Berita
Sahabat Nabi Saw di Hadapan Hukum Akal dan Sejarah
Siapakah Sahabat Nabi?
Al-Ashhâb, Al-Shahâbah, Shahaba, Yashhubu, Shuhbatan, Shahâbatan, Shâhibun, artinya: teman bergaul, sahabat, teman duduk, penolong pengikut. Al-Shâhib artinya kawan bergaul, pemberi kritik, teman duduk, pengikut, teman atau orang yang melakukan atau menjaga sesuatu. Kata ini juga bisa diartikan sebagai orang yang mengikuti suatu paham atau mazhab tertentu. Misalnya, kita bisa mengatakan: pengikut Imam Ja’far, pengikut Imam Syafi’i, pengikut Imam Malik dan lain-lain. Dapat juga kita menyatakannya seperti dalam frasa istashhaba al-qaum, yang artinya, mereka saling bersahabat satu sama lain, atau istashhaba al-bar, artinya, menyelamatkan unta. (1)
Definisi Sahabat
Syiah mendefinisikan sahabat seperti yang dikemukakan dalam kamus-kamus bahasa Arab sebagai berikut: kata al-shâhib dalam bentuk jamaknya (plural) ialah shahab, ashhâb, shihâb, dan shahâbah. Kata al-shâhib berarti yang menemani (al-mu‘âsyir) dan yang selalu menyertai kemanapun (al-mulâzim) serta “tidak dikatakan kecuali kepada seseorang yang sering menyertai temannya”. “Dan persahabatan mensyaratkan adanya kebersamaan yang lama”.Persahabatan terjadi di antara dua orang. Dengan demikian, jelas bahwa kata al-shâhib (sahabat) dan pluralnya al-ashhâb mesti disandarkan kepada sebuah nama ketika dalam percakapan. Seperti yang terdapat dalam Alquran, yaitu firman-Nya, “Yâ shâhibayissijni” (wahai dua temanku di penjara) dan “ashhâbu Musa” (para sahabat Musa).
Pada masa Rasulullah Saw dikatakan shâhib Rasulillah dan ashâbu Rasulillah, dengan disandarkan (mudhâf) kepada Rasulullah Saw. Sebagaimana juga digunakan dalam ungkapan: ‘ashhâbu bai‘ati al-syajarah’ (komunitas baiat di bawah pohon) dan ashhâbu al-shuffah (para sahabat yang tinggal di serambi masjid), yang di dalamnya kata ashhâbu tersebut dinisbatkan kepada selain Nabi. (2)
Kata shâhib dan ashhâb pada saat itu memang belum digunakan sebagai nama untuk para sahabat Rasulullah Saw, tetapi kaum Muslim terbiasa menamakan orang-orang Muslim (pengikut Rasul Saw) dengan istilah shahâbi dan ashhâb. Jadi, penamaan ini termasuk jenis penamaan yang dilakukan oleh kaum Muslim dan terminologi yang dibuat kemudian (mutasyarri’).
Sahabat di Hadapan Hukum Akal dan Sejarah
Syiah meyakini bahwa di antara sahabat Nabi terdapat pribadi-pribadi agung yang telah disebutkan keutamaannya oleh Alquran dan Sunnah. Akan tetapi, tidak berarti bahwa semua sahabat tidak ada yang salah atau perbuatan-perbuatan mereka benar semuanya tanpa kecuali. Dalam banyak ayat Alquran, terutama dalam Surat Al-Barâ’ah, Al-Nûr, dan Al-Munâfiqûn, Alquran bercerita tentang kaum munafik yang notabene adalah orang Muslim yang hidup pada waktu hidup Nabi (karena itu dalam definisi umum yang berlaku dapat disebut sebagai sahabat) tetapi juga mengecam mereka dengan keras.
Selain itu, terdapat pula di antara sahabat Nabi yang melanggar baiat yang telah diberikan kepada khalifah. Di bawah ini sekadar contohnya:
Syiah meyakini bahwa seorang manusia, meskipun sahabat Nabi, bergantung pada amalnya, sesuai dengan prinsip Alquran yang menyatakan, Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. (QS. Al-Hujurât [49]: 13).Maka, siapa saja di antara sahabat Nabi yang selama bersama Nabi, ikhlas dan terus dalam garis ini dalam menjaga Islam dan kesetiaan kepada Alquran sesudah wafatnya, Syiah mengakuinya dan mengkategorikannya sebagai orang salih.
Baca juga Kritik Alquran Terhadap Beberapa Sahabat Nabi Saw
Hal yang pertama kali harus disadari, berbeda dengan mazhab Ahlus Sunnah, memang Syiah bermula dengan isu khilafah sepeninggal Nabi. Syiah percaya bahwa hak Ali tidak diberikan dalam hal ini (otoritas kepemimpinan agama dan administratif). Belum lagi ada Perang Jamal dan Perang Shiffin, sebagai pemberontakan terhadap Khalifah Ali, yang melibatkan salah seorang istri Nabi (Siti ‘Aisyah) dan seorang sahabat Nabi (Mu‘awiyah). Belum lagi peristiwa Karbala yang melibatkan pembunuhan sadis atas keluarga salah seorang cucu Nabi dan putra Ali, dan keluarganya.
Jadi, sampai batas tertentu, kehadiran Syiah memang bersifat polemis. Karena itu, memang tak bisa diharapkan bahwa Syiah terbebas dari upaya-upaya mengevaluasi (baca: mengkritik) sebagian tindakan istri Nabi atau orang-orang yang diakui sebagai Sahabat. Meskipun demikian, harus dibedakan antara menghujat dan bersikap kritis. Mengecam atau menghujat orang-orang yang dikategorikan sebagai sahabat, apalagi istri-istri Nabi, adalah suatu perbuatan yang terlarang.
Namun, untuk keperluan ilmiah dan kesejarahan, sikap kritis diperlukan. Mengingat pribadi-pribadi tersebut, betapapun mulianya, diterima sebagai salah satu sumber ajaran agama Islam, termasuk juga sebagai perawi hadis-hadis dari Nabi Saw. Para ulama Ahlusunah, misalnya, tak ragu untuk mengakui penyesalan Siti ‘Aisyah atas pemberontakannya terhadap Khalifah Ali ibn Abu Thalib yang meletuskan Perang Jamal. Tak juga menahan diri dari mengisahkan kesedihan Nabi akibat perbuatan sebagian istri beliau. Pada kenyataannya, meski sebagai prinsip umum para ulama Ahlusunah menyebut bahwa semua sahabat bersifat terlindungi dari kesalahan(‘udûl), tak jarang dalam kenyataannya sebagian di antara mereka berdasar hadis-hadis sahih menyebutkan kesalahan sebagian orang yang termasuk dalam golongan sahabat. Memang, sikap kritis seperti ini diperlukan, antara lain, sebagai dasar perlakuan al-jarh wa al-ta’dîl (mengkritik dan menegaskan keadilan) untuk menilai kekuatan atau kesahihan hadis yang mereka riwayatkan. Tentu saja kesemuanya ini harus dilakukan dengan tetap memelihara penghormatan kita terhadap pribadi-pribadi mulia ini.
(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)
Catatan Kaki
- Ibnu Manzhur, Lisân Al-’Arab, h. 915.
- Ibnu Manzhur, Lisân Al-’Arab, h. 2400-1.