Berita
Menjawab Tudingan Mazhab Syiah adalah Sebuah Gerakan Politik
Menjawab Tudingan Mazhab Syiah adalah Sebuah Gerakan Politik
Di dalam buku Panduan MUI halaman 22 menyatakan: “Istilah Syiah pada era kekhalifahan Ali hanyalah bermakna pembelaan dan dukungan politik.
Syiah Ali yang muncul pertama kali pada era kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, bisa disebut sebagai pengikut setia khalifah yang sah pada saat itu melawan pihak Mu’awiyah, dan hanya bersifat kultural, bukan bercorak aqidah seperti yang dikenal pada masa sesudahnya hingga sekarang.
Tanggapan:
Benarkah sangkaan dan anggapan tersebut di atas? Bahwa pembelaan dan dukungan kepada Ali bin Abi Thalib oleh para sahabat hanyalah bermakna pembelaan dan dukungan politik semata dan tanpa memiliki sandaran akidah di dalamnya?
Baca juga : Syahadat Syiah Berbeda dengan Ahlusunah?
Jawaban terhadap asumsi di atas akan didapati jawabannya pada keterangan beberapa hadis di bawah ini:
- Imam Muslim dalam Shahîhnya, Al-Nasa’i dalam Al-Sunan Al-Kubrâ, dan Al-Tirmidzi dalam Jâmi’ Al-Tirmidzî mencatat sebuah hadis dari Zir, bahwa Ali berkata, “Demi zat yang membelah biji-bijian dan menciptakan manusia, sesungguhnya jaminan dari Nabi Saw kepada aku adalah, tidak ada yang mencintaiku, kecuali seorang mukmin dan tidak ada yang membenciku kecuali seorang munafik.”(1)Jika kita perhatikan pada pernyataan di atas bahwa istilah “Syiah” tidak ada kaitannya dengan akidah lantas apa yang dapat kita pahami dari kata “mukmin” yang disabdakan oleh Rasulullah Saw bagi pecinta Ali bin Abu Thalib?
- Ibnu Hibban mencatat dalam Shahîh-nya, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak-nya, Ibnu Al-Maghazili (w. 483 H/1090 M) dalam Manâqib-nya, Al-Suyuthi dalam Jam’ Al-Jawâmi’-nya, dan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahâdîts Al-Shahîhah, dari Abu Sa’id Al-Khudri, Rasulullah Saw bersabda, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seseorang tidak membenci kami Ahlul Bait kecuali Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.” (2)
- Al-Hakim meriwayatkan dalam Al-Mustadrak, hadis dari Abu Tsabit maula Abu Dzar, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Ali bersama Alquran dan Alquran bersama Ali. Keduanya tidak akan berpisah hingga menyusulku di telaga.’” (3)
- Al-Dzahabi mengomentari hadis ini, “Sahih. Abu Sai’id ‘Uqaisha’ (salah satu perawi) seorang yang tsiqah dan diikuti.”Jika Ali dipadankan dengan Alquran, maka bagaimana mungkin bisa Syiah pada masa itu hanya mengikuti Ali sebagai kepentingan politik semata?
- Muhammad bin Ali bin Hajar Al-Haitami Al-Syafi’i, (w. 974 H/1567 M) mengutip hadis Nabi Muhammmad Saw yang mengatakan, “Demi jiwaku yang ada dalam genggamanNya, seorang hamba tidak dikatakan beriman kepadaku hingga dia mencintaiku, dan tidak mencintaiku hingga dia mencintai keluargaku. Aku memerangi orang yang memerangi mereka [keluargaku], dan berdamai dengan orang yang berdamai dengan mereka, dan memusuhi orang yang memusuhi mereka. Hati-hatilah kalian, barang siapa menyakiti kerabatku [keluarga] sungguh dia telah menyakitiku, dan barang siapa telah menyakitiku berarti telah menyakiti Allah ta’ala.”(4)Pertanyaan yang muncul kemudian adalah benarkah anggapan sebagian mereka yang berkata bahwa mencintai keluarga Nabi tidak memiliki kaitan dan hubungan simetris dengan persoalan akidah? Sementara dalam riwayat ini Rasulullah secara tegas mengatakan “Seorang hamba tidak dikatakan beriman hingga dia mencintaiku, dan tidak mencintaiku hingga dia mencintai keluargaku….”
