Berita
10 Muharram, Tragedi Pembantaian Keluarga Nabi di Padang Karbala
Peristiwa Karbala atau Peristiwa Asyura adalah perang dan kesyahidan Imam Husain a.s bersama sahabat-sahabatnya melawan pasukan dari Kufah yang terjadi pada 10 Muharram 61 H/680 di bumi Karbala, dimana mereka berperang melawan Yazid khalifah kedua bani Umayyah. Tragedi Karbala merupakan peristiwa sejarah Islam yang paling menyayat hati kaum muslimin terkhusus orang-orang Syiah. Mereka setiap tahun pada peringatan haulnya mengadakan acara duka begitu besar dan menyeluruh.
Asyura menurut pakar bahasa adalah 10 Muharram. [1] Sebagian pakar bahasa menilai bahwa kata āsyurā adalah kata yang dijadikan bahasa Arab (“muarrab”) dari kata āsyur, dan āsyurā merupakan kata yang berasal dari bahasa Ibrani. Kata āsyurā dalam bahasa Ibrani digunakan untuk memberi nama hari ke-10 bulan Tisyri (salah satu Bulan Yahudi). [2] Dalam khazanah budaya Islam, Asyura adalah hari ke-10 Muharram dan hari ketika Imam Husain a.s gugur sebagai syahid. [3]
Peristiwa ini bermula dari matinya Muawiyah (15 Rajab 60 H/679) dan awal mula pemerintahan anaknya, Yazid. Hakim Madinah bersikeras mengambil baiat dari Imam Husain as untuk Yazid. Husain bin Ali untuk lari dari baiat ini pergi dari Madinah ke Mekah di malam hari. Dalam Perjalanan ini, keluarga Imam as, sejumlah orang dari bani Hasyim dan sebagian orang-orang Syiah bersama Imam Husain as.
Imam Husain a.s sekitar 4 bulan menetap di Mekah. Dalam jangka waktu ini surat-surat undangan warga Kufah sampai ke tangan beliau. Dengan memperhatikan kemungkinan dirinya akan dibunuh oleh antek-antek Yazid dan adanya undangan orang-orang Kufah, Imam a.s pada hari ke-8 Dzulhijjah meninggalkan Mekah menuju Kufah. Sebelum sampai di Kufah, beliau mengetahui pengkhianatan orang-orang Kufah dan kesyahidan Muslim bin Aqil yang diutus beliau untuk menyelidiki situasi dan kondisi di sana. Setelah Hur bin Yazid menutup jalan untuk Imam a.s, beliau pergi menuju Karbala dan di sana beliau berhadapan dengan pasukan Umar bin Sa’ad. Umar bin Sa’ad diangkat sebagai komandan perang oleh Ubaidillah bin Ziyad.
Dua pasukan itu berperang sengit pada 10 Muharram atau hari Asyura. Dalam perang ini, Imam Husain, saudaranya Abbas bin Ali, anaknya yang berumur 6 bulan Ali Ashgar, 17 orang dari bani Hasyim dan lebih dari 50 orang dari sahabat-sahabatnya meneguk cawan syahadah. Sebagian penulis kronologi kesyahidan memandang Syimr bin Dzil Jausyan sebagai pembunuh Imam Husain as. Para bala tentara Umar bin Sa’ad menginjak-injak jasad para syuhada dengan kaki-kaki kuda mereka. Sore hari Asyura, pasukan Yazid menyerang kemah-kemah orang-orang yang ditinggalkan pasukan Imam Husain as dan membakarnya. Orang-orang Syiah menamakan malam ini dengan “malam keterasingan”. Imam Sajjad a.s karena sedang sakit tidak ikut berperang dan hidup, dan bersama Sayidah Zainab s.a, seluruh kaum wanita dan anak-anak kecil menjadi tawanan pasukan Kufah. Para pasukan Umar bin Saad menancapkan kepala-kepala para syuhada di ujung tombak, dan bersama para tawanan dibawa kepada Ubaidillah bin Ziyad di Kufah dan dari sana dibawa ke hadapan Yazid di Syam.
Peristiwa Asyura menjadi inspirasi bagi perlawanan-perlawanan selanjutnya di kalangan penganut Syiah seperti perlawanan Tawwabin dan perlawanan Mukhtar. Sangat banyak yang berkeyakinan bahwa Revolusi Islam Iran juga terinspirasi dari peristiwa Asyura ini.
“Sesungguhnya kesyahidan Imam Husain senantiasa membara di dalam hati orang-orang beriman dan yang tidak akan pernah padam selamanya.” Rasulullah saw (Mustadrak al-Wasail, jld.10, hlm. 318)
Ubaidillah bin Ziyad dengan akal busuk dan intimidasi yang dilakukannya berhasil menguasai kota Kufah. Dengan mengepung Imam Husain a.s, pengikut setia dan Ahlulbaitnya di Karbala, ia membunuh mereka semuanya dengan keji dan brutal. Setelah Abu Abdillah Husain as syahid, Ubaidillah menawan perempuan-perempuan dan anak-anak dan untuk beberapa waktu dipenjara di Kufah. Kemudian setelah itu, ia mengabarkan tentang kesyahidan Imam Husain a.s dan penolong setianya kepada Yazid bin Muawiyah.
Yazid membalas surat Ubaidillah seraya meminta supaya membawa kepala para syahid Karbala beserta segala yang mereka miliki ke Damaskus. [4] Karena itu, bagi kaum Muslimin, khususnya kaum Syiah, Asyura meliputi pelbagai peristiwa yang terjadi sebelum dan setelah peristiwa Asyura itu sendiri, yaitu meliputi malam Asyura hingga malam selepas para syuhada Karbala berguguran, kejadian-kejadian terkait dengan persiapan pasukan Imam Husain as untuk berperang hingga gugurnya mereka sebagai syahid, penawanan orang-orang yang selamat, pembakaran dan penjarahan kemah-kemah mereka.
