Berita
Seputar Makna Maula untuk Imam Ali
Dari penjelasan hadis-hadis di artikel sebelumnya terbukti dan diakui bahwa peristiwa pelantikan Rasulullah Saw atas Imam Ali ra benar-benar terjadi. Apabila peristiwa tersebut dipandang sebagai bukan pengangkatan Imam Ali sebagai pengganti Rasulullah Saw dengan mengatakan bahwa kata maula hanyalah untuk menegaskan sikap cinta, kasih sayang dan tolong menolong Rasulullah Saw terhadap Imam Ali ra, maka ini justru menunjukkan bahwa cinta adalah pondasi ketaatan terhadap kepemimpinan, sebagaimana disitir oleh Alquran; Katakanlah, “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Âli ‘Imrân [3]: 31)
Lebih jauh, satu-satunya yang dapat mengikat ketaatan tanpa imbalan adalah ikatan cinta, sebagaimana disitir juga oleh Alquran: … Katakanlah, “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang terhadap Al-Qurba.”(QS. Al-Syûrâ [42]: 23)
Ini menandakan bahwa pernyataan Rasulullah Saw di Ghadir Khum pada hakikatnya adalah pernyataan tentang ketaatan terhadap pemimpin berdasarkan cinta sebagaimana perlakuan umat Islam terhadap Nabi Saw dengan ikatan cinta itu. Bagaimana mungkin Rasulullah Saw menyampaikan sesuatu hal yang biasa saja dalam bentuk deklarasi khusus di Ghadir Khum yang dihadiri oleh ratusan ribu sahabat?
Benar adanya, bahwa arti dari kata ‘maula’ di dalam bahasa Arab memiliki banyak makna. Setidaknya terdapat enam belas arti dari kata ‘maula’ yaitu; pemilik, pengatur, pemerdeka, penghancur, tetangga, ciptaan, penjamin dosa, menantu, keponakan, pemberi nikmat, yang mencintai, teman, penolong, yang ditaati, teman, dan yang terakhir adalah yang bermakna berhak mengendalikan segala urusan. Maka jika Rasulullah Muhammad Saw, menggandengkan nama ‘maula’ pada diri beliau, maka arti yang diinginkan adalah bahwa Rasulullah adalah yang berhak mengendalikan diri umat Islam dalam segenap urusan. Karenanya ketika Rasul mengatakan ‘man kuntu maulahu’ artinya jika kalian menganggap saya (Rasulullah) yang berhak mengendalikan diri kita, ‘fa ‘aliyyun maula’ Ali adalah yang berhak mengendalikan diri kita (setelah Rasulullah)…
Baca juga Peristiwa Al-Ghadir 18 Dzulhijjah, Deklarasi Kepemimpinan Imam Ali oleh Rasul Saw
Mungkin jawaban yang paling memuaskan untuk memberikan penjelasan makna dari kata ‘maula’ yang disampaikan oleh Rasul Saw pada peristiwa Ghadir Khum adalah dialog dari kisah di bawah ini. Sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam ahli hadis Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, Hadis dari Al-Barra bin ‘Azib, ia berkata,
“Kami bersama Rasulullah Saw dalam sebuah perjalanan, kemudian kami berhenti di Ghadir Khum dan diseru untuk shalat berjama’ah, maka kami melaksanakan shalat dzuhur. Kemudian beliau memegang tangan Ali dan berkata, ‘Bukankah kalian mengetahui bahwasanya aku lebih utama dari kaum Mukminin itu sendiri?’ Mereka menjawab, ‘Benar!’ Beliau berkata, ‘Barang siapa menjadikanku sebagai walinya, maka Ali adalah walinya. Ya Allah! Muliakanlah orang yang memuliakannya, musuhilah orang yang memusuhinya.’ Kemudian Umar bin Khatthab menjumpai Ali setelah itu, dan berkata padanya, ‘Selamat bagimu wahai Ibnu Abi Thalib, engkau telah menjadi wali bagi seluruh kaum Mukminin dan Mukminat.’” (Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, j. 30, h. 430, hadis 18479.)
