Berita
24 Dzulhijjah, Peristiwa Mubahalah Nabi Saw
Mubahalah bermakna saling melaknat dan mengutuk satu dengan yang lain. Dua orang atau dua kelompok yang masing-masing merasa paling benar, mereka mengadu di hadapan Ilahi dan memohon kepada-Nya barang siapa yang berdusta agar dilaknat sehingga menjadi jelas bagi semuanya siapa yang benar.
Kata ini dalam sejarah Islam berkaitan erat dengan peristiwa berdebatnya Nabi Muhammad saw dengan sekelompok pendeta Nasrani dari Najran yang menolak kebenaran yang disampaikannya. Oleh karena itu, Nabi saw menawarkan mubahalah kepada Nasrani Najran dan mereka pun menerimanya. Akan tetapi pada hari yang ditetapkan mereka membatalkannya karena mereka melihat Nabi saw datang bersama keluarga terdekatnya (yaitu putrinya Fatimah az-Zahra sa, menantunya Imam Ali as, dan kedua cucunya Imam Hasan as dan Imam Husain as) untuk bermubahalah. Dengan kehadiran orang-orang suci itu, mereka sadar kebenaran berada di pihak Rasulullah saw.
Peristiwa mubahalah Nabi saw dengan Nasrani Najran, bukan hanya menunjukkan kebenaran dakwah Nabi saw (yaitu berdakwah untuk Islam), tetapi juga menjelaskan keutamaan khusus orang-orang yang bersamanya di hadapan semua sahabat-sahabat dan keluarga besarnya. Di samping itu pula, peristiwa ini menjelaskan sebagian dari keutamaan-keutamaan Ahlulbait Nabi saw.
Mubahalah Nabi saw dengan Nasrani Najran terjadi pada tanggal 24 Dzulhijjah 10 H, ada juga yang berpendapat tanggal 25 Dzulhijjah.
Ayat Mubahalah
Ayat 61 surah Ali Imran dikenal sebagai ayat mubahalah, sebab ayat tersebut berisi tentang peristiwa mubahalah yang terjadi antara Nabi Muhammad saw dengan pendeta Nasrani Najran.
Peristiwa Mubahalah
Nabi Muhammad saw menulis surat kepada Uskup Najran berbarengan dengan peristiwa surat menyurat dengan para pemimpin pemerintahan dunia dan pusat-pusat keagamaan. Dalam surat tersebut Nabi saw mengharapkan penduduk Najran agar memeluk agama Islam. Orang-orang Nasrani memutuskan untuk mengirimkan kelompok mewakili mereka ke Madinah untuk berbicara langsung dengan Nabi saw dan meneliti perkataannya.
Rombongan Najran yaitu lebih dari 10 pembesar-pembesar kaum mereka yang dipimpin oleh 3 orang yaitu Aqib, Sayyid, dan Abu Haritsah datang ke Madinah. Rombongan perwakilan tersebut berbicara dengan Nabi saw di Masjid Madinah. Setelah keduanya saling meyakinkan kebenaran kepercayaan masing-masing, mereka memutuskan untuk mengakhiri permasalahan dengan cara bermubahalah. Disamping itu, diputuskan pula esok hari semuanya keluar dari kota dan di padang sahara mereka siap untuk bermubahalah.
Pagi-pagi di hari mubahalah, Rasulullah saw datang ke rumah Imam Ali a.s. Ia mengambil tangan Imam Hasan a.s sambil memangku Imam Husain a.s bersama Amirul Mu’minin a.s dan Fatimah S.a pergi meninggalkan kota untuk bermubahalah. Pada saat kaum Nasrani menyaksikan mereka, Abu Haritsah bertanya mengenai siapa mereka yang bersama Nabi saw. Mereka menjawab, “Yang di depan itu anak paman dan suami putrinya serta orang yang paling dicintai olehnya; dua anak itu adalah putra-putranya dari putrinya; dan wanita itu adalah Fatimah, putrinya yang paling beliau cintai.”