Peristiwa Sore Hari Tāsu’a
Tak lama setelah salat Asar pada 9 Asyura (hari Tasu’a) laskar Kufah di bawah komando Umar bin Sa’ad sembari meneriakkan yel-yel, “Hai pasukan-pasukan Allah! Bersiaplah berperang dengan pasukan Husain ” Namun atas permintaan Imam Husain a.s, Umar bin Sa’ad memberi kesempatan kepada Imam Husain as dan penolong setianya untuk dapat menghabiskan waktu mereka sampai malam dengan shalat, doa dan munajat. Hal ini dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada pasukan musuh agar berpikir kembali tentang langkah-langkah yang telah ditempuhnya. Akhirnya pasukan Kufah itu menunda perang hingga hari Asyura dan mereka pun kembali ke kemahnya. [5]
Pada sore hari Tasu’a itu juga (hari ke-9 Muharam), Imam Husain as berbicara tentang mimpinya dengan saudarinya sendiri, Zainab dan berucap, Aku melihat Rasulullah saw dalam mimpiku. Ia berkata: “Engkau akan mendatangi kami.” [6]
Malam Asyura adalah malam berdoa dan ibadah kepada Allah swt yang dilakukan oleh Imam Husain as dan penolong setianya. Dhahak bin Abdullah Masyriqi meriwayatkan bahwa pada sebagian malam mereka menyibukkan dengan bermunajat, berdoa dan beristighfar.[7] Mereka tidak henti-hentinya berdzikir dan beribadah sampai suaranya terdengar bagaikan dengungan lebah. [8]
Malam Asyura
“Sebelum peristiwa Asyura, dunia hanya tahu aturan bahwa, ‘Yang Kuat itu yang benar’, tetapi Asyura mengenalkan rumus baru kepada seluruh dunia bahwa,’Yang Benar itu yang kuat.’ Setelah Asyura, terbukti bahwa darah mereka yang tak berdosa bisa mengalahkan pedang seorang tiran.” (Edward G.Brown)
Pada malam hari Tāsu’a, Imam Husain a.s mengumpulkan pengikut setia dan keluarganya. “Aku tidak mengenal keluarga dan penolong yang lebih baik dari pada kalian dan karena besok adalah hari perang, maka aku tidak dapat menjamin kalian, aku menarik baiat darimu, oleh karenanya aku mengizinkan jikalau kalian akan memilih jalanmu pada kegelapan malam dan pergilah.” Ujar Imam Husain a.s. Setelah menyelesaikan ucapannya, sahabat dan penolong setianya secara bergantian satu per satu berdiri untuk menyatakan solidaritas dan dukungannya kepada Imam Husain a.s. Mereka pun menyatakan kesetiaannya dan kebersamaan kepada Imam Husain as dalam semua aspek terhadap Imam. Mereka juga menegaskan akan kesetiannya kepada baiat yang telah diberikan dan menjelaskan tentang kemantapan mereka dalam membaiat kepada Imam Husain as. Pertama yang melakukan hal itu adalah Abbas bin Ali as, kemudian para pemuda Ahlulbait yag lainnya menyatakan dukungannya dan akan selalu menyertai Imam Husain as. [9]
Kemudian Imam Husain as menoleh kepada putra-putra Aqil dan berucap, “Wahai putra-putra Aqil! Cukuplah pengorbanan kalian dengan kematian Muslim, karena itu pergilah kalian, Aku mengizinkan kalian untuk pergi.” Namun mereka menjawab, “Demi Tuhan! Aku tidak akan melakukan hal itu. Jiwa, harta dan keluarga kami menjadi tebusan bagimu dan kami akan berperang bersamamu.” [10]
Setelah perkataan Ahlulbait as, Muslim bin Ausajah, [11] Sa’id bin Abdullah Hanafi, [12] Zuhair bin Qain[13] kemudian disusul oleh penolong setia Imam Husain as yang lain juga berbicara tentang perang dan pertolongan kepada Imam Husain as hingga menemui kesyahidan.[14]
Kemudian Imam Husain as berkata kepada sahabatnya, “Sesungguhnya besok Aku akan terbunuh dan semua dari kalian yang bersamaku juga akan terbunuh.” Para sahabat berkata, “Puji Tuhan bahwa kami dikaruniai untuk menolongmu dan dengan cara syahadah kami diberi kemuliaan bersamamu. Wahai putra Rasulullah saw! Apakah Anda tidak rela jika kami juga bersama denganmu berada dalam satu derajat di surga?” Imam Sajjad as meriwayatkan bahwa setelah orasi dan mendengarkan jawaban penuh semangat dan gairah mereka, Imam Husain as pun mendoakan mereka. [15] Pada malam itu, Burair bin Khudhair meminta izin Imam Husain as untuk pergi dan menasehati Umar bin Sa’ad. Imam menyetujuinya. Ia pun pergi ke hadapan Umar bin Sa’ad. Ketika Burair kembali ke hadapan Imam Husain as, ia berkata, “Wahai putra Rasulullah saw! Umar bin Sa’ad rela membunuhmu demi jabatan gubernur di kota Rei.” [16]
Pada malam Asyura, Imam Husain as tidak lupa untuk melakukan aksi-aksi militer yang efektif. Pada pertengahan malam Asyura, Abu Abdillah al-Husain as pergi sendiri keluar kemah guna memantau tempat-tempat terjal yang ada di sekitarnya dan menyiapkan peralatan perang yang perlu digunakan untuk penyerangan besok. [17] Pada malam tersebut, sesuai dengan instruksi Imam Husain as, para sahabat dan penolong setianya menggali sumur seperti parit di sekitar perkemahan. Atas perintah Imam Husain as, kemudian parit ini dipenuhi dengan kayu bakar dan semak belukar. Imam Husain as memerintahkan para pengikutnya supaya membakar kayu bakar dan semak belukar itu begitu musuh menyerang maka api akan mencegah serangan musuh dari belakang dan akan melindungi keluarga Ahlulbait yang ada di kemah. Strategi ini sangat bermanfaat pada siang hari Asyura bagi para sahabat Imam Husain as.” [18]
Imam Husain as perintahkan sahabatnya untuk mendirikan kemah-kemah yang saling berdekatan dan menancapkan tali-tali kemah dari dalam. Kemah-kemah pun didirikan sehingga mereka berada di antara kemah-kemah itu dan berhadapan-hadapan hingga kemah belakang dan meletakkan pada sisi kanan dan kiri mereka. Kemudian menutup jalan-jalan selain dari jalan yang dilewati oleh musuh. [19]
Penegasan Kembali para Sahabat akan Janji Setianya
Pada pertengahan malam Asyura, Abu Abdillah Husain as pergi keluar sendiri demi mengetahui keadaan perbukitan sekitar. Nafi’ mengetahui langkah imam tersebut dan membuntutinya dari belakang. Setelah memeriksa tenda-tenda, Imam Husain as kembali ke kemah dan memasuki kemah saudarinya, Zainab. Nafi’ bin Hilal duduk menunggu di luar kemah dan mendengar Zainab bertanya kepada Imam Husain as, “Saudaraku, apakah kau telah menguji seluruh sababatmu? Aku khawatir jika mereka akan mengkhianati kita dan ketika mereka terdesak, mereka akan menyerahkan engkau kepada pihak musuh?”
Imam Husain as dalam menjawab pertanyaan saudarinya bersabda, “Demi Allah! Aku telah menguji mereka. Aku mendapati mereka laki-laki yang tetap akan berada di medan peperangan sehingga apabila mereka menatap kematian dan syahid di jalanku seolah-olah bayi yang menyukai dan merindukan air susu ibunya.” Nafi’ ketika merasa bahwa Ahlulbait as mengkhawatirkan akan kesetiaan dan kekonsistenan para sahabatnya, ia pergi menemui Habib bin Mazhahir dan bermusyawarah dengannya. Mereka memutuskan bersama dengan para sahabat Imam yang lain meyakinkan bahwa mereka akan berjuang sampai titik darah penghabisan demi melindungi Imam Husain as.
Habin bin Mazhahir, memanggil sahabat Imam Husain as untuk berkumpul dan bersama mereka dengan pedang yang terhunus dan satu suara pergi ke kemah Ahlulbait as dan berteriak: “Wahai Ahlulbait Rasulullah Saw! Pedang-pedang pemuda dan para ksatriamu tidak akan tersarungkan kembali sehingga akan menebas leher-leher orang-orang yang berbuat jahat kepadamu. Tombak-tombak ini adalah tombak-tombak putra-putra Anda, kami bersumpah bahwa tombak-tombak itu hanya akan tertancap di dada-dada mereka yang telah mengundang Anda namun kemudian melanggarnya. “[20]
Pada malam Asyura, di hadapan putranya, Imam Sajjad as, Imam Husain as mengajak saudarinya, Zainab supaya bersabar. [21]
Imam Husain as menulis surat yang harus ditulisnya kepada beberapa orang atau kelompok pada malam Asyura. Karena berada dalam keadaan terkepung Imam Husain as berpesan kepada anggota keluarganya seperti Fatimah, putrinya, Zainab, saudarinya dan Imam Sajjad untuk menyampaikan surat itu pada waktunya setelah syahadahnya. Salah satu surat itu adalah surat yang ditujukan kepada penduduk Kufah. Dalam surat itu Imam Husain as menjelaskan tentang sumpah dan janji palsu mereka serta kemalangan nasib mereka.
