Berita
Titik Temu Sunni Syiah Dalam Kaca Mata Gus Dur
“NU adalah Syi’ah tanpa Imamah, Syi’ah adalah NU dengan Imamah.” Gus Dur
Tengah malam menjelang pagi, kota Demak masih temaram. Kala itu saya bersama seorang kawan pulang dari Semarang menuju Jepara, singgah terlebih dahulu di alun-alun Kota Demak. Menghangatkan tubuh dengan wedang ronde di pinggir jalan. Alun-alun yang berhadapan dengan Masjid Agung Kota Demak itu masih ramai para peziarah. Bahkan bis-bis dari luar kota nyaris tanpa henti berdatangan menurunkan penumpang. Belum lagi ojek dan becak berseliweran menurunkan dan menaikkan penumpang.
Masjid kuno yang dibangun oleh Raden Fatah sekitar abad ke-15 itu menjadi tujuan wisata religi, tempat tujuan ziarah bagi kaum Muslimin di Nusantara. Upaya menapak tilas sejarah dan ngalap berkah ulama di masa kejayaan Islam di Nusantara dahulu. Arsitektur masjid nan kuno, kompleks makam Raden Fatah dan kerabat raja-raja pada masa kesultanan Demak Bintoro tersebut menjadi daya tarik tersendiri, sehingga lokasi masjid dan makam nyaris tidak pernah sepi 24 jam dari para peziarah. Apalagi memasuki bulan-bulan ziarah; seperti bulan Maulid, Rajab, Syaban dan Ramadan. Kompleks masjid seakan tidak pernah tidur.
Para pedagang kebagian berkah; berbagai olahan makanan, pakaian dan souvenir menjadi ajang kreatif mencari penghidupan. Penduduk sekitar mendapat penghasilan, peziarah senang bias membelikan buah tangan untuk sanak sodara di rumah. Suasana itu mengingatkan saya dengan kota Qum dan Masyhad di Iran. Juga kota Najaf, Karbala, Samarra dan Kadzimain di Irak. Kota-kota yang tak pernah sepi dari peziarah. Suasana dan kondisi yang nyaris sama. Tradisi mereka, di Jawa khususnya, hampir tak ada beda. Kuburan menjadi tempat wisata religi. Makam berpepetan dengan masjid nan megah, dengan ornament mewah, berhias kaligrafi dan arsitektur Islami berpadu dengan gaya lokal nan kental.
Di Masyhad ada makam Imam Ali Ar-Ridho, Imam ke delapan bagi muslim Syi’ah, di Qum ada makam Sayyidah Fatimah al-Ma’sumah, adik dari Imam Ridho. Di Najaf, ada makam Imam Ali bin Abi Thalib yang juga khalifah ke empat. Di Karbala ada kuburan Sayyidina Husain dan di Kadzimain, pinggiran kota Baghdad ada makamnya Imam Musa al-Kadzim dan Imam Muhammad al-Jawad, sedangkan di Samarra ada Imam Ali al-Hadi dan Imam Hasan al-Asykari.
Di kota-kota tersebut disemayamkan tokoh-tokoh Ahlul Bait dari keluarga Rasulullah Saw. Mereka, bagi Muslim Syi’ah diyakini sebagai imam, pengganti dan penerus kepemimpinan setelah Rasulullah Saw, sedangkan bagi Ahlusunah, mereka sebagai habib yang memiliki kedudukan tersendiri sebagai keluarga Nabi yang mulia. Bahkan dalam sejarah tercatat, para imam menjadi guru dan rujukan kaum Muslimin di jamannya.
Bahkan jika kita merujuk silsilah mursyid dalam berbagai aliran Thariqah yang berkembang di dunia, kita akan dapati bahwa imam-imam Syi’ah menjadi silsilah dalam kemursyidan sampai bersambung ke Syeikh Abdul Qodir al-Jailani. Dimulai dari Imam Ali Ar-Ridho bin Musa al-Kadzim bin Jafar Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib sampai ke Rasulullah Saw.
Makam-makam Habaib baik bagi muslim Syi’ah maupun Sunni (baca: khususnya Nahdlatul Ulama) memiliki kedudukan tersendiri. Kedua sayap Islam ini melakukan ziarah, bertawasul, tahlilan, yasinan, shalawatan dan segudang amalan lain yang sudah menjadi tradisi dan membudaya ribuan tahun baik di Nusantara maupun dunia. Keduanya menjalin hubungan dengan Sang Pembawa wahyu melalui keturunan-keturunan mereka, yakni para Habaib dan tokoh-tokoh yang ada di sekitar mereka.
Maka, jika Gus Dur mengatakan bahwa “NU adalah Syi’ah tanpa Imamah, sedangkan Syi’ah adalah NU dengan Imamah,’ bukanlah hal yang aneh. Ucapan guru bangsa itu berdasarkan pengetahuan dan pengalaman beliau yang dalam sekaitan sejarah dan peradaban Islam. Terutama menilik tinggalan sejarah dan budaya yang ada di nusantara.
Baca juga Apa Kata Para Tokoh Ahlusunah tentang Syiah?
