Berita
Jihad dan Wajah Muslim di Internet
Sekali waktu, ketiklah kata ‘jihad’ di mesin pencari. Lalu, tengok hasil pencarian gambar yang nampak. Halaman-halaman yang muncul paling atas adalah ratusan gambar pasukan perang dengan pedang atau senapan, lengkap dengan bendera kelompok muslim ekstremis. Jika kita lacak dengan kunjungan ke laman asal, gambar semacam itu ternyata tidak hanya direproduksi oleh laman-laman Islam ekstrem, namun juga laman Islam yang lebih lunak dalam ajaran sehari-hari.
Laman Islam ekstrem adalah laman yang jelas-jelas mempromosikan ideologi peperangan secara fisik, atau mendefinisikan jihad sebagai upaya peperangan kepada musuh-musuh Islam yang biasanya dikategorikan untuk nonmuslim, Yahudi, dan Amerika. Sedangkan, laman Islam yang menolak peperangan fisik, meskipun masih konservatif dan skripturalis dalam tafsir syariat, bahkan redaktur laman Islam yang mengaku moderat pun seringkali masih kecolongan menggunakan gambar-gambar promosi kekerasan serta mengasosiasikannya untuk terminologi jihad.
Istilah jihad dan radikal yang juga digunakan oleh laman-laman berita internasional terbukti membangkitkan emosi kolektif para pemuja kekerasan. Buletin Al Fatihin milik jaringan teroris memberikan informasi bahwa mereka semakin bangga jika disebut jihad, bertindak radikal, dan menggelari diri dengan mujahidin.
Selanjutnya, mari ketik kata ‘muslimah’ pada mesin pencari. Gambar yang tampil pada halaman awal adalah animasi perempuan berjilbab, tampilan perempuan berjilbab lebar namun tanpa wajah, perempuan bercadar, atau segerombol perempuan berjilbab lebar namun tampak belakang. Laman yang memproduksi gambar-gambar itu adalah laman Islam yang mengartikan teks Islam tentang perempuan sebagai sumber fitnah dunia, mengajukan banyak larangan untuk perempuan dengan dalih penjagaan kehormatan, mempromosikan dalil-dalil yang merumahkan perempuan, melarang perempuan bicara dan menjadi pemimpin.
Pada sebuah siang, seorang anak perempuan berteriak-teriak di depan rumah. Usianya duabelas tahun, kepalanya aktif bergerak-gerak ke arah kiri. Ia mengaku bernama Putri, tinggal di desa sebelah. Sambil tertawa-tawa, ia mengacung-ngacungkan telapak tangan yang penuh darah, darah yang bersumber dari bagian pangkal paha . “Aku mens lho. Aku mens lho. Hahaha.”
Putri tidak gila, tapi ia distigma gila yang membuatnya selalu disoraki “Putri tengeng” bahkan dilempari batu oleh teman laki-laki seusianya. Tengeng adalah istilah jawa untuk kondisi leher yang kaku ke kiri atau ke kanan. Keluarga Putri miskin. Itu yang menyebabkannya berkeliling desa tanpa pengawasan orangtua, sebab ibunya seharian bekerja sebagai pekerja rumah tangga di desa lain.
Putri tidak mengerti bahwa konsekuensi logis dari menstruasi adalah kondisi tubuh seorang perempuan yang beresiko kehamilan jika ia bertemu dengan laki-laki buas di sekitarnya. Selama ini, jika ada kasus kekerasan seksual pada perempuan difabilitas, pelakunya sering tak dijerat hukum karena pelaku dapat membela diri justru dengan menyalahkan korban yang dianggap gila. Perempuan gila juga dianggap sekaligus memiliki kelainan seksual, padahal pengalaman kebertubuhannya sangat normal.