“Dalam penggalan ziarah Imam Husain yang dibaca pada Arbain (hari keempat puluh) terdapat sebuah kalimat yang sangat sarat makna, “Wa badzalah muhjatahu fika liyastafida ‘ibadaka min al-jahalah.” Falsafah pengorbanan Imam Husain bin Ali as terkandung dalam kalimat ini. Peziarah Imam Husain as bertutur di hadapan Allah swt bahwa hamba-Mu ini, Husain-Mu ini, mempersembahkan darahnya supaya dapat menyelamatkan manusia dari kebodohan demikian juga (berupaya) membebaskan manusia dari kesesatan.” Imam Ali Khamenei
Pagi hari Asyura, Imam Husain as bersama dengan pengikut setianya melaksanakan salat Subuh. [22] Usai salat Subuh, Imam Husain as mengatur pasukannya menjadi dua baris: 32 pejalan kaki dan 44 penunggang kuda.[23]
Imam menunjuk Zuhair bin Qain sebagai komandan pasukan sebelah kanan dan Habib bin Mazhahir sebagai komandan pasukan sebelah kiri dan panji perang diberikan kepada saudaranya, Abbas as. [24]
Atas instruksi Imam Husain as, para sahabat Imam Husain as mendirikan perkemahan di belakangnya. [25] Kemudian mereka membakar sekeliling kemah, yang sebelumnya telah digali dan dipenuhi dengan semak belukar dan kayu bakar sehingga akan menghalangi serangan musuh dari belakang. [26]
Pada sisi medan yang lain, Umar bin Sa’ad juga melakukan salat Subuh dan menunjuk komandan pasukannya. Menurut riwayat masyhur jumlah pasukan Kufah mencapai hingga 4000 orang. Kemudian ia menunjuk Umar bin Hajjaj Zubaidi sebagai komandan sebelah kanan, Syimr bin Dzil Jausyan sebagai komandan sebelah kiri, ‘Uzarah bin Qais Ahmasi sebagai komandan pasukan berkuda dan Syabt bin Rabi’i sebagai komandan pejalan kaki. [27]
Umar bin Sa’ad juga menunjuk Abdullah bin Zuhair Asadi sebagai Gubernur Kota Kufah, Abdurahman bin Abi Sabrah komandan kabilah Mizhaj dan Bani Asad, Qais bin Asy’at bin Qais sebagai komandan kabilah Rabi’ah dan Kandah, Hurr bin Yazid al-Riyahi sebagai komandan Bani Tamim dan Hamedan. Sedangkan panji perang diberikan kepada budaknya sendiri, Dzuwaid (Duraid). [28]
Kini ia telah bersiap untuk perang melawan Aba ‘Abdillah Husain as. Diriwayatkan ketika mata Imam Husain as menatap pasukan musuh yang sangat banyak itu, Imam langsung menengadahkan tangannya untuk berdoa dan berucap, “Tuhanku! Engkau adalah sandaranku dalam setiap kesulitan dan harapanku dalam setiap penderitaan. Hanya Engkaulah harapanku. Betapa sedihnya aku. Betapa sedihnya aku ketika para penolongku membiarkanku dan musuh mengejekku dan aku karena kedekatanku dengan-Mu mengeluh kepadamu, bukan kepada orang lain. Dan Kaupun membuka kesusahan itu. Oleh karenanya, Engkau adalah Wali dalam setiap nikmatku dan dari-Mu lah semua kebaikan dan Engkau adalah tujuan terakhirku. [29]
Semenjak pagi itu atau mungkin sedikit agak lambat, beberapa sahabat Imam menjaga perkemahan Imam supaya pihak musuh tidak mendekati kemah dan beberapa orang dari pasukan Kufah mereka lumpuhkan di tempat itu juga.[30]
Ceramah Imam Husain as dan Pengikut Setianya
Sebelum perang dimulai, Imam Husain as bersama dengan beberapa pengikut setianya menaiki kuda menuju pasukan musuh untuk menyempurnakan hujjah kepada pasukan Kufah. Pada saat itu Burair bin Khudhair berada di depan Imam. Imam berkata kepadanya, “Wahai Burair berbicaralah dengan mereka dan berilah nasehat kepada mereka.”[31] Kemudian Burair pun pergi ke arah pasukan Umar bin Sa’ad dan memberi nasehat.[32]
Imam Husain as memberi nasehat kepada pasukan musuh ketika sebagian besar mereka telah hadir sehingga mereka semua mendengar suara Imam. Imam Husain as pun memulai memberikan nasehatnya dan mengajak ke jalan yang benar. Setelah mengucapkan puji-pujian kepada-Nya, Imam pun mengenalkan diri bahwa Imam Husain as adalah putra dari putri Nabi Muhammad saw, washi dan sepupu nabi, Hamzah, penghulu para syuhada adalah paman ayahku dan Ja’far Thayyar adalah pamannya. Kemudian Imam Husain as mengisyaratkan tentang hadis Nabi Muhammad saw: “Hasan dan Husain penghulu pemuda penghuni surga”. Lalu sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw yang masih hidup: Jabir bin Abdullah Anshari, Abu Said al-Khudri, Sahk bin Sa’ad Sa’idi, Zaid bin Arqam. Anas bin Malik pun membenarkan perkataan itu.
Kemudian Imam Husain as berbicara kepada para komandan pasukan Kufah: Syabats bin Rab’i, Hijr bin Abjar, Qais bin Asy’ats, Yazid bin Harits tentang surat yang ditulis oleh mereka Imam mengingatkan surat-surat yang mereka tulis dengan kata-kata yang mereka tulis dan mengisyaratkan tentang penyerahan mereka. Namun mereka mengingkarinya. Imam berucap, “Aku bersumpah tidak akan menyerah kepada kalian secara hina.” [33]
Setelah Imam Husain as menyampaikan ceramahnya kepada penduduk Kufah, Zuhair bin Qain berkata-kata kepada masyarakat Kufah tentang keutamaan Imam Husain as dan memberi nasehat kepada mereka. [34] Walaupun di antara pasukan itu, meski nama Syimr disebutkan dengan jelas dalam orasi yang disampaikan oleh Imam Husain as, namun ia tidak memahami isi orasi itu dan nasehat yang disampaikan oleh Zuhair pun dijawab dengan cercaan dan hinaan. [35]
Pasukan Umar bin Sa’ad telah siap untuk berperang atas pancingan yang diperintahkan oleh Imam Husain as dari arah belakang kemah. Pada saat itu, Syimr bin Dzil Jausyan bersama sekelompok pasukan penunggang kuda mendekat di sekitar perkemahan Imam Husain as dan dari belakang dengan menabur debu, namun ketika matanya melihat parit yang terbakar, maka ia memaki Imam Husain as. Walaupun Muslim bin Ausajah telah dekat dengan Syimr dan telah siap untuk melepaskan anak panahnya ke tubuh Syimr, namun Imam Husain as bersabda, “Sesungguhnya aku tidak ingin memulai peperangan ini.” [36]
Permulaan Perang dari Kubu Umar bin Sa’ad
Akhirnya perang itu meletus ketika Umar bin Sa’ad memanggil budaknya, Duraid (Dzubaid) dan berkata: “Hai Duraid, bawalah panji perang itu! Kemudian Duraid membawa panji itu ke arah depan.” Lalu anak Umar bin Sa’ad memasang anak panah ke busurnya dan melepaskannya seraya berkata, “Berikan kesaksian kalian di hadapan sang pemimpin (Yazid) bahwa akulah orang pertama yang melepaskan anak panah.” [39] Kemudian pasukan musuh itu pun melepaskan anak panah secara berkelanjutan. [40] Oleh karena itu, pada permulaannya, penyerangan pada hari Asyura terjadi dalam bentuk kelompok dan selama permulaan penyerangan, beberapa sahabat Imam Husain as telah mereguk cawan kesyahidan. Penyerangan ini dikenal dengan nama “Penyerangan Awal” dan berdasarkan sebagian sumber sejarah, hingga 50 orang dari pasukan Imam Husain as menemui kesyahidan pada penyerangan awal ini. Setelah itu penolong setia Imam Husain as bertempur secara berduel atau dua orang-dua orang. Sahabat Imam Husain tidak memberikan izin sedikit pun kepada pihak musuh untuk mendekat kepada Imam Husain as. [41]
Amru bin Hajjaj dengan pasukannya menyerang pasukan sayap kanan Imam Husain as dan mereka berhadapan dengan pasukan Imam Husain as yang mencegah laju serangan itu. Pasukan berkuda Amru bin Hajjaj ketika melihat keadaan itu, langsung menarik pasukannya ke belakang dan kembali ke kemahnya. Pada saat mereka hendak kembali ke perkemahan, pasukan Imam Husain as memanah mereka dan sekelompok dari mereka terbunuh atau terluka. [42] Setelah terbunuhnya beberapa orang dari pasukan Kufah dalam pertarungan yang terjadi secara duel, Umar bin Sa’ad melarang pasukannya berperang secara duel.[43] Amru bin Hajjaj mencoba kembali untuk menyerang Imam Husain as dan pasukannya dari sisi Sungai Eufrat. Setelah beberapa jam berperang, dengan ketahanan pasukan Imam Husain as, Amru bin Hajjaj dan pasukannya terpaksa menarik pasukannya kembali. Pada saat ini, Muslim bin Ausajah gugur sebagai syahid. [44] Oleh karena itu, Muslim bin Ausajah diyakini sebagai penolong setia Imam Husain as yang pertama kali gugur sebagai syahid. [45]
Setelah selesai pemanahan, Sayar, budak Ziyad bin Ubaih dan Salim, budak Ubaidillah bin Ziyad, maju ke medan laga dan siap bertarung. Habib bin Mazhahir dan Burai bin Hudhair bangun dari tempatnya dan pergi ke medan pertempuran, namun Imam Husain as tidak memberikan izin kepada mereka. Abdullah bin Umair pun berdiri dan meminta izin dari Imam Husain as. Lalu Imam Husain pun memberikan izin kepadanya.
