70 Tahun Indonesia Merdeka
Mengelola Energi Tanpa Kemudi
Visi energi Indonesia mengidap rabun jauh karena liberalisasi energi.
Sekitar 30 tahun lalu, saat Indonesia sedang asyik terlelap mengekspor minyak dan gas, Malaysia memikirkan sesuatu yang fundamental bagi ketahanan energi negerinya. Di tahun 1980-an Malaysia sudah melihat tren produksi dan konsumsi minyak akan mengalami ketidakseimbangan yang pada akhirnya berbuntut krisis.
Negeri jiran ini paham harga dan konsumsi minyak semakin meroket dan cadangan minyak negara akan segera ludes. Sadar akan kondisi itu, Malaysia mulai menabung gas yang mereka punya untuk kepentingan nasional. Gas menjadi tumpuan energi Malaysia menggantikan minyak.
Rencana besar pun disiapkan. Malaysia mulai membangun jaringan infrastruktur distribusi gas “Peninsula Gas Utilization” sepanjang 2.000 kilometer mengelilingi Semenanjung Malaya. Pembangunan itu dirintis pada 1980-an sebelum adanya pasar dan permintaan yang kompetitif terhadap gas. Malaysia sadar pembangunan infrastruktur vital tak mungkin menunggu atau diserahkan pada mekanisme pasar dan pelaku swasta yang menuntut tersedianya lebih dulu pasar dan daya beli tinggi.
Pergeseran pemakaian dari minyak ke gas berjalan relatif mulus di Malaysia hingga sekarang. Gas alam menjadi sumber energi tumpuan negara itu untuk kebutuhan industri, rumah tangga, dan transportasi publik.
Visi Malaysia untuk lebih dahulu melayani kepentingan nasional daripada mencari untung dari menjual minyak dan gas, menjelaskan visi dan filosofi energi yang berbeda antara Indonesia dan Malaysia.
Visi yang berbeda itu tentu saja mengakibatkan konsekuensi panjang bagi kedua negara. Indonesia contoh negara dengan visi energi sesaat dan jangka pendek. Di saat Indonesia mencoba khusyuk mengikuti harga minyak sesuai harga pasar internasional, Indonesia terus-menerus memangkas subsidi BBM untuk rakyatnya.
Subsidi menjadi kambing hitam ketidakbecusan pemerintah Indonesia dalam mengelola energi bagi warganya. Saat subsidi sudah dipangkas empat kali, dan rakyat kecil pun sudah merasakan dampak kenaikan harga BBM, sayangnya tak ada yang berubah dalam tata kelola energi Indonesia.
Besaran subsidi BBM terus saja naik meski harga BBM sudah empat kali dinaikkan. Hal itu terjadi karena pemerintah tidak pernah mengelola urusan energi dan substitusi gas secara serius, termasuk membiarkan buruknya transportasi publik sehingga laju kendaraan bermotor pengguna BBM terus meningkat tajam.
Ketika banyak negara menyimpan sumber daya energinya, Indonesia tak pernah mau mengoreksi kebijakannya yang terus mengekspor minyak dan gas. Padahal, kebutuhan minyak dan gas untuk domestik terus meningkat dan terbengkalai tak terurus.
Indonesia justru meliberalisasi minyak dan gas dari komoditas hingga urusan niaga dan distribusinya sebelum infrastrukturnya matang melalui Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001. Di banyak negara, terutama Eropa, infrastruktur minyak dan gas dibangun dan dimonopoli perusahaan negara sampai kemudian diserahkan kepada swasta dengan regulasi yang ketat dari negara.
Di Inggris, misalnya, British Gas baru diprivatisasi pada 1986, setelah membangun 275.000 kilometer jaringan pipa gas sejak 1967. Artinya, negara turun tangan memonopoli sektor strategis untuk menjamin akses dan distribusi, baru kemudian melibatkan pihak swasta.
Sejak tahun 1967 hingga sekarang jaringan pipa distribusi gas Indonesia baru 13.000 kilometer atau hanya 20 persen dari kebutuhan. Gas Indonesia yang relatif bagus dan murah malah dinikmati negara lain ketimbang menjadi kebutuhan substitusi domestik terhadap minyak.
