Berita
Spirit Ukhuwah dalam Tradisi Imlek
Kehebatan bangsa Cina sebagai pengarung samudera telah diakui dunia sejak lama. Bermodal kekuatan besar armada pelayarannya, terbukti hingga kini bangsa ini tersebar di seluruh pelosok dunia, termasuk Indonesia.
Lazimnya warga Cina pendatang, mereka selalu membentuk komunitas khusus di setiap wilayah yang ditempati, yang kemudian dikenal sebagai kawasan Pecinan. Menariknya, di manapun mereka hidup, masing-masing warganya tetap teguh menjunjung tinggi nilai-nilai budaya luhur dan peradaban besar nenek moyang mereka di negeri asal.
Selain itu, lebih dari sekadar hidup berkelompok di wilayah Pecinan, mereka pun mampu melakukan proses pembauran baik melalui cara pernikahan dengan warga lokal maupun dalam hal peralihan keyakinan dengan cara menganut agama mayoritas setempat. Tak heran bila di Indonesia, banyak di antaranya yang kemudian memeluk agama Islam.
Banyak dari komunitas Pecinan mendirikan masjid dengan gaya arsitektur dan nama yang khas. Salah satu buktinya adalah Masjid Lautze yang berdiri megah di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat. Sebagai pusat kegiatan kegamaan, masjid benar-benar dimanfaatkan oleh warga Muslim Tionghoa dengan cara unik untuk tetap menjaga ukhuwah antar mereka. Misalnya dengan tetap membanggakan simbol-simbol budaya dan tradisi leluhur sebagai sebuah pengikat persaudaraan antar sesamanya. Setidaknya sekali dalam setahun mereka masih tetap merayakan tahun baru Imlek bersama-sama, walaupun mungkin dengan prosesi yang agak sedikit berbeda, agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai tertentu dalam Islam.
“Kami tetap merayakan Imlek sebagai sebuah tradisi turun-temurun dari nenek moyang dengan cara saling mengunjungi keluarga untuk mempererat silaturahmi,” tutur Irwan Kusnadi, salah seorang jamaah masjid yang sempat kami wawancarai sebelum mengikuti acara tafakuran rutin tiap Sabtu siang di masjid Lautze.
Sementara Gatot Oei, salah seorang anggota PITI (Persatuan Islam Tioghoa Indonesia) yang kami wawancarai via telepon menjelaskan bahwa merayakan Imlek atau tahun baru Tionghoa bukanlah suatu keharusan bagi warga Muslim Tionghoa. Hal itu dilakukan sebagai wujud penghargaan atas budaya luhur Imlek, khususnya dalam hal tetap menjaga tali silaturahmi dengan sesama saudara lain yang bukan Muslim saja.
“Kita tetap ikuti tradisi perayaan Imlek ini dengan cara yang biasanya sedikit kita modifikasi sendiri. Misalnya dengan menghelat acara makan malam bersama keluarga sebagai ajang silaturahmi dengan orang tua atau saudara yang lebih tua. Ya sebatas itu lah, kira-kira,” jelas Gatot kepada media Ahlulbait Indonesia.
Seperti halnya Irwan dan Gatot, warga Muslim Tionghoa berpandangan bahwa selama prosesi tertentu Imlek tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, tentu akan tetap mereka ikuti. Mungkin hanya sebagian kecil dari tradisi itu yang sengaja mereka hindari, di antaranya soal prosesi sesembahan yang biasanya ditandai dengan pembakaran dupa.
Keteguhan menjaga tradisi warisan leluhur bernilai budaya tinggi yang dilakukan Muslim Tionghoa, kiranya patut kita acungi jempol. Terbukti perbedaan akidah dan keyakinan itu tidak lantas menjadikan hubungan kekerabatan antara mereka tercerai-berai.
Bagi warga Muslim Tionghoa, makna Imlek bukan hanya sebatas merayakan tahun baru Cina dengan harapan beroleh keselamatan dan kemakmuran di masa mendatang. Namun lebih dari itu, dalam Imlek juga mereka temukan tertanamnya nilai luhur ukhuwah sebagaimana Islam sangat menganjurkan memeliharanya, yaitu dengan cara memperkokoh tali persaudaraan dan persatuan sebagai sebuah ikatan yang tulus dan teguh. (Lutfi/Yudhi)