Nabi saw pada saat bermubahalah duduk di atas dua tumitnya. Kemudian Sayid dan Aqib mengangkat anak-anaknya. Abu Haritsah berkata, “Demi Allah, dia duduk sebagaimana para Nabi duduk untuk bermubahalah” kemudian ia kembali”. Sayid berkata, “Mau kemana?”, dia berkata, “Jika Muhammad tidak dalam kebenaran, dia tak akan berani bermubahalah; dan jika dia bermubahalah dengan kita, kurang dari satu tahun, tidak akan ada lagi seorang Nasrani pun yang tersisa di dunia ini.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa dia berkata, “Aku melihat wajah-wajah yang jika mereka memohon kepada Tuhan untuk mengangkat sebuah gunung dari tempatnya, maka gunung tersebut akan terangkat. Oleh karena itu, janganlah bermubahalah. Jika bermubahalah maka kau akan hancur dan tidak ada seorang Nasrani pun yang akan tersisa di dunia ini.”
Kemudian Abu Haritsah mendekati Nabi saw dan berkata, “Wahai Abul Qasim! Batalkanlah bermubahalah dengan kami dan berdamailah, karena itulah yang sanggup kami lakukan.” Kemudian Nabi saw berdamai dengan mereka dengan syarat setiap tahun mereka harus memberikan dua ribu helai pakaian yang setiap helainya 40 dirham dan juga jika terjadi perang dengan Yaman, mereka harus meminjamkan 30 pakaian perang, 30 tombak, dan 30 kuda kepada umat muslim dan Nabi saw menjamin untuk mengembalikannya. Dengan begitu, Nabi saw menulis surat perdamaian dan mereka pun akhirnya pulang.
Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Demi Allah yang jiwaku di atas kuasanya, kehancuran orang-orang Najran saat itu telah dekat dan andai saja mereka bermubahalah dengan kita maka setiap orang dari mereka akan berubah menjadi monyet dan babi, setiap lembah berubah menjadi api sehingga mereka terbakar dan Allah swt akan menghancurkan orang-orang Najran bahkan tidak akan tersisa satu burung pun di atas pohon dan seluruh kaum Nasrani akan meninggal kurang dari satu tahun.” [1]Setelah kamu Nasrani pulang, tidak lama kemudian Sayyid dan Aqib datang kembali menghadap Rasulullah dengan membawa hadiah dan mereka pun masuk Islam. [2]
Orang-Orang yang Hadir dalam Mubahalah
Sudah sangat jelas siapa saja orang-orang yang Rasulullah saw ajak saat bermubahalah yaitu Amirul Mu’minin, Fatimah, Hasan dan Husain as. Namun mengenai bagaimana, siapa saja orang-orang Nasrani yang datang ke hadapan Rasulullah saw dan apa saja yang telah mereka bicarakan adalah hal-hal yang penukilannya terjadi perbedaan dalam sejarah. Yang telah disebutkan di atas sesuai dengan beberapa penukilan sejarah. [3]
Waktu Mubahalah
Syaikh Mufid berpendapat peristiwa mubahalah terjadi setelah Fathu Mekah (tahun 8 H) dan sebelum Haji Wada’ (tahun 10 H). [4] Mubahalah Nabi Muhammad saw dengan Nasrani Najran terjadi pada tanggal 24 Dzulhijjah 10 H (631 M). [5] Dikatakan pula tanggal 21 bulan ini. [6] Syaikh Anshari berpendapat bahwa tanggal 24 Dzulhijjah adalah yang mashur dan mandi pada hari adalah mustahab. [7]
Syaikh Abbas al-Qumi dalam kitab Mafatihul Jinan menyebutkan amalan-amalan pada hari ini, 24 Dzulhijjah yaitu mandi dan puasa. Peristiwa mubahalah adalah salah satu peristiwa yang paling jelas di antara para sejarahwan dan perawi hadits, baik Syiah maupun Sunni.
Dalil-dalil Sejarah Terjadinya Peristiwa Mubahalah
Dalil-dalil terjadinya peristiwa ini bisa ditemukan dalam perkataan Amirul Mukminin a.s, Imam Hasan a.s, Imam Husain a.s dan Imam-imam as lainnya, bahkan termasuk dari perkataan beberapa sahabat.