Ketika banyak negara lain berhasil menjadikan gas sebagai energi transisi menuju energi terbarukan, Indonesia masih asyik membiarkan 60-an persen gasnya diekspor. Hanya 40 persen sisanya katanya untuk kepentingan domestik. Namun, apa yang disebut domestik sebenarnya bisa menyesatkan, karena pemerintah Indonesia tidak meniru negara lain yang mengatur siapa yang berhak membeli dan menggunakan gas (eligible consumer).
Di Indonesia siapa saja bisa mengakses gas, dan ini membuka peluang para pedagang dan spekulan bermain menjadikan gas sebagai komoditas dagang. Gas sebagai sebuah transisi merupakan alternatif tercepat untuk konversi BBM. Selain produksinya masih berlimpah di Indonesia, konversi pada peralatan konsumen pun lebih mudah dibandingkan konversi ke batu bara atau sumber energi lain.
Namun, secara bertahap, seiring dengan semakin menipisnya cadangan gas bumi di Indonesia, pemerintah perlu menetapkan kebijakan berupa insentif dan percepatan untuk dilakukan konversi dari BBM dan gas bumi ke energi terbarukan. Seperti pemanfaatan panas bumi, tenaga surya, micro-hydro, terutama untuk sektor kelistrikan.
Sebagai negeri vulkanik, Indonesia punya potensi besar dalam energi panas bumi. Potensinya sekitar 40 persen potensi panas bumi dunia, setara minyak 219 miliar barel. Namun, yang dimanfaatkan baru 4 persen. Energi terbarukan jelas penting, tapi ongkos infrastruktur energi ini juga sangat besar. Energi terbarukan merupakan energi yang masih relatif mahal. Terlalu mewah untuk Indonesia yang masih menderita kemiskinan energi. Karena itu, gas adalah energi fosil yang relatif bersih sebagai transisi menuju energi terbarukan.
Di Eropa yang liberal sekalipun, memonopoli infrastruktur jaringan pipa gas menjadi praktik lazim. Mereka menyatakannya sebagai kegiatan monopoli alamiah (natural monopoly). Sebagai contoh: jaringan pipa gas di Inggris dimonopoli National Grid Plc, di Italia dimonopoli Snam Rate Gas, di Prancis dimonopoli GTR Gaz, di Belanda dimonopoli NV Nederlandse Gasunie, dan di Turki dimonopoli Botas.
Uni Eropa, yang terkenal antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat, punya yang disebut EU Gas Directive. Lembaga ini mengamanatkan tidak semua badan usaha dapat membeli gas bumi langsung dari pemasok atau produsen gas. Hanya konsumen tertentu (eligible consumers) yang boleh membeli gas langsung dari pemasok. Umumnya konsumen perusahaan listrik dan industri, yang menggunakan gas hanya untuk kebutuhan sendiri, tidak untuk dijual lagi.
Di pelbagai negeri, ketahanan dan kedaulatan energi dibicarakan dan dipersiapkan visinya begitu serius melampaui zaman. Esensinya mencukupi kebutuhan energi nasional mereka untuk sekian tahun ke depan. Di Indonesia, kita bisa memeriksa visi energi di dalam Cetak Biru Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025 sebagai berikut: “Visi pengelolaan energi nasional adalah terjaminnya penyediaan energi dengan harga wajar untuk kepentingan nasional.”
Visi seperti itu memancarkan kecenderungan negara yang lebih melihat energi sebagai sumber pemasukan dan bisnis ketimbang sebagai modal sosial. Upaya terus-menerus memberikan harga ekonomi terhadap energi telah mereduksi nilai energi itu sebagai modal hidup.
Studi-studi yang mengkritik liberalisasi energi menyebutkan ada upaya terus-menerus mendidik publik, terutama di negara berkembang, untuk melihat minyak dan gas sebagai barang ekonomi ketimbang barang sosial dan hak. Program Penyesuaian Struktural yang dilansir International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia menyihir segala sumber vital di tengah publik sebagai pendapatan dan untung-rugi ketimbang modal sosial bagi keberlanjutan hidup masyarakat.
Ekonomi Indonesia Selepas Pencabutan Subsidi BBM
Krisis ekonomi mengintai. Beban hidup semakin berat. Presiden Joko Widodo masih tertolong bulan madu yang belum usai.