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Mir Ali Al-Hamadzani Al-Syafi’i dalam Mawaddah Al-Qurbâ, pada bab Mawaddah kelima; Al-Hafidz Al-Qunduzi dalam Yanâbî’ Al-Mawaddah, bab 4; Al-Hafidz Abu Na’im dalam Hilyah Al-Auliyâ’. Begitu juga dengan Ibnu Al-Shabbagh Al-Maliki dalam Al-Fushûl Al-Muhimmah dari Al-Hafidz Abi Al-Fath, Rasulullah Saw bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah Swt adalah waliku, dan aku lebih utama dari diri kalian sendiri. Ketahuilah! Barang siapa menjadikan aku sebagai walinya, maka Ali adalah walinya.”
Begitu juga dengan Ibnu Majah meriwayatkan dalam Sunannya; Al-Nasa’i dalam Al-Khashâ’is-nya, Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Shawâ’iq Al-Muhriqah, Al-Hafidz Abu Bakar Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Târîkh-nya, dengan sanad yang berasal dari Abu Hurairah ra. Al-Jauzi dan yang lainnya, meriwayatkan syair Hasan bin Tsabit Al-Anshari, salah satu sahabat mulia Rasulullah Saw sebagai wujud mahabbah kepada Rasulullah Saw dan Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib pada peristiwa Al-Ghadir ini. Rasulullah Saw pernah bersabda kepada Hasan bin Tsabit Al-Anshari, “Wahai Hasan, engkau senantiasa mendukung Ruh Al-Quds, dan dengan mulutmu engkau menolong kami.”
Abu Sa’id Al-Khudri berkata bahwa Hasan bin Tsabit berdiri setelah Rasulullah selesai dari khutbahnya pada peristiwa Al-Ghadir, kemudian ia berkata, “Ya Rasulullah! Apakah Engkau mengizinkan aku untuk membacakan beberapa bait syairku ini?” Nabi menjawab, ‘Bacakanlah! Semoga engkau diberkati Allah Swt.’ Kemudian ia naik ke tempat yang paling tinggi, dan melantunkan syairnya:
Pada hari Al-Ghadir Nabi mereka memanggil
Di Khum, maka dengarkanlah Rasul menyeru siapakah wali kalian
Mereka menjawab, ‘Di sana tak tampak orang, yang pura-pura buta
Tuhanmu adalah pemimpin kita, dan engakau adalah wali kami.’
Tidak seorang pun dari kami dalam wilayah, berpaling untuk ingkar
Maka beliau berkata kepadanya, ‘Bangkit wahai Ali, sesungguhnya aku merelakanmu.’
‘Menjadi imam dan pemberi petunjuk setelahku.’
‘Barang siapa menjadikan aku sebagai walinya.’
‘Maka ini ali sebagai walinya.’
Maka jadilah kalian semua sebagai penolongnya secara jujur, di sana ia berdoa,
‘Ya Allah! Jadikalah wali orang yang menjadikannya wali, dan musuhilah orang-orang yang memusuhi Ali.’
Riwayat ini juga dibawakan oleh Al-Hafizh Ibnu Mardawaih, Ahmad bin Musa, dalam kitabnya Al-Manâqib. Al-Muwafiq bin Ahmad Al-Khawarizmi dalam Al-Manâqib dan dalam pasal empat kitab Maqtal Al-Husain. Jalal Al-Din Al-Suyuthi dalam kitabnya Risâlah Al-Azhâr. Al-Hafizh Abu Sa’id Al-Khurkausyi dalam Syaraf Al-Mustafâ. Al-Hafizh Jamaluddin Al-Zarandi dalam Nuzhum Durar Al-
Samthin. Al-Hafizh Abu Na’im dalam Mâ Nuzila min Al-Qur’ân fî ‘Ali. Syaikh Sa’id Al-Sajastani dalam kitabnya Al-Wilâyah. Sabth Ibnu Al-Jauzi dalam Tazkiyah Al-Khawâsh, Allamah Al-Kanji Al-Syafi’i dalam Kifâyah Al-Thâlib.
(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)