Berita
Nahdlatul Ulama sebagai Penjaga Islam Indonesia yang Khas
Nahdlatul Ulama (NU) didirikan sebagai benteng yang memelihara Islam Sunni yang orisinal itu. Pesantren-pesantren salafi yang didirikan oleh para ulama yang menjaga tradisi Islam khas lokal ini adalah khazanah peradaban Islam yang saat ini sedang menghadapi dua tantangan serius, yaitu liberalisme dan literalisme.
Kelompok intoleran yang menganut skripturalisme tidak melakukan agresi dan pembusukan secara langsung terhadap Sunni Asy’ari, yang direpresentasi oleh NU, namun melakukannya dengan tiga macam cara;
- Melemahkannya melalui pengambilalihan masjid dan langgar yang secara temurun menjadi basis sosial keagamaan NU
- Menggunting jalur koordinasi PBNU dengan cabang-cabangnya terutama di Jawa Timur dengan beragam modus
- Melakukan kampanye intensif dengan mencatut nama Ahlusunah (yang selama berabad-abad identik dengan Akidah Asy’ariyah) dan membajak atribut “Salaf” (yang senantiasa menghiasi papan nama pesantren-pesantren berbasis Sunni Asy’ari) di seluruh wilayah Jawa.
Skripturalisme hanya akan melakukan agresi tidak langsung di wilayah santri, terutama wilayah pesisir Jawa karena sejumlah faktor;
Wilayah pesisir Jawa terutama Jawa Timur yang dikenal dengan wilayah Tapal Kuda didominasi oleh masyarakat santri, sebagaimana disebutkan dalam teori Clifford Geertz.
Secara sosial, masyarakat santri memang hidup sebagai santri baik secara sosial maupun pendidikan. Santri umum adalah orang yang hidup secara sosial sebagai santri. Umumnya mereka hidup dalam lingkungan yang dekat dengan agamawan (kiai). Pola kehidupan mereka pun cenderung nyantri seperti mengenakan sarung, peci dan baju koko. Santri umum adalah mantan santri pendidikan, yang telah berumahtangga dan menjalani ragam profesi. Sedangkan santri pelajar adalah orang yang mengenyam pendidikan di lembaga tradisional keagamaan dari jenjang dasar hingga jenjang terakhir. Santri khusus kadang tidak hanya mendalami ilmu agama di pesantren, namun juga menjadi khadim atau relawan yang melayani keluarga kiai atau santri muda. Bila telah menyelesaikan jenjang pendidikan terakhir, ia menjadi pengajar di pesantren almamaternya. Bila telah lama mengabdi dan dianggap mumpuni, kiai pemimpin pesantren menyarankannya untuk membuka pesantren sendiri di wilayah lain.
Pola interaksi dan komunikasi masyarakat santri (santri umum) dengan santri khusus terutama kiai cenderung vertikal (buttom up). Penghormatan temurun dalam pola hubungan sosial inilah yang dapat dianggap sebagai kendala sosial masuknya skripturalisme.
Masyarakat santri dengan dua pola kesantrian ini secara sosial sulit sekali menerima ajakan pola komunikasi setara yang menjadi salah satu ciri khas kelompok skriptural yang secara sosial tidak punya basis massa di wilayah itu. Dengan kata lain, skripturalisme tidak akan mudah menemukan basis sosialnya di wilayah pesisir.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, secara kultural, masyarakat santri yang menempati wilayah pesisir adalah komunitas yang terbentuk dari warisan tradisi dan budaya keagamaan dari para pendakwah yang datang dari Persia, India dan Cina. Islam yang masuk dan diterima di Nusantara adalah Islam yang telah mengalami proses lokalisasi dan akulturasi serta akomodasi budaya Timur.
Masyarakat Nusantara, terutama Jawa, sebelum memeluk Islam, adalah masyarakat yang secara kultural menganut Hinduisme dan Dinamisme, yang memiliki kesamaan dalam aspek esoterik. Karena kesamaan dan kemiripan dalam aspek mistik dan esoterik inilah, Islam yang dibawa oleh para pendakwah dari wilayah yang didominasi oleh kultur Islam sinkretis atau terwarnai oleh Hinduisme, Budhisme dan Zoroasterianisme, bisa diterima masyarakat Jawa. Para Sunan sukses menyebarkan Islam karena pola akomodasi dan penghargaannya terhadap budaya lokal masyarakat Nusantara. Tidak sedikit pendakwah yang dinobatkan sebagai pejabat bahkan putra mahkota.