Situasi ekonomi Indonesia terus memburuk selama delapan bulan usia pemerintahan Presiden Joko Widodo. Beban hidup terasa semakin berat di pelbagai urusan, namun orang-orang masih lebih banyak merasakannya daripada menyuarakannya.
Sebagian penjelasannya karena rakyat masih ingin menikmati bulan madu politik dari kehadiran presiden baru pilihan mereka. Sebagian alasan lain, karena senyapnya intelektual dan media mempelajari dan memperingatkan gejala krisis akibat kesibukan mempersoalkan gegap gempita politik harian.
Pertanyaannya, sampai berapa lama pesta dan euforia bisa bertahan ketika kenyataan hidup saban hari memojokkan ekonomi Indonesia mendekati tubir krisis? Bayang-bayang krisis moneter 1998 seperti keluar kembali dari laci memori rakyat Indonesia.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro Juni lalu mengatakan sedang mengkaji pembentukan dana stabilisasi untuk memperkuat mitigasi perlambatan ekonomi serta antisipasi terhadap kemungkinan datangnya krisis.
Menurut dia, pemerintah sedang menyiapkan dana khusus melakukan stabilisasi ekonomi untuk menjawab kondisi darurat. Skema itu sejauh ini masih dalam konsep, belum final.
Dalam penjabarannya skema itu memuat kerangka kerja dan mekanisme koordinasi di lingkungan Kementerian Keuangan, Badan Usaha Milik Negara, lembaga asuransi, dan penjaminan di bawah koordinasi Kementerian BUMN dalam melakukan pembelian Surat Berharga Negara.
Menteri Keuangan juga sedang membuat Crisis Management Protocol berupa peringatan dini, untuk menghadapi krisis di sektor keuangan dan mengurangi tekanan yang melanda keuangan negara.
Pemerintah turut menyiapkan pinjaman siaga yang berasal dari mitra multilateral senilai US$ 5,5 miliar. Pinjaman itu sebagai upaya untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas ekonomi makro secara komprehensif.
Sepanjang semester pertama 2015, perekonomian nasional terus menurun. Faktor ini dapat terlihat jelas pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mengalami perlambatan. Pada kuartal pertama 2015, pertumbuhan ekonomi turun menjadi 4,7 persen dari sebelumnya sampai 5 persen.
Investasi di dunia usaha di kuartal pertama tahun ini melambat 10,16 persen dari periode yang sama tahun lalu yang bisa tumbuh mencapai 20,22 persen. Neraca modal juga mengalami defisit hingga US$ 5,1 miliar.
Menurunnya daya beli masyarakat dan naiknya harga barang-barang pokok, akibat fluktuasi harga bahan bakar minyak yang diserahkan pada mekanisme pasar, memicu instabilitas harga bahan kebutuhan lain.
Energi dan pangan selama ini menjadi faktor terbesar stabilitas harga. Saat harga energi diserahkan pada mekanisme pasar, maka pemerintah sendiri yang menciptakan pemicu ketidakpastian.
Harus diakui, selama ini subsidi bahan bakar minyak menolong daya beli masyarakat menengah ke bawah. Ketika subsidi dicabut, dan pemerintah tak punya kapasitas mengalihkan subsidi secara produktif, yang paling dirugikan justru masyarakat menengah ke bawah.
Pencabutan subsidi bahan bakar minyak berangkat dari keyakinan bahwa subsidi itu tidak efisien dan bertujuan memperbesar ruang fiskal untuk stimulus ekonomi. Tapi stimulus itu semakin hari semakin menjauh dari tujuan awal. Kini negara hanya menjadi penonton ketika harga minyak naik turun seperti roller coaster.
Kelonggaran fiskal akibat pencabutan subsidi tak digunakan secara serius ke sektor penguatan publik. Ditambah lagi kenyataan bahwa dampak pengalihan subsidi, bahkan jika itu untuk penguatan sektor publik, jelas tak bisa berdampak langsung.
Pengalihan ke sektor produktif membutuhkan waktu atau jeda yang harus diperhitungkan. Sementara fluktuasi harga bahan bakar minyak tak hanya menimbulkan ketidakpastian, tapi seketika menaikkan harga barang-barang pokok dan komoditas serta menimbulkan inflasi tertinggi se-Asia sehingga BI Rate masih bertahan pada 7,5 persen.