Kesahihan hadis tersebut dan yang senada dengannya tidaklah bisa dibuktikan dalam literatur Syiah semata, namun juga bisa ditelaah dalam beberapa referensi Ahlus Sunnah, seperti:
Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya meriwayatkan, “Ali berkata, ‘Demi Allah, di antara sumpah Rasulullah Saw kepadaku ialah, ‘Sesungguhnya yang membenciku hanyalah seorang munafik dan yang mencintaiku hanyalah seorang mukmin.’” (5)
Penahkik kitab berkata, “Sanadnya sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim selain Adi bin Tsabit.”
Ahmad bin Hanbal, dalam Kitab Fadhâil Al-Shahâbah, tahkik Washiyullah bin Muhammad Abbasi menyampaikan hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri berkata, “Sesungguhnya kami mengetahui orang-orang munafik kaum Anshar melalui kebencian mereka kepada Ali.” (6)
Penahkik berkata, “Sanadnya sahih.”
Ibnu ‘Asakir dalam kitab Târîkh Madînah Dimasyq, secara panjang lebar meriwayatkan ratusan hadis dalam satu jilid khusus tentang Imam Ali bin Abi Thalib dan pengikutnya.
Ali bin Muhammad Al-Himyari (w. 323 H/935 M) menyatakan dalam Kitab Juz-u bahwa Harun bin Ishaq dari Sufyan bin Uyainah dari Zuhri dari Yazid bin Khushaifah dari Busr bin Said dari Abu Sa’id Al-Khudri berkata, “Tidaklah kami mengetahui orang-orang munafik pada masa Rasulullah Saw melainkan dengan kebenciannya kepada Ali.” (7)
Pandangan Ulama Rijal terhadap Para Perawi Hadis di atas
Harun bin Ishaq
Al-Dzahabi dalam kitab Al-Kâsyif menyebutkan Harun bin Ishâq Al-Himdâni Al-Kûfi seorang yang hafiz. Beliau meriwayatkan hadis dari Ibn ‘Uyainah dan Mu’tamar. Al-Tirmidzi, Al-Nasai’, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Muhamili meriwayatkan hadis dari beliau. Dia seorang yang tsiqah dan ahli ibadah yang wafat pada 258 H.” (8)
Sufyan bin Uyainah
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Taqrîb Al-Tahdzîb menyebut-kan, “Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran Maimun Al-Hilali. Yaitu, Abu Muhammad Al-Kufi kemudian Al-Makki. “Seorang yang tsiqah, hafiz, faqih, dan imam hujjah, hanya saja hafalannya berubah. Boleh jadi dia mengelabui riwayat namun dari orang yang tsiqah…” (9)
Muhammad bin Muslim Al-Zuhri
Al-Dzahabi dalam kitab Al-Kâsyif menyatakan, “Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab Al-Zuhri Abu Bakar. Dia salah satu yang paling berpengetahuan.” (10)
Sementara Ibnu Hajar Al-’Asqalani menyebutkan dalam kitabnya Taqrîb Al-Tahdzîb, “Muhammad bin Muslim bin Ubaidullah bin Abdullah bin Syihab bin Abdullah bin Al-Harits bin Zuhrah bin Kilab Al-Qurasyi, Al-Zuhri dan kunyahnya Abu Bakar. Beliau adalah seorang yang faqih, hafiz, disepakati kemuliaan dan ke-taqwaannya. Beliau salah seorang tokoh utama dalam rangkaian hadis (thabaqat) keempat.” (11)
Yazid bin Khushaifah
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Taqrîb Al-Tahdzîb menyatakan, “Yazid bin Abdullah bin Khushaifah adalah anak Abdullah yang dinasabkan kepada kakeknya. Dia seorang yang tsiqah.” (12)
Busr bin Said
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Taqrîb Al-Tahdzîb menyatakan, “Busr bin Said Al-Madani seorang ahli ibadah. Sahaya Ibnu Al-Hadrami. Dia seorang tsiqah yang terhormat.” (13)
Sementara Al-Dzahabi dalam Al-Kasyif menyatakan, “Busr bin Sa’id Al-Madani adalah seorang yang zuhud. Beliau meriwayatkan hadis dari Zaid, Abu Hurairah, dan Sa’ad. Muhaddis yang meriwayatkan dari beliau adalah dua orang anak Al-Asyajj, Zaid bin Muslim, dan banyak lagi. Wafat pada tahun 100 tanpa meninggalkan warisan sedikit pun.” (14)
(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)
Catatan kaki
- Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj, op.cit., h. 62, hadis 144. Al-Nasa’i, Kitâb Al-Sunan Al-Kubrâ, juz 7, h. 312, hadis 8097, cet. 1, Muassasah Al-Risalah, Beirut, Lebanon, 2001 M (1421 H). Al-Tirmidzi, Jâmi’ Al-Tirmidzî, h. 583, hadis 3736, cet. 1, Bait Al-Afkar, Riyadh, Saudi Arabia, 1999 M.