Skripturalisme Islam yang merupakan produk asli wilayah Arab setelah runtuhnya Pemerintahan para Syarif di Hijaz dan jatuhnya Dinasti Ottoman, tidak memiliki latar belakang budaya yang harmonis dengan identitas dan tradisi masyarakat Jawa terutama pesisir. Malah karena pola keberagamaannya yang skriptural dan berwatak Arab, Islam skriptural mengangkat jargon pembasmian terhadap budaya yang dinilainya bertentangan dengan Islam yang dipahaminya secara skriptural dan sebagai agama antiklenik dan khurafat.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan ialah, masyarakat Jawa terutama masyarakat santri terbentuk oleh esoterisme Islam, yang dikenal dengan tasawuf. Sebagaimana diketahui dan tak dapat dibantah, tasawuf adalah produk Islam di luar tanah Arab, yaitu Persia. Lebih tepatnya lagi, tasawuf adalah warisan pemikiran Islam yang diidentikkan dengan keluarga Nabi yang sepanjang sejarah lebih diterima oleh masyarakat non-Arab. Manunggaling Kawula Gusti, yang hingga sekarang masih dipelihara dalam tradisi tasawuf, bisa dipastikan terkait dengan ajaran batin para pendakwah dari Persia dan Gujarat, yang datang ke Indonesia dengan memperkenalkan sejarah keluarga Nabi, terutama Ali, Siti Fatimah, Hasan dan Husain.
Skripturalisme Islam yang datang belakangan dari Saudi yang telah dikuasai oleh klan Saud yang berkolaborasi dengan Muhammad bin Abdul Wahab telah mendeklarasikan dirinya sebagai Islam yang menentang penghormatan kepada keluarga Nabi, bahkan sebagian pengikutnya menafikan fakta keberadaan anak keturunan Nabi Saw. Inilah yang juga dapat dianggap sebagai kendala kultural bagi masuknya Islam skriptural ke wilayah pesisir Jawa.
Secara emosional, masyarakat santri memiliki hubungan emosional dengan keluarga Nabi dan tradisi penghormatan yang diekspresikan melalui upacara-upacara seperti Maulid, Haul dan lainnya. Penghormatan kepada keluarga Nabi dalam masyarakat santri berlanjut hingga perlakukan khusus kepada siapa saja yang diyakini sebagai keturunan Nabi. Karena itu pula, tidak mengherankan bila pahlawan Indonesia seperti Pangeran Diponegoro dan lainnya diyakini sebagai seorang Sayyidin Panotogomo.
Kesultanan Yogyakarta dan Keraton Solo juga disebut-sebut memiliki hubungan genetik dengan Rasulullah Saw, sebagaimana disebutkan dalam buku-buku sejarah. Bahkan sejumlah ulama besar seperti K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Kholil Bangkalan, K.H. Bisri Mustofa dan lainnya diyakini sebagai dzurriyah dari marga Bin Sahal dan Azhamat Khan.
Dengan kata lain, skripturalisme yang lahir dari konflik dan identik dengan sinisme terhadap para Syrâf di Hijaz tidak hanya tidak diterima, namun ditentang karena dianggap sebagai bahaya yang mengancam identitas dan pusaka budaya lokal.
Secara teologis, masyarakat santri adalah komunitas yang menganut Islam mazhab Sunni dengan teologi Asy’ariah. Mazhab kalam yang dinisbatkan pada Abul Hasan Al-Asy’ari ini dibangun karena menolak rasionalisme ekstrem Mu’tazilah dan skripturalisme ekstrem Ahlul Hadis (yang kelak dikenal dengan Salafi). Teologi Asy’ariyah tidak jarang menjadi sasaran kritik bahkan hujatan dari para penganut Ahlul Hadis. Konflik berdarah seputar Kalam Allah antar dua pengikut dalam sejarah adalah bukti dikotomi dua mazhab teologi ini.
Belakangan PBNU mulai merasakan pentingnya mengantisipasi pola keberagamaan skriptural ini yang dikhawatirkan mengganggu tatanan sosial keagamaan yang telah terbentuk sejak lama akibat ekspansi intensif kelompok skriptural intoleran ini.
(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)