Tak lama setelah serangan Amru bin Hajjaj, Syimr bin Dzil Jausyan bersama dengan Maisarah, pasukan Umar bin Sa’ad juga menyerang sisi kiri laskar Imam Husain as di mana ia juga menghadapi perlawanan yang luar biasa dari pasukan Imam Husain as. [46] Di antara para komandan pasukan Kufah, Di antara pasukan Kufah, Syimr bin Dzil Jausyan adalah orang yang paling bersemangat dalam memerangi Imam Husain as. Ia bahkan ingin membunuh para wanita dan membakar kemah Imam Husain as di hadapannya. [47]
Sebelum Dhuhur hari Asyura, pasukan musuh mulai serangannya secara membabi buta dari segala penjuru ke pasukan Imam Husain as. Dalam serangan ini, pasukan Imam Husain as terlibat peperangan yang sangat sengit dengan pasukan musuh. Dalam serangan ini, walaupun pasukan berkuda Imam Husain as yang jumlahnya hanya 32 orang, namun mereka mampu bertahan sehingga pasukan musuh yang berjumlah sangat banyak itu menjadi kewalahan. Pada saat itu Azrah bin Qais yang merupakan komandan pasukan berkuda laskar Umar bin Sa’ad terpaksa meminta bantuan dari Umar bin Sa’ad. [48]
Umar bin Sa’ad menyuruh Husain bin Tamim bersama dengan pasukan berkuda yang telah dilengkapi dengan kuda-kuda yang berperisai untuk mengirim 500 pemanah kepada Azrah bin Qais. Ketika mereka mendekati pasukan Imam Husain as dan penolong setianya, maka mereka pun mulai menghujani Imam Husain as dan penolong setianya dengan anak panah. [49]
Pasukan Imam Husain as terbagi menjadi tiga dan empat kelompok dan mereka terus bertempur untuk melindungi kemah Imam. Mereka melindungi kemah Imam Husain setiap kali pasukan musuh hendak menyerang dan menjarah kemah Imam. Mereka menangkis serangan itu dan membunuh para penyerang itu dengan pedang atau anak panah. Kegagalan pasukan Umar bin Sa’ad dalam menghadapi Imam Husain as dan pasukannya menyebabkan anak Sa’ad memerintahkan supaya merusak tenda-tenda Imam Husain as. Kemudian laskar Kufah itu pun merusak tenda-tenda Imam Husain as dari segala penjuru. Pada salah satu serangan ini, Syimr bersama dengan sekelompok pengikutnya menyerang kemah Imam Husain as dari belakang, namun Zuhair bin Qain bersama dengan 10 penolong Imam Husain as yang lain menghalau serangan itu yang membuat mereka menjauh dari perkemahan Imam. [50]
Perang pun berlanjut hingga matahari tergelincir. [51] Pada waktu itu, sangat banyak dari penolong Imam Husain as yang telah gugur sebagai syahid. Dalam serangan itu, di samping Muslim bin Ausajah, Abdullah bin Umair Kalabi yang berada di sayap kiri laskar Imam syahid di tangan Hani bin Tsabit Hadhrami dan Bukair bin Hay Tamimi. [52]
Amru bin Khalid Shaidawi, Jabir bin Harist Salmani, Sa’ad, budak Amru bin Khalid, Majma’ bin Abdullah ‘Aidi dan anak laki-lakinya, ‘Aid bin Majma’ juga menemui kesyahidannya ketika mereka berhadap-hadapan dengan pasukan musuh. [53] Sejumlah penolong Imam Husain as yang lain, yang menurut sejarawan jumlah mereka hingga lebih dari 50 orang juga gugur sebagai syahid pada waktu itu. [54]
Kejadian-kejadian Siang Hari Asyura
Dengan tibanya Dhuhur dan waktu salat pada siang hari Asyura, Abu Tsamamah dan Amru bin Abdullah Shaidi mengingatkan Imam Husain bahwa waktu salat telah tiba. Imam pun mengangkat kepalanya dan melihat ke arah langit dan mendoakannya, kemudian bersabda, “Mintalah kepada mereka (pasukan Kufah) untuk memberi kesempatan supaya (kita) menunaikan salat Dhuhur.” [55]
Pada saat itu, salah seorang anggota pasukan Umar bin Sa’ad, Husain bin Tamim berteriak lantang bahwa salat yang dilakukan oleh Imam Husain as tidak akan diterima. Habib bin Mazhahir marah mendengar kata-kata ini dan ia pun berujar, “Kau beranggapan bahwa salat yang dilakukan oleh Ahlulbait tidak akan diterima, namun menerima salat yang dilakukan oleh orang yang dungu?” Ketika mendengar perkataan ini, Husain dan orang-orang yang ada di sekelilingnya pun menyerang Habib bin Mazhahir dan mereka pun terlibat pertempuran sengit[56]sehingga menyebabkan syahidnya Habib oleh Budail Shuraim dan Hushain bin Tamim. [57]
Siang hari Asyura, Imam Husain as dan penolong setianya berdiri untuk mengerjakan salat. Imam memerintahkan Zuhair bin Qain dan Sa’id bin Abdullah Hanafi beserta setengah dari jumlah pasukan beliau yang tersisa untuk maju ke depan guna melindungi dari serangan musuh. Begitu mereka memulai salat[58] pasukan Umar bin Sa’ad melepaskan anak panah ke arah mereka, namun Zuhair dan Abdullah menjadikan dirinya sebagai tameng dan menghalangi sampainya anak panah itu tertuju kepada Imam Husain dan pasukannya. [59] Setelah selesai salat, Sa’id bin Abdullah mereguk cawan kesyahidan karena terluka sangat parah[60] Setelah salat, Zuhair bin Harir, Barir bin Khudhair Hamedani, Nafi’ bin Hilal Jamali, Abis bin Abi Syabit Syakiri, Khandhalah bin Sa’ad Syabami dan mereka satu per satu gugur sebagai syahid. [61]
Setelah syahadah para sahabat Imam Husain as, keluarga Imam Husain as maju ke medan laga. Ali Akbar bin Husain as adalah pemuda yang pertama kali meminta izin dari Imam Husain as untuk maju ke medan perang. Imam pun memberi izin kepadanya. [62]Setelah memperoleh izin dari Imam Husain as, Ali Akbar pergi ke medan perang dan Imam Husain as pun mendoakan untuknya. Ali Akbar adalah seseorang yang paling mirip dengan Rasulullah sawdari segala sisi. [63]
Setelah kesyahidan Ali Akbar, saudara-saudara Imam Husain as yang lain menyusulnya mereguk cawan kesyahidan sebelum Abbas bin Ali as syahid. [64]
Keluarga Bani Hasyim yang lain, satu per satu, semuanya gugur sebagai syahid seperti putra-putra Muslim bin Aqil dan juga putra-putra Ja’far bin Abi Thalib, ‘Adi bin Abdullah bin Ja’far Thayar dan juga putra-putra Imam Hasan as, Qasim bin Hasan dan saudaranya, Abu Bakar, saudara-saudara Abul Fadhl Abbas, Abdullah, Utsman, dan Ja’far. [65]
Adapun Abu Fadhl, yang merupakan pemegang panji Karbala dan penjaga perkemahan, mempunyai kewajiban untuk membawa air ke perkemahan. Namun ia terkepung oleh pasukan Umar bin Sa’ad ketika hendak mengambil air di tepi Sungai Eufrat. Ia berhadap-hadapan dengan penjaga tepi sungai Eufrat menemui kesyahidannya. [66]Diriwayatkan bahwa sahabat terakhir Imam Husain as yang gugur sebagai syahid adalah Syuwaid bin Amru Khats’ami. [67]
Tekad Imam Sajjad untuk Pergi ke Medan Pertempuran
Pasca syahadah sahabat-sahabat dan Bani Hasyim, Abu Abdillah al-Husain as maju ke medan perang. Pandangan ketidaksabaran Ahlulbait membuat Imam Husain as menjadi terluka, kemudian Imam menatap keadaan sekelilingnya, namun Imam tidak melihat seorang penolong pun yang akan menolongnya. Kemudian pandangan Imam Husain tertuju pada badan-badan sahabatnya yang bercerai berai di padang Karbala dan berkata-kata kepada pasukan Kufah, “Apakah ada orang yang akan menjaga haram (keluarga) Rasulullah? Apakah ada di antara kalian yang menyembah Tuhan dan takut terhadap Tuhan? Apakah ada orang-orang yang berteriak dan menjawab seruanku karena Tuhan? Apakah ada orang yang mau menolongku karena Tuhan?” [68]
Namun tidak terdengar jawaban dari pasukan Kufah. Imam menghadap ke jasad syuhada dan berucap, “Wahai Habib bin Mazhahir, wahai Zuhair bin Qain, Wahai Muslim bin Ausajah, wahai para pendekar-pendekar gagah berani! Mengapa Aku memanggil nama kalian namun kalian tidak mendengar panggilanku. Aku memanggil kalian, tapi engkau tidak memenuhi panggilanku? Kau telah tidur panjang, namun Aku berharap supaya kalian bangun dari tidur yang indah demi wanita-wanita Ahlulbait, setelah kematian kalian mereka tidak lagi mempunyai pembela dari pembangkangan dan pelanggaran yang mereka lakukan.”
