Berita
Iran dalam Dinamika Politik Irak dan Lebanon
Oleh Dr Muhsin Labib
Kejutan dan dinamika politik Irak dan Lebanon pasca pemilu legislatif mencuatkan pertanyaan seputar posisi geopolitik Iran di kawasan Timteng dan posisi strategisnya dalam peta blok resistensi.
Tak bisa disangkal, peran Iran di Lebanon, Irak dan Suriah juga Yaman sangatlah besar, terutama dalam menumpas ISIS dan faksi-faksi bersenjata dukungan Saudi dan Qatar. Namun itu tak berbanding lurus dengan fakta politik yang dinamis di sebagian negara tersebut.
Kejutan pertama terjadi di Lebanon. Hezbollah yang didukung Iran meraih tambahan kursi dalam pemilu parlemen kemarin dan partai Perdana Menteri Saad Hariri kehilangan sebagian kursi.
Israel sangat geram terhadap hasil pemilu ini. Israel menyatakan pihaknya tidak akan membedakan keduanya jika terjadi perang di masa depan. Israel menuturkan, kemenangan Hizbullah dalam pemilihan umum di Lebanon secara tidak langsung telah membuat Beirut menjadi musuh Tel Aviv.
“Hezbollah sama dengan Lebanon,” kata Menteri Pendidikan Israel, Naftali Bennett dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Reuters pada Senin7 Mei 2018
Kejutan kedua terjadi di Irak. Dalam pemilu terakhir koalisi Fatah pimpinan Hadi al-Amiri yang didukung Iran menempati posisi kedua, sedangkan Koalisi Nasr yang dikendalikan oleh Perdana Menteri Haider al-Abadi harus puas di urutan ketiga. Sedangkan koalisi kubu Moqtada Sadr dan Partai Komunis (Sairun) secara tak terduga jadi pemenang dan menempati urutan pertama dalam perolehan suara.
Kubu al-Amiri, komandan Hashd Sya’bi yang menumpas ISIS dan kubu Haider Ibadi bisa dianggap sebagai pro Iran dengan kadar kedekatan yang berbeda. Sedangkan Moqtada, meski bermazhab Syiah dan sempat dekat dengan Iran, kini secara drastis memperlihatkan inklusivitas karena mulai mendekati Saudi yang berseteru dengan Iran, padahal sebelumnya dikenal konservatif. Dia bahkan tak ikut berjuang melawan ISIS yang disupport oleh Iran melalui Hajj Qasem alias Major Jenderal Qasem Solaemani. Kubu Nuri al-Maliki, mantan PM, mengalami defisit suara secara signifikan.
Di Suriah, posisi politik Bashar Asad makin kuat meski ragam konspirasi telah dihadapi. Secara umum, tak ada kejutan politik di Suriah setelah kemenangan militer Pemerintah atas ISIS dan faksi-faksi bersenjata.
Benarkah Iran yang telah berjasa mengusir ISIS dari Irak kehilangan pengaruh politiknya dalam pemilu legislatif yang minim partisipasi itu? Apakah ada permainan lain di balik drama ini?
Ada apa di balik dua kejutan diametrikal politik di Lebanon dan Irak? Mengapa hasil pemilu Lebanon dan Irak berbeda?
Ada banyak spekulasi. Tapi yang pasti, Iran dan Irak punya banyak kesamaan tapi juga punya sentimen sinisme mutual terselubung bahkan dalam masyarakat Syiah.
Moqtada Sadr boleh jadi memenangkan pemilu bukan karena kekuatan real politiknya tapi karena dianggap paling mewakili unsur Arabisme dan afiliasi politik kalangan Sunni yang makin lemah sejak musnahnya ISIS. Secara kuantitatif, jumlah suara kubu Moqtada tidak terlalu besar tanpa koalisi dengan faksi komunis dan lainnya. Sedangkan kubu al-Amiri yang menempati posisi kedua meraih suara karena kekuatan real politiknya, bukan karena koalisi.
Secara etnik, Arabisme Irak lebih kental dari Lebanon yang secara historis dan kultural lebih inklusif dan “tak seberapa arabis”.
Secara historis, perang Irak-Iran selama 8 tahun dengan korban lebih dari 500.000 dari kedua pihak menyisakan luka mendalam.
Secara kesyiahan, Irak yang direpresentasi oleh Najaf yang lebih konservatif bahkan ortodoks berjarak dengan Iran yang direpresentasi oleh Qom yang filosofis dan mistik.
Setelah dirundung diktatorisme Saddam, okupasi AS dan maraknya aksi-aksi teror yang memuncak dengan berdirinya ISIS secara mengejutkan dengan peragaan sadisme di dua provinsi, rakyat Irak yang jenuh dengan konflik sektarian ingin mengubah nasib dan sejarahnya seraya menerima pluralitas dalam sistem sosial dan politik yang lebih sekular dan demokratis.
Sedangkan di Lebanon yang secara geografis bersebelahan dengan satu-satunya rezim agama rasis Israel, rakyatnya justru memilih memperkuat salah satu unsur dominan secara militer dan sosial, Hezbollah, demi menjamin keamanannya dan identitas nasionlismenya.
Hezbollah telah melakukan transformasi nilai bahkan revolusi visi, misi dan strategi sehingga berhasil membuat rakyat yang multi kultur dan agama jatuh hati.
Sayyid Hasan Nasrullah bahkan menjadi ikon nasionalisme dan kebanggaan identitas Lebanon dan Arab progresif ala Gamal Abdel Naser.
Meski mengalami proses politik yang berbeda, Irak dan Lebanon yang punya kedekatan khusus dengan Iran yang menganut sistem pemerintahan Islam, tidak serta merta menduplikasinya. Justru sebaliknya, kedekatan itu tak membuat masyarakat Syiah di kedua negara itu kehilangan independensi politik dan nasionalisme.
Terlepas dari ragam spekulasi itu, dinamika politik ini menkonfirnasi bahwa dalam negara yang dihuni oleh masyarakat plural sistem demokrasi tanpa dasar keyakinan sektarian adalah opsi logis dan realistis.
Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa Wilayatul Faqih bisa diterapkan sebagai sistem kepemimpinan formal bila dijadikan sebagai bagian dari konstitusi negara sebagaimana berlaku di Iran dan bisa pula diterapkan sebagai sistem kepemimpinan spiritual keagamaan dengan fungsi pembimbingan keagamaan semirip dengan kedudukan al-Azhar bagi sebagian besar umat Islam di Infonesia sebagai puncak otoritas keagamaan yang sama sekali tidak berkaitan dengan sistem negara.
Secara umum, pemahaman keagamaan selama tak bertentangan dengan prinsip primer agama dan mazhab bisa mengalami ekspansi dan kompresi sesuai dinamika yang terus berlangsung. (satuislam/asf/abi)