Rakyat saat ini merasakan langsung dampak kenaikan harga-harga barang pokok, terutama pangan dan transportasi. Kenyataan yang ditemukan di lapangan, tak banyak harga yang turun meskipun harga minyak sempat turun.
Siapa pun tak suka negara tekor karena menyubsidi hal yang salah. Atau membiarkan subsidi bahan bakar minyak membengkak tak terkendali. Tapi menimpakan seolah masalah terletak pada pemberian subsidi BBM adalah sebentuk penyesatan.
Setiap kali kenaikan harga BBM dibicarakan, rakyat selalu dicegat pada pilihan sulit: uang negara tekor untuk subsidi BBM. Pencabutan subsidi BBM selalu dibicarakan dalam kondisi kepepet ketika pemerintah kesulitan menyeimbangkan kontraksi anggaran. Dalam situasi kepepet dan panik, rasionalisasi pencabutan subsidi BBM menyihir setiap warga untuk mencari pembenaran.
Rakyat dihadapkan pada pilihan bahwa subsidi BBM nyaris seperti candu. Padahal, solusi alternatif seharusnya terbuka untuk dibicarakan. Sebuah kemungkinan mengurangi subsidi tanpa harus menaikkan harga BBM seperti tertutup rapat oleh kegawatan kontraksi anggaran. Argumen pemerintah soal pencabutan subsidi sebenarnya mengandung banyak sesat pikir.
Pemerintah selalu melihat kusutnya masalah energi Indonesia dari persoalan subsidi BBM. Argumen ini mereduksi masalah utama politik energi. Energi fosil bukan satu-satunya tumpuan energi Indonesia. Kita punya gas dan potensi energi terbarukan lainnya. Jika Indonesia serius melakukan konversi gas terhadap BBM, Indonesia tak perlu terus-menerus mengimpor minyak dan terjebak memotong subsidi demi menyesuaikan diri dengan harga pasar internasional.
Gas Indonesia lebih dari cukup untuk menghidupi kebutuhan energi nasional hingga 60 tahun ke depan. Pasokan dan kualitas gas Indonesia terbilang bagus dan cukup, tetapi tak pernah dipikirkan dengan serius menjadi alternatif energi. Tetapi kita memilih mengekspor gas dengan harga murah daripada mencukupi kebutuhan energi warga sendiri.
Sekarang ini sekitar 60 persen dari total produksi gas Indonesia diekspor dan 40 persen sisanya untuk domestik. Jika pemerintah serius membangun infrastruktur gas untuk publik, konversi gas sebenarnya cukup untuk kebutuhan BBM nasional. Kuncinya gas tidak untuk ekspor.
Jika negara berani menghilangkan ketergantungan impor minyak, konversi gas sebenarnya jauh lebih murah daripada mengandalkan BBM.
Dalam hitungan, subsidi negara untuk gas hanya sekitar US$ 7 per MMBtu. Sementara subsidi terhadap BBM selama ini US$ 33 per MMBtu. Agak mengherankan jika kita tidak mau beralih ke gas dengan
subsidi lebih kecil dan malah memilih terus menyubsidi minyak.
Kita punya gas bagus harus dinikmati negara lain, sementara kita membeli BBM kotor dari negara lain. Padahal gas terbukti lebih bersih dan efisien daripada BBM.
Bekas menteri perekonomian Rizal Ramli mengatakan ada cara lain yang lebih efisien untuk menyelamatkan APBN tanpa harus menaikkan harga BBM. Cara pertama, pemerintah membangun kilang baru masing-masing berkapasitas 200 ribu barel. “Cara ini bisa menghemat biaya pengadaan BBM hingga 50 persen.”
Selain itu, pemerintah harus meningkatkan efisiensi produksi BBM dengan cara menekan cost recovery yang saat ini mencapai US$ 32 miliar per tahun. Menurut Rizal, sungguh tidak masuk akal lifting turun 40 persen tapi cost recovery justru naik hingga 200 persen. “Dengan menekan 20 persen cost recovery saja, berarti terjadi penghematan US$ 6,4 miliar per tahun atau setara dengan sekitar Rp 72 triliun.”