KH. Abdurrahman Wahid pernah belajar di Mesir, pusat kekuasaan Bani Fatimiyah dan al Azhar adalah salah satu tinggalannya. Gus Dur juga pernah belajar di Baghdad, salah satu kota tinggalan peradaban Islam masa silam. Sebagaimana dalam novel biografi Gus Dur “Peci Miring” karya Aguk Irawan menyebutkan bahwa salah satu kegemaran Gus Dur adalah berziarah ke makam ulama dan para wali, tidak tertutup kemungkinan Gus Dur berziarah dan napak tilas ke makam-makam mulia di Najaf, Karbala, Kadzimain dan Samarra.
Lantas apa maksud Gus Dur bahwa NU adalah Syi’ah tanpa Imamah, sedangkan Syi’ah adalah NU dengan Imamah?
Islam pasca wafat Nabi Muhammad Saw mengalami perkembangan sedemikian pesat, banyak aliran pemikiran dan mazhab fikih. Namun, secara umum terbagi dua mazhab besar. Ada Ahlusunnah dan Syi’ah. Ahlusunnah memiliki banyak aliran, demikian pula Syi’ah.
Secara umum perbedaan mazhab dan aliran yang ada bukan pada usul, hanya sekedar furu’, tafsiran dan fikih saja. Sama-sama meyakini Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagai utusan, Al Quran sebagai kitab suci rujukan dan sama-sama meyakini hari Qiyamah dan hari pembalasan; orang baik masuk surga dan pendosa masuk neraka.
Perbedaan mendasar mazhab Syi’ah dan Ahlusunah terletak pada siapa pengganti pasca Nabi akhir zaman tiada. Syi’ah meyakini bahwa Nabi sendirilah yang menentukan siapa pengganti setelahnya, yakni sepupu dan menantunya, Ali bin Abi Thalib dan dilanjutkan oleh anak keturunannya.
Ahlusunah meyakini bahwa pasca Nabi kepemimpinan di tangan umat sendiri, sebagaimana yang tercatat dalam sejarah. Tidak ada sistem baku kepemimpinan yang Nabi tentukan. Terpilihnya Sayyidina Abu Bakar pasca wafatnya Nabi, berbeda dengan terpilihnya Sayyidina Umar, begitu juga Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali. Apalagi perebutan kekuasaan Bani Umayyah dilanjut dengan Bani Abbasiyah sarat dengan ceceran darah, antar saudara saling bunuh bahkan anak membunuh ayah sendiri demi kursi panas kekuasaan pun terjadi.
Gus Dur menyebutkan NU sebagai ormas keagamaan yang ada di Indonesia berdasarkan ideologi Ahlusunah wal Jamaah, namun dengan tradisi dan budaya nyaris persis yang ada di Syi’ah. Hanya saja tidak meyakini keimamahan pasca Nabi seperti yang Syi’ah yakini. Sedangkan jika merujuk dengan apa yang dilakukan Syi’ah baik ibadah maupun tradisi lainnya tak jauh beda dengan apa yang dilakukan NU.
Bahkan jika kita merujuk apa yang ditulis oleh Prof. Dr. KH. Aboebakar Atjeh dalam buku “Perbandingan Mazhab Syi’ah, Rasionlisme dalam Islam” cetakan 1965 (MUI kala itu memberikan sambutan dan prakata) menyebukan bahwa Islam Syi’ahlah yang mula-mula masuk ke Indonesia, bahkan kerajaan Islam pertama di Nusantara adanya di Aceh, yaitu kesultanan Kerajaan Perlak yang berdiri tahun 840 M dengan rajanya yang pertama, Sultan Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah, dari kesultanan Fatimiyyah Mesir.
Maka, tak heran jika corak Islam mayoritas yang berkembang di Indonesia adalah Islam ramah. Islam yang tidak menghilangkan budaya lokal dan juga tanpa kehilangan substansi nilai-nilai Islam. Inilah Islam Nusantara, Islam yang merangkul dan ramah. Islam yang mengakui saudara seiman karena sama keyakinan, saudara sesama manusia karena sama-sama mahluk ciptaanTuhan.
Di era sekarang, karena kepentingan politik global yang mempertentangkan Sunni dan Syiah, memicu perang dua sayap Islam, untuk mengeruk sumber daya alam negeri-negeri Muslim.
Sebelum revolusi Iran tahun 1979 yang digagas Imam Khumaini, dunia tidak mendengar anti-Iran dan Syi’ah. Begitu juga, sebelum berkobar perang Suriah tahun 2011, dunia sepi dari pemberitaan Syi’ah kafir dan layak dimusuhi. Ulama-ulama yang lurus menganjurkan persatuan Islam, meski ada juga “ulama” justru menari di tengah perpecahan kaum Muslimin.
Gus Dur dengan kapasitasnya sebagai seorang ulama dan negarawan, jangankan beda aliran dan mazhab, beda agama bahkan atheis sekalipun dia bela. Dibela hak-haknya sebagai manusia. Karena siapa pun hamba Allah juga. Dunia saat ini merindu jiwa-jiwa sekelas Gus Dur, pahlawan kemanusiaan tanpa sekat kepentingan.
Dikutip dari tulisan Muh Ali di buku “Merindu Gus Dur, Antologi Esai Pemikiran Sang Guru Bangsa”
Muh Ali adalah Aktivis Gusdurian dan Ahlulbait Indonesia (ABI) Pengasuh Pondok Pesantren Syiah Darut Taqrib, Jepara.