Artikel
Anak dalam Perspektif Islam
Anak adalah anugerah terindah sekaligus amanah dan titipan yang Allah swt berikan kepada orangtua. Keberadaan anak sangat dinanti-nantikan oleh orangtua sebagai penyempurna kebahagiaan dalam keluarga. Tidak jarang pasangan yang belum dikarunia anak pun akan melakukan berbagai usaha demi mendapatkan anak. Karena rumah tanpa anak akan terasa sepi dan tak berwarna.
Dalam Islam, anak berpotensi menyandang status yang berlawanan: membahagiakan dan mencelakakan. Anak sebagaimana anugerah Allah swt lainnya, tergantung kepada penerima anugerah tersebut, dapat menghantarkannya kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat, juga sebaliknya dapat menjerumuskannya dan membuatnya sengsara di dunia juga akhirat.
Anak dalam Versi Ayat:
Berkaitan dengan eksistensi anak, al-Quran menyebutnya dengan beberapa istilah yang sebagian memiliki konotasi positif dan negatif.
- Anak sebagai Penyejuk Hati dan Penenang Jiwa
Anak merupakan titipan Allah swt paling berharga yang harus dijaga, dirawat dan dididik. Jika orangtua dapat menjaga, merawat dan mendidiknya dengan benar maka anak tersebut akan menjadi penenang jiwa dan penyejuk hatinya. Dalam al-Quran Allah swt menjelaskan tentang ciri-ciri pola hidup di antara hamba pilihan-Nya, di mana salah satu pola hidup mereka adalah senantiasa berdoa agar memiliki anak keturunan yang akan menjadi penyejuk hati dan penenang jiwa.
Dan orang-orang yang berkata, “Wahai Tuhan kami, anugerahkan kepada kami pasangan kami dan anak keturunan kami sebagai penenang hati.” [Q.S. al-Furqon: 74]
Dengan sendirinya keberadaan anak itu sendiri akan menjadi penyejuk dan penenang jiwa orangtua, terkhusus pada masa-masa lucu usia dini. Keberadaannya, semua tingkahnya, kelucuannya, akan menjadi penghibur bagi orangtua dan penghilang rasa penat. Tidak jarang orangtua yang jika sibuk dengan pekerjaannya, untuk sekadar refreshing ia akan bermain dan bercanda bersama anaknya.
Namun, dengan berjalannya waktu, usia kelucuan anak akan berkurang dan ia akan berkembang tumbuh besar. Sifat dan karakternya akan terbentuk, apakah menjadi anak yang soleh-solehah sehingga akan menjadi penyejuk hati dan penenang jiwa bagi orang tuanya, ataukah sebaliknya, anak akan menjadi pencoreng orangtua dan menjerumuskannya? Ini semua tergantung pada pengarahan dan pendidikan orangtua.
- Anak sebagai Dzuriyah (Penerus Keturunan)
Anak adalah anugerah Allah swt yang akan meneruskan garis keturunan dan cita-cita orangtua. Mari kita lihat kisah Nabi Zakaria a.s. yang saat melihat Allah swt memberikan karunia kepada Siti Maryam a.s. berupa buah-buahan musim panas pada musim dingin, beliau mengharap sekali agar memiliki anak sebagai penerus garis keturunannya. Padahal beliau telah berusia tua, tulang-tulangnya rapuh, rambutnya memutih dan istrinya pun seorang yang mandul.
Beliau berdoa kepada Allah swt, “Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami dari sisi Engkau dzuriyah yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa” [QS. Ali Imran: 38]
- Anak sebagai Perhiasan Dunia
Allah swt telah menjadikan semua yang ada di muka bumi ini sebagai perhiasan dalam kehidupan, termasuk harta dan anak-anak.
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” [Q.S. al-Kahfi: 46]
Anak menjadi perhiasan maksudnya adalah bahwa gelar, prestasi, kesuksesan dan kebaikan anak-anak akan menjadi kebanggaan orang tua dan menjadikannya baik di mata masyarakat.
Dalam beberapa ayat lainnya eksistensi anak dalam al-Quran memiliki konotasi negatif.
- Anak sebagai Fitnah
Berkaitan dengan hal ini dalam al-Quran Allah swt berfirman, “Sesungguhnya harta kalian dan anak-anak kalian adalah fitnah, dan sesungguhnya di sisi Allah swt adalah pahala yang sangat besar.” [Q.S. Ath-Thaghabun: 15]
Dalam tafsir Amtsal disebutkan bahwa secara bahasa, fitnah artinya memasukan sesuatu ke dalam api, misalnya memasukkan emas ke dalam api, sehingga terpisah antara emas kualitas baik dan emas kualitas buruk. Atau memasukkan logam ke dalam api untuk mengetahui kualitasnya.
Dengan fitnah atau ujian akan tampak sifat-sifat batin manusia yang baik maupun yang buruk.
Anak sebagai ujian bagi orangtua untuk dapat dididik dengan benar dan tidak cinta berlebihan terhadap anak. Anak sebagai fitnah atau cobaan dan musibah pun dapat kita fahami bahwa posisi anak dapat membuat senang orangtuanya pada saat mereka berbakti kepada orangtuanya dan taat beribadah. Namun, anak akan menjadi musibah bagi orangtuanya mana kala tidak berbakti kepada orangtuanya serta tidak taat beribadah. Apalagi jika anak melakukan perbuatan kriminal yang dapat mencoreng nama baik keluarga.