Pada kasus bocah difabel di bawah umur seperti Putri seringkali korban bahkan tidak mengerti apa itu hamil, bahkan tidak paham bahwa ia telah melahirkan seorang bayi dari tubuh mereka sendiri. Putri adalah seorang muslimah, namun narasinya tidak akan pernah kita temukan pada laman-laman Islam konservatif, apalagi laman Islam provokator perang yang menempatkan perempuan sebatas organisme penghasil keturunan sebanyak-banyaknya untuk dicetak sebagai pasukan perang.
Narasi perempuan pada sebagian besar laman Islami adalah seperangkat teks yang menjelaskan kewajiban perempuan untuk tunduk, mengalah, dan bersabar, juga teks-teks yang mengesahkan kontrol atas tubuh dan moral perempuan. Hal itu semakin terpahami ketika data pencarian tertinggi pada persoalan perempuan dan Islam di Indonesia ternyata adalah hukum memakai high heels. Perempuan muslimah kita ternyata didera banyak ketakutan sampai pada batas-batas yang begitu banal hingga selalu mencari tahu hukum-hukum yang berkenaan dengan sesuatu yang melekat pada tubuhnya.
Laman-laman yang sama merupakan laman yang sejak belasan tahun lalu memproduksi sentimen negatif, dan stigmatisasi kepada para cendekiawan muslim otoritatif seperti Prof. Quraish Shihab, Prof. Haidar Baghir, Gus Dur, atau Gus Mus. Tak mengherankan jika kini ada banyak orang yang dengan mudah melabeli para tokoh panutan muslim tersebut sebagai sesat. Mereka lahir sebagai subkultur umat Islam baru yang mendapat ruang komunikasi di Indonesia pascarefomasi.
Situasi politik Negara Arab dan Teluk dengan perang tak berkesudahan turut membenih gagasannya di sini. Kelompok minoritas seperti Syiah dan Ahmadiyah Indonesia yang puluhan tahun telah menjadi warga negara tiba-tiba mendapat sentimen dan serangan karena Indonesia dipaksa pula menelan kondisi geopolitik impor yang tak berhubungan dengan konteks sosiohistoris keindonesiaan. Kita kaget dengan sumber penyakit takfiri telanjur kronis serta menular yang baru kita sadari belakangan itu.
Buku Muslim Tanpa Masjid karya Kuntowijoyo memuat sebuah esai berjudul Peran Cendekiawan Muslim (1995). Kuntowijoyo menjelaskan soal teknologi yang menggeser pola komunikasi umat dari kiai-santri kepada guru-murid hingga elite-massa. Pada situasi yang terakhir, umat semakin terbuka dalam mengafirmasi informasi keagamaan. Sebut saja, di era digital hari ini, seseorang dapat merasa santri meskipun hanya belajar dari ceramah ustaz di Youtube. Tapi, nalar modern selayaknya tidak bersepakat pada kekerasan.
Laman-laman Islam provokatif telah lahir dan bertumbuh jauh lebih sigap sebelum laman-laman Islam moderat dan lebih “Indonesiawi” berkembang. Belakangan, anak-anak muda Nahdlatul Ulama beramai-ramai membangun sindikasi laman Islam ramah. Mereka aktif bertemu membangun narasi keislaman dan keindonesiaan, meskipun tidak mudah membuat kontranarasi untuk provokasi kekerasan yang terlanjur terpahami sebagai subkultur Islam internet masa kini.
Pemuda Muhammadiyah, meskipun sedikit terlambat, mulai membangun jejaring media digital pula. Kehadiran kader muda Muhammadiyah ini penting sekaligus menantang. Kultur riset dan budaya intelektual Muhammadiyah menisbatkan bahasa akademis yang tidak mudah dipahami awam. Pada kultur masyarakat digital, berbagai temuan majelis tarjih dalam pengembangan wacana politik, ekonomi, kesehatan, keadilan gender dan sosial budaya mesti dialihbentukkan dalam bahasa yang lebih cair.
Kita menantikan wajah jihad, dan wajah muslimah, yang berubah lebih menyenangkan di mesin pencari. Tapi, untuk menuju ke sana umat mesti dididik lebih keras lagi.
Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih
(detik.com/asf/abi)