakukan langkah preventif sedini mungkin. Dan yang ke empat adalah kewajiban semua pihak terkait dan seluruh stake holder yang ada untuk secara bersama-sama melakukan monitoring dalam setiap prosedur penanganan anak-anak korban bencana sesuai dengan undang-undang yang ada tanpa mengesampingkan pola kearifan lokal yang selama ini sudah ada dan mengakar di tiap-tiap lokasi bencana. (Lutfi/Yudhi)