Apabila orangtua sukses dari ujian tersebut maka ia akan mendapatkan pahala yang sangat agung di dunia dan akhirat sebagaimana Allah swt telah menjelaskan dalam lanjutan surat ath-Thaghabun ayat 15 tersebut.
Juga, apabila orangtua tersebut lolos dari ujian tersebut, dengan mendidiknya menjadi anak yang soleh, maka anak tersebut akan menjadi penolong dan tulang punggung orangtuanya. Dalam hal ini Imam Ali Zainal Abidin a.s. berkata, “Merupakan kebahagiaan seseorang adalah mana kala anaknya menolongnya.” [al-Kafi, jil 6, hal 11]
- Anak sebagai Musuh dan Melalaikan dari Mengingat Allah Swt
Dalam al-Quran Allah swt berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri kalian dan anak-anak kalian adalah musuh bagi kalian, maka berhati-hatilah terhadap mereka.” [Q.S. ath-Thagabun: 14]
Sementara dalam ayat lainnya Allah swt mengingatkan agar anak-anak tidak melalaikan kita dari mengingat-Nya. “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah.” [Q.S. Munafiqun: 9]
Berdasarkan ayat tersebut bahwa anak terkadang menjerumuskan orangtua untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan agama, pada saat itu maka anak menjadi musuh bagi orangtuanya. Berikut ini beberapa contoh bahwa anak menjadi musuh bagi orangtuanya, misalnya anak melarangnya untuk berbuat baik, membiarkannya melakukan kemaksiatan dan dosa, memutuskan hubungan kekerabatan, menjerumuskannya kepada perbuatan dosa demi memenuhi keinginannya dan lainnya.
Anak dalam Versi Riwayat:
Banyak riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang keutamaan anak, mencintai anak, menghormati anak, memperhatikan hak-hak anak dan lainnya.
- Keutamaan Anak dan Anak Soleh
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya setiap pohon itu ada buahnya, dan buah hati adalah anak.” [Kanzul-Ummal : 45415]
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya anak soleh adalah wewangian dari wangi-wangian surga.” [Muntahakhab Mizan al-Hikmah, hal 612]
Imam Ali Zainal Abidin a.s. berkata, “Dari kebahagiaan seseorang adalah yang memiliki anak yang dapat menjadi patner (penolongnya).” [Muntahakhab Mizan al-Hikmah, hal 612]
Imam Shadiq a.s. berkata, “Warisan Allah swt dari hamba-Nya yang mukmin adalah anak soleh yang memohon ampun untuk orangtuanya.” [Muntahakhab Mizan al-Hikmah, hal 612]
- Mencintai Anak
Rasulullah saw telah menekankan pada kita agar mencintai anak. Beliau bukan saja hanya memberikan perintah, namun juga mencontohkannya. Mencintai anak-anak juga tidak hanya diucapkan, namun harus dibuktikan dengan perbuatan, misalnya dengan menciumnya, memeluknya, dan lainnya.
Rasulullah saw bersabda, “Cintailah anak-anak dan berlemah-lembutlah kepada mereka.” [Muntahakhab Mizan al-Hikmah, hal 612]
Imam Shadiq a.s. berkata, “Allah akan mengasihi hamba karena kecintaannya yang sangat kepada anaknya.” [Muntahakhab Mizan al-Hikmah, hal 612]
Rasulullah saw mencium al-Hasan, sedangkan di hadapan beliau saat itu ada al-Aqra bin Habis yang tengah duduk. Al-Aqra’ berkata, “Saya memiliki sepuluh anak, namun saya belum pernah mencium seorang pun di antara mereka.” Rasulullah memandang ke arahnya dan berkata, “Barangsiapa yang tidak punya rasa belas kasihan, maka tidak akan dikasihani.” [Shahihul Adabul Mufrad, Al-Albani, 67]
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang memiliki anak-anak maka berperilakulah seperti anak-anak.” [Muntahakhab Mizan al-Hikmah, hal 612]
Tsabit telah meriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah saw mengambil putranya, Ibrahim, lalu menciuminya dan mengendusnya. [HR. Bukhori, Kitabul Adab, 5538]
- Menghargai Anak
Banyak riwayat yang menganjurkan agar kita menghargai anak, bahkan dalam beberapa riwayat Rasulullah saw langsung memberikan contoh seperti dalam beberapa riwayat berikut ini:
– Mempercepat shalat karena mendengar tangisan anak.
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Anas mengatakan, “Aku tidak pernah shalat di belakang seorang yang lebih singkat dan lebih sempurna shalatnya, selain Nabi saw. Jika beliau mendengar suara tangisan anak, beliau mempercepat shalatnya karena khawatir akan mengganggu shalat ibunya.” [HR. Bukhori, Kitabul Adzan, 667]
– Rasulullah saw menghentikan khotbahnya dan meninggalkan mimbar untuk menyambut anak kecil yang berjalan tertatih-tatih.
Abdullah bin Buraidah telah meriwayatkan dari ayahnya yang berkata, “Ketika Rasulullah saw sedang berkhotbah kepada kami, tiba-tiba datanglah al-Hasan dan al-Husein yang keduanya mengenakan gamis berwarna merah dengan langkah tertatih-tatih. Rasulullah saw pun langsung turun dari mimbarnya lalu menggendong dan meletakkan keduanya di hadapannya.” [Shahih Tirmidzi, Kaitabul Manaqib: 3774]
Dan banyak lagi riwayat lainnya yang menjelaskan tentang hak-hak anak.
[Euis Daryati Lc. MA]