Mendengar teriakan Imam Husain as, jeritan dan rintihan wanita-wanita Ahlulbait terdengar kencang. Diriwayatkan bahwa ketika Imam Sajjad as dalam keadaan bersandar pada tongkatnya karena mendengar teriakan Imam Husain as, pergi ke luar kemah. Namun Imam Sajjad as tidak mempunyai kemampuan untuk membawa pedang. Ketika Imam Husain as menyadari hal itu, Imam Husain memanggil Ummu Kultsum untuk mengembalikan Imam Sajjad as supaya bumi tidak kosong dari putra-putra Nabi Muhammad Saw (bumi tanpa hujjah Allah). [69]
Persiapan Imam Husain untuk Berperang
Imam mendatangi kemah dan setelah menasehati Ahlulbaitnya untuk tenang, Imam Husain berpamitan dengan saudari-saudarinya, perempuan-perempuan dan putra-putranya. Mereka membawakan baju untuk Imam Husain as. Imam Husain as merobek baju itu menjadi beberapa bagian sehingga tidak ditelanjangi oleh pasukan Kufah mengingat pakaian itu telah sobek-sobek. Imam memakai potongan pakaian itu di bawah bajunya. Walaupun begitu, baju ini juga akhirnya dijarah. [70]
Ketika Imam Husain as melihat bayi susunya tercekik kehausan, ia mengangkatnya dan membawa ke dekat medan perang dan berkata, “Hai kalian semua! Jika kalian tidak mengasihiku, kasihanilah bayi yang masih menyusu ini!” Namun mereka juga tidak menaruh kasih sayang sedikit pun, walaupun kepada bayi yang masih menyusu. Harmalah bin Kahil Asadi dari pasukan Kufah melepaskan anak panah dan mengenai leher bayi itu. Bayi itu pun syahid di tangan ayahandanya. [71]
Peperangan pada Sore Hari Asyura
Setelah syahadah sahabat dan keluarga, Imam kini dalam kondisi sendirian, untuk beberapa lama pasukan Kufah tidak ada yang datang guna berhadap-hadapan dengan Imam Husain as. Sekali waktu, Imam Husain bermaksud hendak meminum air, namun mereka mengarahkan anak panah ke arah mulut imam dan berkata, ketika kuda sudah menuju bibir Sungai Eufrat, maka air sudah ditutup bagi Imam. [72]
Walaupun Imam sendirian dan luka sekujur badannya sangat parah, namun Imam Husain as tidak gentar untuk menghunuskan pedangnya. [73]
Menurut Humaid bin Muslim, “Demi Allah, tak pernah sekalipun aku menyaksikan seorang yang hatinya telah pilu menyaksikan pembantaian anak, keluarga dan para sahabatnya yang lebih tabah dari Al-Husain as. Ketika pasukan musuh mendesaknya, dengan memainkan pedangnya beliau balas mendesak gerak laju mereka, bagai serigala yang melepaskan diri dari ikatan yang membelenggunya.” [74]
Sayid Ibnu Thawus mengisahkan, “Ketika Imam Husain as menyerang barisan musuh, maka 30 ribu anggota pasukan tercerai berai. Barisan mereka terobrak-abrik bak pasukan belalang.” [75] Setelah beberapa lama berperang, Imam Husain as kembali ke kemah perempuan dan mengajak mereka untuk bersabar. [76] Lalu berpamitan dengan mereka satu per satu. [77] Kemudian Imam menghampiri tempat pembaringan Imam Sajjad as. [78]
Ketika Imam Husain as tengah sibuk berpamitan dengan penghuni kemah, atas perintah Umar bin Sa’ad, pasukan Kufah menyerang kemah Imam Husain as dan Imam Husain as menjadi sasaran anak panah musuh, sampai anak-anak panah menembus tali-tali dan kemah-kemah sehingga menyebabkan ketakukan yang luar biasa bagi penghuni kemah. [79]
Syahadah Imam Husain as
Imam Husain as pada hari Asyura menentukan tempat baginya untuk menyerang musuh. Setelah Imam melakukan penyerangan, Imam Husain as kembali ke tempat dan dengan suara yang keras (sehingga penghuni kemah mendengar) bersabda, ”La Haula wa La Quwwata illa billahi ‘Aliyyil ‘Adzim” [80]
Setelah beberapa kali menyerang musuh dan kembali ke tempatnya, Syimr bin Dzil Jausyan bersama dengan beberapa orang dari pasukan Kufah menyerang kemah Imam Husain as dan memisahkan Imam Husain as dari kemahnya. Ketika Imam menyaksikan hal ini, ia berteriak, “Celakalah kau! Jika kau tidak mempunyai agama dan tidak takut terhadap hari kiamat, paling tidak jadilah orang yang merdeka!”[81]
Pasukan pejalan kaki di bawah perintah Syimr telah mengepung Imam namun tidak ada satu pun yang maju. Karena itu, Syimr terpaksa mendorong mereka. [82] Syimr bin Dzil Jausyan memerintahkan kepada pasukan pemanah untuk melesatkan anak-anak panahnya. Kemudian anak panah pun menghujani Imam Husain dari segala penjuru dan karena anak panah sangat banyak, badan Imam terpenuhi anak panah. [83] Kemudian Imam mundur, dan mereka membuat barisan di hadapan Imam. [84]
Diriwayatkan bahwa pukulan pertama atas kepala Imam Husain as dilakukan seorang laki-laki dari Kabilah Kandah.[85]
Menurut sebagian riwayat, badan Imam menjadi sangat lemah karena luka dan keletihan yang amat sangat. Al-Husain as berhenti untuk beristirahat sejenak, setelah badan beliau melemah dan ketangkasannya mengendur. Tiba-tiba sebuah batu menghantam dahinya selagi beliau berhenti. Dengan bajunya, beliau mengusap darah segar yang mengalir dari dahi suci itu. Mendadak sebuah anak panah beracun dan bercabang tiga lepas dari busurnya, melesat dan tepat bersarang di jantung Imam. [86]
Menurut sebagian referensi, seorang laki-laki bernama Malik bin Nusair mengayunkan pedangnya ke kepala Imam Husain as. Penutup kepala Imam Husain as terbelah dan pedang melukai kepalanya. [87]
Kemudian Zar’ah bin Syuraik Tamimi menghantamkan pedangnya ke pundak kiri Imam. Sinan bin Anas melepaskan anak panah ke leher Imam, kemudian Saleh bin Wahab Ju’fi menurut ucapan Sinan bin Anas menghampiri Imam dan menusukkan tombaknya ke pinggang al-Husain. Beliau tersungkur jatuh ke tanah dari kudanya. [88]
Ketika Imam terkepung oleh pasukan Kufah, Imam melewati saat-saat kehidupan terakhirnya, salah seorang anak-anak yang berada di kemah bernama Abdullah bin Hasan as dengan melihat kejadian meskipun dicegah oleh Zainab Kubra, bergerak cepat menuju arah Imam Husain as. Ketika Bahr (Abhar) bin Ka’ab -dan menurut sumber yang lain Harmalah bin Kahil Asadi- menyerang Imam Husain as dengan pedang, bocah itu pun berusaha menangkis pedang yang diarahkan ke Imam Husain dengan tangannya, namun tangan mungilnya terpotong sabetan pedang. [89]
Syimr bin Dzil Jausyan dengan beberapa orang dari pasukan Umar bin Sa’ad seperti: Abul Junub Abdurahman bin Yizad, Qasy’am bin Amru bin Yazid Hardun Ju’fi, Saleh bin Wahab Yazani, Sinan bin Anas Nakh’i, Khuli bin Yazid Ashbahi datang mendekati al-Husain. Syimr mendorong mereka untuk menyerang Imam Husain as secara habis-habisan. [90]
Namun tidak ada seorang pun yang bersedia. Kemudian Syimr memerintah Khuli bin Yazid untuk memenggal kepala suci al-Husain as. Khuli pun hendak memenggal kepala al Husain, namun ketika ia memasuki tempat pembantaian tangan dan tubuhnya bergetar sehingga ia jatuh ke bumi dan tidak melanjutkan niatnya. Kemudian Syimr[91] dan menurut riwayat lain, Sinan bin Anas[92] turun dari kudanya memenggal kepala Imam Husain as dan memberikan kepala itu kepada Khuli. [93] Pada badan suci Imam, ketika beliau syahid terdapat 33 bekas tebasan pedang dan 34 luka akibat tombak. [94] Pasca Imam Husain as syahid, musuh merampas baju dan melucuti barang-barang yang dikenakan al-Husain dan membiarkan al-Husain telanjang.