Dalil Sa’ad bin Abi Waqqash
Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash menukilkan dari ayahnya bahwa Muawiyah berkata kepada Sa’ad, “Mengapa kamu tidak mengutuk Ali?”. Sa’ad menjawab, “Selama tiga perkara yang aku ingat, maka aku tidak akan pernah mengutuknya yang jika salah satu perkara tersebut berhubungan denganku, maka saya akan lebih menyukainya dibandingkan memiliki unta-unta berbulu merah. Kemudian dia melanjutkan tiga perkara tersebut. Yaitu pujian terhadap Amirul Mukminin dan yang ketiganya adalah pada saat ayat ini turun «قل تعالوا ندع ابنائنا…» , Rasulullah Saw mengajak Ali, Fatimah, Hasan dan Husain a.s dan berkata:’ اللهم هؤلاء اهل بیتی artinya Ya Allah merekalah Ahlulbaitku’.” . [8]
Dalil Imam Kazhim a.s
Harun berkata kepada Imam Kazhim as, “Bagaimana kamu bisa mengatakan, ‘kami adalah keturunan Nabi saw’, padahal Nabi saw tidak mempunyai keturunan karena keturunan hanya bisa melalui anak laki-laki bukan anak perempuan sedangkan kalian adalah keturunan dari anak perempuan Rasulullah saw?”
Imam Kazhim as berkata, “Bebaskanlah aku dari jawaban atas pertanyaan ini”.
Harun berkata, “Wahai putra Ali, katakanlah dalilmu tentang hal ini. Dan engkau wahai Musa as, pemimpin dan imam zaman mereka,-begitulah yang dikatakan kepadaku- aku tidak akan membebaskan apa-apa yang aku tanyakan padamu sampai engkau memberikan dalil dari Qur’an dan kalian putra-putra Ali menyatakan bahwa tidak ada satu perkataan pun dari Qur’an kecuali takwilnya di sisi kalian dan kalian berlandaskan kepada ayat ini: ما فَرَّطنا فی الکتابِ من شَیء ‘Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam kitab ini’, dan dengan ini, kalian tidak membutuhkan lagi pendapat ulama’ dan qiyas”.
Imam Kazhim as berkata, “Izinkanlah saya untuk menjawabnya!”
Harun berkata, “Katakanlah.”
Imam a.s berkata: “Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Ya’qub kepada Ibrahim. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian dari keturunan Nuh, yaitu Dawud, Sulaiman, Ayub, Yusuf, Musa, dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (84) dan (begitu juga) Zakaria, Yahya, Isa, dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh”. (QS Al-An’am:84-85)
Harun berkata, “Siapa ayah Nabi Isa as? Ia tidak memiliki ayah.”
Imam a.s berkata, “Allah swt memasukan Nabi Isa as ke dalam keturunan para Nabi walaupun hanya melalui Maryam, dan kami pun demikian, kami termasuk keturunan Nabi saw melalui bunda kami, Fatimah s.a. Aku lanjutkan?”
Harun berkata, “Katakanlah.”
Pada saat demikian, Imam as membacakan ayat mubahalah, kemudian berkata, “Tidak seorangpun mengatakan bahwa Nabi saw saat bermubahalah dengan kaum Nasrani membawa orang lain kecuali Ali bin Abi Thalib as, Fatimah sa, Hasan, dan Husain as di bawah jubahnya. Maka maksud dari ‘anak-anak kami’ adalah Hasan dan Husain as, maksud dari ‘wanita-wanita kami’ adalah Fatimah sa dan maksud dari ‘diri-diri kami’ adalah Ali bin Abi Thalib as. [9] Maka dari itu, Allah swt dalam ayat mubahalah menyebutkan Imam Hasan dan Imam Husain as sebagai anak Nabi saw. Ini adalah dalil yang paling jelas bahwa Ahlulbait adalah keturunan Nabi saw.”