- Al-Albani, Al-Ta’lîqât Al-Hisân ‘alâ Shahîh Ibn Hibbân, juz 10, h. 100, hadis 6939, cet. 1, Dar Bawazir, Jeddah, Saudi Arabia, 2003 M (1424 H). Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘alâ Al-Shahîhain, juz 3, h. 162, hadis 4717, kitab Ma’rifah Al-Shahâbah, bab Manâqib Ahl Rasulillâh saw, cet. 2, Dar Al-Kutub Al-’Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, 2002 M (1422 H). Ibnu Al-Maghazili, Manâqib Amîr Al-Mu’minîn Ali bin Abî Thâlib, h. 102, hadis 181, Dar Maktabah Al-Hayah, Beirut, Lebanon, 1980 M (1400 H). Al-Suyuthi, Jam’ Al-Jawâmi’, j. 10, h. 604, hadis 24124, Dar Al-Sa’adah, Al-Azhar Al-Syarif, Kairo, Mesir, 2005 M (1426 H). Al-Albani, Silsilah Al-Ahâdîts Al-Shahîhah, j. 5, h. 643, bab Haram membenci Ahlul Bait, hadis 2488, cet. 1, Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh, Saudi Arabia, 2002 M (1422 H).
- Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘alâ Al-Shahîhain, juz 3, h. 134, hadis 4628, kitab Ma’rifah Al-Shahâbah, bab fi Dzikr Islam Amir Al-Mukminin Ali bin Abi Thalib ra, cet. 2, Dar Al-Kutub Al-’Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, 2002 M (1422 H).
- Al-Haitsami, Syihab Al-Din Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Syafi’i, Al-Minah Al-Makkiyyah fî Syarh Al-Hamziyyah, h. 531-532, cet. 2, Dar Al-Minhaj, 2005 M, 1426 H. Bandingkan dengan Al-Albani, Al-Ta’lîqât Al-Hisân ‘alâ Shahîh Ibn Hibbân, juz 10, h. 100, hadis 6939, cet. 1, Dar Bawazir, Jeddah, Saudi Arabia, 2003 M (1424 H).
- Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 2, h. 71, hadis 642.
- Imam Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Fadhâil Al-Shahâbah, juz. 2, h. 579, entri 979, cet. 1, Dar Al-’Ilm, Jami’ah Umm Al-Qura, Mekkah, Saudi, 1983 M, 1403 H.
- Al-Himyari, Ali bin Muhammad, Juz-u Ali bin Muhammad al-Himyarî, h. 34-35, hadis 38, cet. 1, Dar Al-Thahawi, Riyadh, Saudi, 1413 H.
- Al-Dzahabi, Syams Al-Din Muhammad bin Ahmad bin Utsman, Al-Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî Al-Kutub Al-Sittah, juz 2, h. 329, entri 5902, Dar Al-Hadis, Kairo, Mesir, 2008.
- Al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Taqrîb Al-Tahdzîb, h. 395, entri 2464, cet. 1, Dar Al-’Ashimah, Riyadh, Saudi, TT.
- Al-Dzahabi, Al-Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî Al-Kutub Al-Sittah, j. 2, h. 219, entri 5152.
- Al-’Asqalani, Taqrîb Al-Tahdzîb, h. 896, entri 6336.
- Ibid., h. 1077, entri 7789.
- Ibid., h. 166, entri 782.
- Al-Dzahabi, Al-Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî Al-Kutub Al-Sittah, j. 1, h. 266, entri 561.