Atas perintah Umar bin Sa’ad demi memenuhi instruksi Ibnu Ziyad, 10 orang atas kemauannya sendiri, di antaranya Ishaq Hauyah dan Akhnas bin Murstad dengan kudanya sendiri menginjak-injak jasad Imam Husain as. [95]
Umar bin Sa’ad pada hari itu juga membawa kepala suci Imam Husain as bersama dengan Khuli bin Yazid Ashhabi dan Hamid bin Muslim Azadi. Umar bin Sa’ad juga memerintahkan untuk memenggal kepala sahabat setia Imam Husain dan pemuda-pemuda Bani Hasyim yang berjumlah 72 kepala. Syimr bin Dzil Jausyan, Qais bin Asy’ats dan Amru bin Hajjaj mengirim kepala-kepala suci ke Kufah. [96]
Kejadian Pasca Perang
Pasca syahadah Imam Husain as, pasukan musuh demi menjarah pakaian dan tenda Imam Husain as menyerang kemah. Mereka menjarah kuda, unta dan peralatan perang lainnya. Mereka juga merampok baju, perhiasan dan alat-alat perempuan Ahlulbait. Mereka berlomba-lomba satu sama yang lain dalam menjarah kemah Imam Husain as.
Syimr bin Dzul Jausyan bersama dengan beberapa pasukannya masuk ke kemah. Syimr hendak membunuh Imam Sajjad as, namun Sayidah Zainab sa menghalanginya. Menurut riwayat yang lain, sebagian dari pasukan Umar bin Sa’ad protes atas hal ini. Umar memerintahkan perempuan-perempuan Ahlulbait dikumpulkan dalam sebuah kemah dan beberapa pasukannya diperintahkan untuk menjaganya.
Orang-orang yang Selamat dari Penolong Setia Imam Husain as
Dhahak bin Abdullah Masyriqi dan budak Abdur Rahman bin ‘Abdariyah Anshari melarikan diri dari tempat kejadian dan kepungan musuh. Marqa’ bin Tamamah Asadi yang diasingkan oleh Yazid. ‘Aqabah bin Sam’an budak Rubab istri Imam as dibebaskan karena ia adalah seorang budak.
Tawanan Ahlulbait as
Ketika tragedi Asyura meletus, Ali bin Husain as yang terserang penyakit parah bersama dengan Sayidah Zainab sa dan orang-orang lain yang selamat dari tragedi Karbala ditawan. Umar bin Sa’ad dan pasukannya membawa tawanan itu ke Kufah ke hadapan Yazid, gubernur Umawi kemudian mengirimkannya ke Suriah, ke hadapan Yazid.
Penguburan Para Syuhada Karbala
Sejarawan berselisih pendapat tentang waktu penguburan jasad suci para syuhada Karbala. Sebagian berkata pada hari ke-11 yaitu pada hari itu juga penguburan dilaksanakan yaitu ketika Umar bin Sa’ad keluar dari Karbala. [97] Sebagian yang lain berkeyakinan hari ke-13 Muharam merupakan hari penguburan syuhada Karbala. [98]
Sedangkan ulama dan sejarawan Ahlusunah berkeyakinan bahwa acara penguburan Imam Husain as dan penolong setianya dilaksanakan pada 11 Muharam 61 H. [99] Pasca syahadah Imam Husain as dan penolong setianya, Umar bin Sa’ad memerintahkan untuk menguburkan jasad-jasad pasukannya yang berjumlah 88 orang, namun ia membiarkan jasad-jasad suci Imam Husain as dan para penolong setianya tetap berada di atas tanah. [100]
Berdasarkan beberapa pendapat, setelah kepergian Sa’ad dan pasukannya, sejumlah kelompok dari Bani Asad yang kediaman mereka dengan dengan padang Karbala datang ke medan pertempuran. Karena hanya badan-badan suci Imam Husain dan penolong setianya yang tergeletak di tanah, mereka mensalatinya kemudian menguburkannya ketika malam telah tiba dan ketika telah merasa aman dari musuh. [101]
Mereka menguburkan Imam Husain as pada tempat sekarang yang dikenal sebagai pusara Imam Husain as dan Ali Asghar di bagian bawah kaki kanan ayahandanya. Mereka juga menggali kuburan untuk penolong setia Imam Husain as di bagian bawah kaki kemudian menguburkan jasad-jasad itu, namun kami tidak mengetahui secara persis letak kuburan mereka, walaupun tak diragukan bahwa semua jasad-jasad itu berada di dalam lubang itu. [102] Badan Baginda Abbas as yang diberkati juga dikuburkan ditempat di mana ia mereguk cawan kesyahidan. [103]
Berdasarkan riwayat dan berdasarkan perkataan ibu Hurr bin Yazid al-Riyahi, ketika dilakukan penguburan syuhada Karbala, keluarga dan kerarabatnya, jenazah Hur dibawa ke tempat dimana ia dikuburkan sekarang yang terkenal dengan pusara Hurr bin Yazid al-Riyahi dan dikuburkan di tempat itu. [104]
Sebagian Bani Asad tidak rela jika anak laki-laki pamannya sendiri, Habib bin Mazhahir dikuburkan bersama dengan sahabat Imam Husain as yang lain. Karena itu, ia dikuburkan di tempat lain yaitu di sebuah tempat di atas kepala Imam Husain as, tempat yang sekarang dikenal sebagai pusara Habib bin Mazhahir. [105]
Penguburan Kepala Imam Husain as
Ubaidillah bin Ziyad menggantung kepala Imam Husain as dan mengembalikannya ke kota. Setelah beberapa lama kepala Imam Husain as dikirim ke Suriah kehadapan Yazid bersama dengan syuhada yang lain oleh Zahr bin Qais Ju’fi. [106]
Atikah (anak perempuan Yazid yang juga istri ‘Abdul Malik bin Marwan) memperlakukan kepala Imam Husain as dengan menghormati mencuci kepala dan memberikan wewangian ke kepala Imam yang diberkati itu, kemudian menguburkannya di sebuah taman di Damaskus (taman istana atau taman yang lain). Menurut riwayat yang lain, kepala Imam Husain as setelah dibawa ke Kufah, Suriah, Asqalan dan Mesir[107] dikafani dan dikuburkan di samping pusara Sayidah Fatimah Zahra sa di pekuburan Baqi di Madinah. [108] Menurut Alamul Huda [109] kepala Imam Husain as dibawa kembali dari Suriah ke Karbaladan dikubur di samping badan suci Imam Husain as.
