Berita
Kritik Alquran Terhadap Beberapa Sahabat Nabi Saw
Maksud dari ayat di atas adalah ketika pada masa Rasulullah Saw pernah terjadi orang-orang yang menunggu-nunggu waktu makan Rasulullah Saw, lalu turun ayat ini melarang masuk rumah Rasulullah untuk makan sambil menunggu-nunggu waktu makannya Rasulullah.
Diriwayatkan oleh Bukhari Muslim yang bersumber dari Anas bahwa ketika Nabi Saw menikah dengan Zainab binti Jahsy, beliau mengundang para sahabatnya makan-makan (walimah). Setelah selesai makan, para sahabat itu berbincang-bincang, sehingga Rasulullah memberi isyarat dengan seolah-olah akan berdiri, tetapi mereka tidak juga berdiri. Terpaksalah Rasulullah berdiri meninggalkan mereka, diikuti oleh sebagian yang hadir, tetapi tiga orang lainnya masih terus bercakap-cakap. Setelah semuanya pulang, Anas memberitahukan Rasulullah Saw pulang ke rumah Zainab, dan ia mengikutinya masuk. Kemudian Rasulullah memasang hijab/penutup. Berkenaan dengan peristiwa tersebut turunlah ayat ini (Al-Ahzâb: 53) yang melarang masuk ke rumah Nabi Saw sebelum mendapat izin serta (melarang) berlama-lama tinggal di rumah Nabi.
Diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi, yang menganggap hadis ini hasan, yang bersumber dari Anas bahwa Anas pernah berkumpul bersama Rasulullah Saw. Pada waktu itu Rasulullah masuk ke kamar pengantin wanita (yang baru dinikahinya). Tetapi di dalam kamar itu banyak orang, sehingga beliau keluar lagi. Setelah orang-orang itu pulang, barulah beliau masuk kembali. Kemudian beliau membuat hijab (penghalang) antara Rasulullah (serta istrinya) dengan Anas. Kejadian ini diterangkan oleh Anas kepada Abu Thalhah. Abu Thalhah berkata, “Jika betul apa yang engkau katakan, tentu akan turun ayat tentang ini.” Berkenaan dengan peristiwa ini, turunlah ayat hijab (Al-Ahzâb: 53).
Diriwayatkan oleh Thabarani dengan sanad yang sahih, yang bersumber dari ‘Aisyah bahwa ketika ‘Aisyah sedang makan beserta Rasulullah Saw, masuklah ‘Umar. Rasulullah mengajaknya makan bersama. Ketika itu bersentuhlah jari ‘Aisyah dengan ‘Umar, sehingga ‘Umar berkata, “Aduhai sekiranya usul saya diterima (untuk memasang hijab), tentu tak seorang pun dapat melihat istri tuan.” Berkenaan dengan peristiwa ini turunlah ayat hijab (Al-Ahzâb: 53).
Baca juga Menyikapi Perbedaan Rukun Iman dan Rukun Islam Sunni dan Syiah
Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw dan duduk berlama-lama di tempat itu. Nabi Saw keluar rumah sampai tiga kali agar orang itu mengikutinya keluar, akan tetapi ia tetap tidak keluar. Ketika itu masuklah ‘Umar dengan memperlihatkan kebencian pada mukanya. Ia berkata pada orang itu, “Mungkin engkau telah mengganggu Rasulullah Saw!” Bersabdalah Nabi Saw, ‘Aku telah berdiri tiga kali agar orang itu mengikuti aku, akan tetapi ia tidak juga melakukannya.’ ‘Umar berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana sekirannya tuan membuat hijab, karena istri-istri tuan tidaklah sama dengan dengan istri-istri yang lain. Hal ini akan lebih menentramkan dan menyucikan hati mereka.’” Berkenaan dengan peristiwa ini turunlah ayat hijab (Al-Ahzâb: 53).
Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar, peristiwa-peristiwa tersebut dapat digabungkan menjadi asbabun nuzul ayat di atas (Al-Ahzâb: 53), yang semuanya terjadi sebelum kisah Zainab. Oleh karena peristiwa-peristiwa itu tidak lama sebelum kisah Zainab terjadi. Namun tidak ada halangan menyatakan bahwa turunnya ayat tersebut karena berbagai sebab.
Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d yang bersumber dari Muhammad bin Ka’b bahwa apabila Rasulullah Saw bangkit menuju rumahnya, orang-orang berebut duduk di rumah Rasulullah Saw, tapi pada wajah beliau tidak tampak adanya perubahan. Oleh karena itu Rasulullah tidak sempat makan karena banyaknya orang. Turunlah ayat ini (Al-Ahzâb: 53) sebagai peringatan kepada orang-orang yang memasuki rumah Rasulullah tanpa mengenal waktu.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Zaid bahwa Rasulullah Saw mendengar ucapan orang yang berkata, “Jika Nabi wafat, aku akan kawin dengan fulanah (bekas istri Rasul).” Maka turunlah akhir ayat ini (Al-Ahzâb: 53) sebagai larangan mengawini bekas istri Rasulullah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa ayat ini (Al-Ahzâb: 53) turun berkenaan dengan seseorang yang bermaksud mengawini salah seorang bekas istri Rasulullah Saw, sesudah beliau wafat. Menurut Sufyan, istri Rasul yang dimaksud adalah ‘Aisyah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Al-Suddi bahwa Thalhah bin ‘Ubaidillah berkata, “Mengapa Muhammad membuat hijab antara kita dengan putri-putri paman kita, padahal beliau sendiri mengawini istri-istri yang seketurunan dengan kita. Sekiranya terjadi sesuatu, aku akan mengawini bekas istri beliau.” Maka turunlah akhir ayat ini (Al-Ahzâb: 53) yang melarang perbuatan itu.
Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d yang bersumber dari Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm bahwa ayat ini (Al-Ahzâb: 53) turun berkenaan dengan ucapan Thalhah bin ‘Ubaidillah yang berkata, “Sekiranya Rasulullah wafat, aku akan mengawini ‘Aisyah.”
Diriwayatkan oleh Juwaibir yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa seorang laki-laki datang kepada seorang istri Rasululah Saw dan bercakap-cakap dengannya. Laki-laki itu adalah anak paman istri Rasulullah. Bersabdalah Rasulullah Saw, “Janganlah kamu berbuat seperti itu lagi.” Orang itu berkata, ‘Ya Rasulullah, ia adalah putri pamanku. Demi Allah, aku tidak berkata yang munkar dan ia pun tidak berkata yang mungkar.’ Rasulullah Saw bersabda, ‘Aku tahu hal itu. Sesungguhnya tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah, dan tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada aku.’ Dengan rasa dongkol orang itu pun pergi dan berkata, ‘Ia menghalangi aku bercakap-cakap dengan anak pamanku. Sungguh aku akan kawin dengannya setelah beliau wafat.’ Maka turunlah ayat ini (Al-Ahzâb: 53) yang melarang perbuatan itu.’”
Berkatalah Ibnu ‘Abbas, “Orang itu memerdekakan hamba dan menyumbangkan sepuluh unta untuk digunakan fisabilillah dan naik haji sambil berjalan kaki, dengan maksud tobat atas omongannya itu.”
Rumah Nabi Muhammad Saw sangat berdekatan dengan masjid. Dindingnya menyatu dengan masjid. Rumah itu amat sederhana dan terdiri dari sembilan kamar, yang dihuni oleh istri-istri beliau. Suatu ketika, serombongan orang datang kepada Nabi Saw, yang ketika itu sedang beristirahat. Mereka masuk ke masjid dan berteriak di depan salah satu kamar. Teriakan mereka demikian keras sampai suara mereka terdengar di seluruh kamar (ayat di atas menggunakan “kamar” dalam bentuk plural). Dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa orang yang berteriak memanggil itu adalah Al-Aqra’ bin Habis. Teriakannya disetujui oleh sekian banyak anggota rombongan. Peristiwa ini terjadi pada tahun kesembilan Hijriah, yang juga disebut tahun kehadiran para delegasi untuk menemui Rasulullah (‘âm al-wufûd).
Cara mereka memanggil Nabi dan waktu yang mereka pilih di saat Nabi sedang beristirahat dinilai tidak sopan oleh Alquran. Karena itu, ayat tersebut menyatakan bahwa sebagian besar mereka (yang merestui teriakan itu) tidak “mengerti” etika dan sopan santun. Demikian penjelasan Prof. Dr. Quraish Shihab terkait tafsir ayat 4 surah Al-Hujurât tersebut. (1)
“Tidak berakal” yang dipredikasi Allah dalam ayat tersebut tentu tidak patut dianggap sebagai cacian. Karena itu, tidak semua predikasi yang negatif serta merta dianggap sebagai cacian.
Yang menjadi perbincangan antar golongan selanjutnya adalah, apakah sahabat seluruhnya adalah jauh dari dosa, tidak berbuat maksiat yang besar atau pun yang kecil, yang mulia dan yang tidak sepanjang umurnya?
Atau seluruh sahabat otomatis adil karena kedekatan jarak dan pergaulan dengan Rasul, telah menjadi manifestasi Rasul. Ataukah itu semua tergantung kapasitas dan potensi mereka terhadap pengajaran, dan hikmah kenabian Rasulullah Saw.
Ada dua komentar untuk pandangan di atas,
- Pertama: seluruh sahabat karena kedekatan dan tenggelamnya mereka dalam cinta dan perkhidmatan kepada Rasulullah Saw, maka secara otomatis rahmat dan kasih sayang Allah Swt menjadikan mereka seluruhnya adil. Penganut pandangan ini mengatakan bahwa para sahabat adalah hukum syar’i sebagaimana Rasulullah Saw.
- Kedua: penerimaan sahabat atas didikan dan pengajaran sekaligus menyerap hikmah-hikmah kenabian, sangat tergantung pada potensi dan kemampuan penerimaan sahabat.
Sahabat terbagi dalam kelompok besar menurut penganut pandangan ini. Sebagian ada yang sampai kepada penerimaan yang sempurna, ada yang hanya sebagian, dan ada yang tidak menerima kecuali sangat sedikit dari hikmah-hikmah kenabian. Golongan ini mengatakan bahwa, sahabat harus dipilah dan pilih, tidak bisa dikategorikan sama. Dan karenanya, mereka dengan Rasul tidak boleh disamakan dalam posisi syar’i.
(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)
Catatan Kaki
- Lebih lanjut M. Quraish Shihab, menambahkan, “Walaupun ayat ini menggunakan kata-kata lâ ya’qilûn yang biasa diterjemahkan sebagai “tidak berakal” atau “tidak mengerti”, namun tata cara kesopanan kepada para sahabat Nabi mengharuskan kita menghormati mereka (para sahabat). Sebab, bagaimanapun juga, mereka adalah orang-orang yang berjasa dalam memperjuangkan Islam. Keikhlasan mereka hendaknya tidak diragukan. Dan apa yang mereka lakukan dengan memanggil-manggil itu adalah budaya mereka yang datang dari pedalaman dan jauh dari kota Madinah. Budaya inilah yang diluruskan Alquran melalui ayat 4 surah Al-Hujurât itu.