Dalil Imam Ridha as
Suatu hari, Makmun berkata kepada Imam Ridha as, “Katakanlah kepadaku keutamaan terbesar Amirul Mukminin yang dilandaskan pada Al-Qur’an?”. Imam menjawab,. “Keutamaan Imam Ali ada dalam ayat mubahalah. Kemudian Imam membacakan ayat tersebut dan berkata, “Rasulullah Saw mengajak Hasan dan Husain a.s sebagai putra-putranya, mengajak Fatimah sa dengan maksud membuktikan kata Wanita-wanita dan mengajak Amirul Mukminin a.s yang Allah swt menyebutnya sebagai Nafs atau diri Nabi saw. Dan sebagaimana telah diketahui bahwa tidak ada satu ciptaan pun yang lebih mulia dan utama dari Nabi saw. Oleh Karena itu, menurut Allah swt, seharusnya tidak ada orang yang lebih mulia dari nafs atau diri Nabi saw.”
Pada saat perkataan Imam as sampai di sini, Makmun menyela, “Allah swt mengatakan ‘anak-anak’ dalam bentuk jamak sedangkan hanya dua orang yang Nabi saw bawa, dan ‘wanita-wanita’ juga dalam bentuk jamak sedangkan hanya putrinya saja yang ia bawa, kemudian mengapa kita tidak mengatakan bahwa mengajak nafs (diri) pun pada hakikatnya bermakna diri Nabi saw. Dan jika demikian, maka akan runtuhlah keutamaan Amirul Mukminin sebagai mana yang engkau jelaskan tadi?.”
Imam Ridha a.s menjawab, “Tidaklah benar apa yang kau katakan, pengajak hanya akan mengajak orang-orang selain dirinya, sebagaimana pula pemerintah akan memerintah orang selainnya. Tidaklah benar seseorang mengajak dirinya sendiri, sebagaimana pemerintah memerintah dirinya sendiri. Rasulullah saw tidak mengajak siapapun kecuali Imam Ali as. Maka jelaslah bahwa dia ada jiwa / diri yang Allah swt maksudkan dalam kitab-Nya dan menyebutkannya dalam Al-Qur’an.”
Kemudian Makmun berkata, “Dengan adanya jawaban ini, pertanyaan pun tumbang”. [1o]
Source: wikishia.net
Catatan kaki
- Al-Jauhari, Ismail bin Humad, al-Shihah, 1407. Tentang kata “بهل” .
- Al-Zamakhsyari, Mahmud, 1415 H, Juz 1, Hal. 368.
- Qumi, Syeikh Abbas, 1374, Juz 1, Hal. 182-184
- At-Thabrasi, Majmā al-Bayān Fi al-Tafsir al-Qur’an, 1415, Juz 2, Hal. 310.
- Untuk contoh bisa lih. Ibnu Atsir, al-Kamil fi at-Tarikh, jld. 2, hlm. 293
- Al-Mufid, al-Arsyad, jld. 1, hlm. 166-171
- Ibnu Syahrashub, 1376 H, Juz 3, Hal. 144.
- Dalam Kasyful Asrār menyebutkannya hari tersebut. Lihat kitab: Kasyful Asrār wa ‘Iddatul Abrar, Juz 2, Hal. 147.
- Anshari, Murtadha,Kitab ath-Thaharah, Juz 3, Qom, Kongres Internasional peringatan Syeikh Azham Anshari, Hal. 48-49.
- Thabathab’i, Sayyid Muhammad Muhsin, Al-Mizān Fi Tafsir al-Qur’an, tentang ayat 61 surah Ali Imran. Berdasarkan perkataan penyusun buku, hadits ini terdapat pada Shahih Muslim, Shahih Tarmidzi, Abul Muwaffaq bin Ahmad dalam kitab Fadhail Ali, Abu Na’im dalam kitab Al-Hilyah, Hamwini dalam kitab Faraidus Samthin.
- Thabathabai, Sayid Muhsin, Ibid, Hal. 229-230.
- Al-Mufid, al-Fushul al-Mukhtarah, at Tahqiq: as Sayyid Mirali Syarifi, Beirut: Darul Mufid, cetakan kedua, 1414, Hal. 38.