Pembawa Pesan Asyura
Pasca syahadah Imam Husain as, Sayidah Zainab sa, saudari Imam Husain as termasuk rombongan yang ditawan. Ia pada majelis Ubaidillah di Kufah, menyampaikan pidato di hadapan mahkamah Yazid di Suriah. Zainab sa menyampaikan orasi dengan sangat fasih dan menjelaskan tentang revolusi Imam Husain as dan mengungkap pemerintahan korup Yazid serta kelicikan masyarakat Kufah. [110]
Source: Wikishia
Catatan Kaki
- Dekhuda, Ali Akbar, Lughat Nāmeh Dekhudā, jld. 10, hlm. 15663.
- Dāirah al-Ma’ārif Tasyayu’, jld. 11, hlm. 15.
- Dekhuda, Ali Akbar, Lughat Nāmeh Dekhudā, jld. 10, hlm. 15663.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), hlm. 463; Ali bin Abil Kiram Ibn Atsir, al-Kamil fi al-Tārikh, jld. 4, hlm. 84.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al Asyraf, jld. 3, hlm. 391-392; Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tarikh al-Thābari), jld. 5, hlm. 416-418; Ahmad Dainawari, al-Akhbār wa al-Thiwal, hlm. 256, Ibn A’tsam al-Kufi, al-Futuh, jld. 5, hlm 97-98; Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 90; Al-Muwafaq bin Ahmad Kharizmi, Maqtal al-Husain as, jld. 1, hlm. 249-250, hlm. 73-74.
- Ahmad Dinawari, al-Akhbār wa al-Thiwal, hlm. 256.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al-Asyraf, jld. 3, hlm. 186, Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tarikh al-Thābari), jld. 5, hlm. 421; Ibn A’tsam al-Kufi, al-Futuh, jld. 5, hlm 99, Al-Muwafaq bin Ahmad Kharizmi, Maqtal al-Husain as, jld. 1, hlm. 251; Ali bin Abil Kiram Ibn Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 4, hlm. 59.
- Ibnu A’tsam al-Kufi, al-Futuh, jld. 5, hlm. 99; Al-Muwafaq bin Ahmad al-Kharizmi, Maqtal al-Husain as, jld. 1, hlm. 251; Sayid bin Thawus, al-Luhuf, hlm. 94; Ibnu Nama al-Hilli, jld. 5, hlm. 421; Syaikh al-Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 95.
- Ahmad al-Baladzuri, Ansāb al-Asyraf, jld. 3, hlm. 378-379; Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tharikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 369.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 419; Syaikh al-Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 92.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al-Asyraf, jld. 3, hlm. 185; Muhammad bin Jarir al-Bladzari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 419; Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 92.
- JumpMuhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 419; Sayid bin Thawus, al-Luhuf, hlm. 92.
- Jump up↑ Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al Thabari), jld. 5, hlm. 419-420; Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 393; Ali Abul Faraj Isahani, Maqātil al-Thālibin, hlm. 117.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thbari), jld. 5, hlm. 420; Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 91; al-Muwafaq bin Ahmad al-Kharizmi, Maqtal al-Husain as, jld. 1, hlm. 250-251; Ali bin Abil Kiram Ibn Atsir, jld. 4, hlm. 57-58.
- Qutbuddin Rawandi, al-Kharāij wa al-Jarāih, jld. 2, hlm. 848; Abdullah al-Bahrani, al-‘Awālim al-Husain as, hlm. 350.
- Ibn A’tasm al-Kufi, al-Futuh, jld. 5, hlm. 96; al-Muwafaq bin Ahmad al-Kharizmi, Maqtal al-Husain as, jld. 1, hlm. 248.
- Abdul Razaq al-Musawi al-Muqaram, Maqtal al-Husain as, hlm. 219.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 422; Ahmad Baladzari, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 395; Ahmad Dainawari, al-Akhbār wa al-Thiwāl, hlm. 256; Al-Muwafaq bin Ahmad al-Kharizmi, Maqtal al-Husain as, jld. 1, hlm. 248; Abdullah al-Bahrani, al-‘Awālim al-Imam al-Husain as, hlm. 165.
- Ahmad Yahya al-Baladzuri, Ansāb al-Asyraf, jld. 3, hlm. 395; Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 421; Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld, 2, hlm. 94; Ali bin Abil Kiram Ibn Katsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld, 4, hlm. 59; Thabarsi, I’lam al-Wara bi A’lam al-Huda, jld. 1, hlm. 457.
- Abdul Razaq al-Musawi al-Muqaram, Maqtal al-Husain, hlm. 219.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh a l-Thābari), jld. 5, hlm. 420-421; Ahmad bin Yahya al-Baladzari, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 393; Ali Abul Faraj Isfahani, Maqatil al-Thālibiyyin, hlm. 112-113; Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld.2 , hlm. 93-94; Ali bin Abil Kiram ibn Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 4, hlm. 58-59; Ibn Syahr Asyub, Manāqib Ali Abi Thālib, jld. 4, hlm. 99.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 423.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 395; Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 422; Ahmad Dinawari, al-Akhbar wa al-Thiwal, hlm. 256; Ibn A’tsam al-Kufi, al-Futuh, jld. 5, hlm. 101; Ibn Abil Kiram Ibn Abil Atsir, al-Kamil fi al-Tārikh, jld. 5, hlm. 59.
- JAhmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 395; Ahmad bin Dawud al-Dainawari, al-Akhbār wa al-Thiwāl, hlm. 256; Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. Hlm. 422; Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 5, hlm, 95; Ali bin Abil Kira, Ibn Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 4, hlm. 59.
- Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 96.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 395-396, Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh ak-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 423-426; Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 96.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 395-396; Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh ak-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 422-426.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzari, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 395-396; Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 422; Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm, 95-96; Ali bin Abil Kiram Ibnu Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 4, hlm. 60.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 423; Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm, 96; Ali bin Abil Kiram Ibn Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 4, hlm. 60-61.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 428; Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 394.
- Al-Muwafaq bin Ahmad al-Kharizmi, Maqtal a-Husain as, jld. 1, hlm. 252; Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 396-398.
- Ibn A’tsam al-Kufi, al-Futuh, jld. 5, hlm. 100; Al-Muwafaq bin Ahmad al-Kharizmi, Maqtal al-Husain as, jld. 1, hlm. 252, Abdul Razaq al-Musawi al-Muqaram, Maqtal al-Husain as, hlm. 232-233.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari),jld. 5, hlm. 426; Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm.395-396; Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 96-98.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 424-427.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari),jld. 5, hlm. 425 &426; Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm.397.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 424-426; Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm.394-496; Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 96; Thabarsi, I’lām al-Wara bi A’lam al-Huda, jld. 1, hlm. 458.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 429-430.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 400; Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 430-436.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 400; Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 430-437.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 400; Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 435-436; Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 103-104.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 400.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 436-438.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 438-439.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 400; Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 436-437; Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 104.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari),jld. 5, hlm. 436-437.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 400; Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 437-439; Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 105.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 437-438.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 437; Ali bin Abil Kiram Ibn Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 4, hlm. 68.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 446.
- Ibnu A’tsam al-Kufi, al-Futuh, jld. 5, hlm. 101.
- Jump up↑ Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 438-439, Ali bin Abil Kiram Ibn Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 4, hlm. 70.
- Ali bin Abil Kiram Ibn Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 4, hlm. 439.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 439-440.
- Al-Muwafaq bin Ahmad al-Kharizmi, Maqtal al-Husain as, jld. 2, hlm. 17; Sayid bin Thawus, al-Luhuf, hlm. 110-111.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 441; Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 105.
- Sayid bin Thawus, al-Luhuf fi Qatli al-Thufuf, hlm. 111.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 441; Al-Muwafaq bin Ahmad al-Kharizmi, Maqtal al-Husain as, jld. 2, hlm. 20.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al Asyraf, jld. 3, hlm. 361-362; Ali Abul Faraj Isahani, Maqātil al-Thalibin, hlm. 80; Ahmad Dainawari, al-Akhbār wa al-Thiwal, hlm. 256; Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 446; Ja’far ibn Nama, Matsir al-Ahzān, hlm. 68; Ibn Thawus, al-Luhuf fi Qatli al-Thufuf, 49.
- Abul Faraj al-Isfahani, Maqātil al-Thālibiyyin, hlm. 115-116.
- Abul Faraj al-Isfahani, Maqātil al-Thālibiyyin, hlm. 80-86; ; Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 446-449.
- Abul Faraj al-Isfahani, Maqātil al-Thālibiyyin, hlm. 89-95; Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 446-449; Ibnu Sa’ad, Thabaqāt al-Kubrā, jld. 6, hlm. 440-442; Dinawari, hlm. 256-257.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 446-449; Ibnu Syahr Asyub, Manaqib Ali Abi Thalib, jld. 4, hlm. 108.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 446 & 454.
- Al-Muwafaq bin Ahmad al-Kharizmi, Maqtal al-Husain as, jld. 2, hlm. 32; Sayid bin Thawus, al-Luhuf fi Qatli al-Thufuf, hlm. 116; Ibnu Nama al-Hilli, Mutsir al-Ahzān, hlm. 70.
- Al-Muwafaq bin Ahmad al-Kharizmi, Maqtal al-Husain as, jld. 2, hlm. 32.
- Sayid bin Thawus, al-Luhuf fi Qatli al-Thufuf, hlm.123; Ahmad bin Yahya al-Baladzuri,Ansāb al Asyraf, jld. 3, hlm. 409; Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 451- 453; Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 111.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 448; Abul Faraj al-Isfahani, Maqātil al-Thālibiyyin, hlm. 89-95; Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 108.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al Asyraf, jld. 3, hlm. 407; Muhammad bin Jarir al-Thabari,Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 6, hlm. 440; Dinawari, al-Akhbār al-Thiwāl, hlm. 258.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 6, hlm. 454; Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 111; Abu Ali Miskawaih, Tajārub al-Umam, jld. 2, hlm. 80; Ali bin Abil Kiram Ibn Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 4, hlm. 77.
- Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 6, hlm. 454; Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 111; Abu Ali Miskawaih, Tajārub al-Umam, jld. 2, hlm. 80; Ali bin Abil Kiram Ibn Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 4, hlm. 77.
- Sayid bin Thawus, al-Luhuf fi Qatli al-Thufuf, hlm.119 dan Abdul Razzaq al-Musawi Muqarram, Maqtal al-Husain, hlm. 276.
- Muhammad Baqir al-Majlisi, Jalā al-‘Uyūn, hlm. 408 dan Abdul Razzaq al-Musawi Muqarram,Maqtal al-Husain, hlm. 276-278.
- Syahr Ibnu Asyub, Manāqib Alu Abi Thālib, hlm. 109 dan Abdul Razzaq al-Musawi Muqarram, Maqtal al-Husain, hlm. 277.
- Ali bin al-Husain al-Mas’udi, Itsbāt al-Washiyyah lil Imām Ali Abi Thālib, hlm. 177-178.
- Abdul Razzaq al-Musawi Muqarram, Maqtal al-Husain, hlm. 277-278.
- Sayid bin Thawus, al-Luhuf fi Qatli al-Thufuf, hlm.119.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al Asyraf, jld. 3, hlm. 407; Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 450; Ibnu Sa’ad, Thabaqāt al-Kubrā, jld. 6, hlm. 440; Abul Faraj Isahani, Maqātil al-Thalibiyyin, hlm. 118.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al Asyraf, jld. 3, hlm. 407-408.
- Ibnu A’tsam Kufi, al-Futuh, hlm. 118; Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld, 2, hlm. 111-112; Al-Muwafaq bin Ahmad Kharizmi, Maqtal al-Husain, hlm. 35 dan Ibnu Syahr Asyub, Manaqiq Ali bin Abi Thalib, hlm. 111.
- Syaikh al-Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 111-112.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al Asyraf, jld. 3, hlm. 408; Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 448.
- Al-Muwafaq bin Ahmad Kharizmi, Maqtal al-Husain, hlm. 34; Sayid bin Thawus, al-Luhuf fi Qatli al-Thufuf, hlm.120.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al Asyraf, jld. 3, hlm. 203; Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 448; Ali bin Abil Kiram Ibn Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 4, hlm. 75 dan Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm.110.
- Abu Hanifah Ahmad bin Daud al-Dinawari, al-Akhbār al-Thiwāl, hlm. 258; Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al Asyraf, jld. 3, hlm. 203; Ibnu A’tsam al-Kufi, al-Futuh, hlm. 118; Muhammad Jarir Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 453;Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 112 dan al-Muwafaq bin Ahmad al-Kharizmi, Maqtal al-Husain, hlm. 35.
- Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 110; Sayid bin Thawus, al-Luhuf fi Qatli al-Thufuf, hlm.120; Thabarsi, I’lam al-Wara bi A’lam al-Huda, jld. 1, hlm. 467-468.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al Asyraf, jld. 3, hlm. 407-409; Muhammad Jarir Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-habari), jld. 5, hlm. 450; Ali bin Abil Kiram Ibn Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 4, hlm. 77 dan Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 187.
- Syaikh al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 112; al-Muwafaq bin Ahmad al-Kharizmi, Maqtal al-Husain, hlm. 35; Thabarsi, I’lam al-Wara bi A’lam al-Huda, jld. 1, hlm. 469.
- Jump up↑ Muhammad Jarir Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 450-453; Ibnu Sa’ad, Thabaqāt al-Kubrā, jld. 6, hlm. 440; Abul Faraj Isahani, Maqātil al-Thalibiyyin, hlm. 118; Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 258; Syaikh al-Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 112 dan Sayid Ibnu Thawus, al-Luhuf fi Qatli al-Thufuf, hlm. 126.
- Ibnu Sa’ad, Thabaqāt al-Kubrā, jld. 6, hlm. 441 & jld. 3, hlm. 409; Muhammad Jarir Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 453; Abul Faraj Isahani, Maqātil al-Thalibiyyin, hlm. 118; Ali bin Husain Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 258.
- Ali bin Husain Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 5, hlm. 258-259.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al Asyraf, jld. 3, hlm. 411; Muhammad Jarir Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 450; Ali bin Husain Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 259.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al Asyraf, jld. 3, hlm. 411; Muhammad Jarir Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 450; Ali bin Husain Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 259.
- Muhammad Jarir Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 455; Ali bin Husain Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 63.
- Abdul Razaq al-Musawi al-Muqarram, Maqtal al-Husain as, hlm. 319.
- Sayid Ibnu Thawus, al-Luhuf ‘ala Qatli al-Thufuf, hlm. 107.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al Asyraf, jld. 3, hlm. 411; Muhammad Jarir Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 450; Ali bin Husain Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 259.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al Asyrāf, jld. 3, hlm. 411; Muhammad Jarir Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 450; Ali bin Husain Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 259.
- Syaikh al-Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 125-126.
- Syaikh al-Mufid, al-Irsyad, jdl. 2, hlm. 114; Thabarsi, I’lam al-Wara bi A’lam al-Huda, jld. 1, hlm. 417.
- Muhsin al-Amin, A’yān al-Syiah, Riset oleh Hasan al-Amin, jld. 1, hlm. 613.
- Al-Muqarram, Maqtal al-Husain as, hlm. 319.
- Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansāb al Asyraf, jld. 2, hlm. 507; Muhammad Jarir Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 459. Laporan terkait dengan dibawanya kepala Imam Husain as ke istana Yazid silahkan lihat, Baladzuri, jld. 2, hlm. 507-508; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh al-Thabari), jld. 5, hlm. 459-460.
- Ibnu Syaddad, al-A’lāq al-Khathirah fi Dzākir Umarā al-Syām wa al-Jazirah, hlm. 291; Qazwini, 222.
- Ibnu Sa’ad, jld. 6, hlm. 450.
- Sayid Murtadha, Rasāil al-Syarif al-Murtadha, jld. 3, hlm. 130.
- Terkait dengan orasi Sayidah Zainab di Kufah dan Syam silahkan lihat Ibnu Thaifur, Balaghāh al-Nisā, hlm. 20-25; Tentang orasi Sayidah Zainab di istana Yazid, silahkan lihat, Ibnu A’tsam, Kitāb al-Futuh, jld. 5, hlm. 121-122.