Rizal berharap pemerintah lebih bekerja keras dan bertindak tegas agar masyarakat, terutama masyarakat menengah ke bawah, tidak semakin tertekan oleh pemotongan subsidi.
Menurut Rizal, cara lain yang lebih cerdas daripada menaikkan harga BBM adalah pemerintah berani memberantas mafia migas yang selama ini merugikan negara US$ 1 miliar per tahun. Rezim impor minyak dianggap menjadi penghalang pemerintah untuk bersikap lugas membereskan tata kelola energi.
Pemerintah dan kaum teknokrat mengatakan subsidi BBM tidak tepat sasaran. Semacam subsidi kenikmatan yang hanya menguntungkan orang kaya dan 70 persen pengguna mobil. Dengan alasan itu, pencabutan subsidi BBM secara moral dilakukan untuk menolong rakyat miskin.
Argumen ini cenderung menyesatkan. BBM dan energi kenyataannya dinikmati seluruh lapisan masyarakat, bahkan oleh mereka yang tidak menggunakan kendaraan bermotor.
BBM adalah penggerak mobilitas hidup manusia dan pelumas ekonomi, sosial, dan budaya. Kenaikan harga BBM berdampak sangat serius pada harga barang dan jasa yang menghancurkan daya beli kalangan menengah ke bawah.
Naiknya pengeluaran Rp 200 ribu per bulan lebih menyulitkan buruh bergaji Rp 1,5 juta dibanding mereka yang bergaji Rp 10 juta per bulan. Tanpa pencabutan subsidi pun, daerah terpencil di Indonesia sudah membeli BBM dengan kenaikan hingga 5 kali lipat.
Melalui penaikan harga BBM, pemerintah bermaksud menolong orang miskin dengan cara memberikan subsidi langsung melalui semacam Bantuan Langsung Tunai dan jaring pengaman sosial lainnya.
Argumen ini keliru. Kenaikan harga BBM 4 kali selama rezim SBY yang disertai program bantuan langsung terbukti tidak berhasil menolong rakyat miskin. Kenaikan harga energi akan membuat orang miskin makin miskin meski ada bantuan langsung, dan mereka yang tadinya tidak miskin jadi jatuh miskin dan ini tidak terhitung dalam sensus penerima bantuan langsung. Uang bantuan sangat kecil dan lebih penting, program seperti itu hanya bisa dilakukan di masyarakat dengan tingkat kemiskinan yang kecil, bukan dengan tingkat kemiskinan sebesar 128 juta (standar Bank Dunia) seperti Indonesia.
Benarkah dalil pemerintah bahwa harga BBM harus sesuai harga keekonomian (pasar)? Nyatanya tidak. BBM persis seperti air dan beras.
Selalu akan dicari orang berapa pun harganya. Harga BBM secara langsung mempengaruhi sektor barang dan jasa. BBM bukan hanya komoditas, melainkan juga barang sosial dan pendorong produktivitas.
Pemerintah sering menegur warga karena boros energi disebabkan harga BBM yang rendah hasil subsidi. Kita perlu memberi tahu pemerintah bahwa konsumsi energi per kapita Indonesia sangat rendah, salah satu yang terendah di ASEAN.
Mari menengok Energy Development Index yang mengukur indikator kemajuan sebuah negara dalam transisi menuju pemakaian bahan bakar modern. Misalnya, dari kayu bakar ke listrik. Pada 2011 Indonesia di peringkat 33 dalam Indeks Pembangunan Energi, di bawah Malaysia, Cina, Thailand, dan Filipina.
Konsumsi listrik rata-rata orang Indonesia hanya 0,68 megawatt jam per tahun, lebih rendah dari rata-rata Asia. Rakyat Indonesia secara keseluruhan masih menderita kemiskinan energi.
Padahal pertumbuhan ekonomi dan aktivitas sosial-budaya ditopang oleh pening- katan konsumsi energi. Negeri-negeri yang makmur adalah negeri dengan tingkat konsumsi energi yang tinggi.
Indeks kelistrikan Indonesia juga di bawah Vietnam dan Sri Lanka. Menurut Badan Energi Dunia tahun 2011, pemakaian energi Indonesia untuk memasak lebih buruk dari Bangladesh.
Indonesia tetap berada di peringkat bawah dalam Energy Sustainability Index tahun 2013. Indeks ini mengukur kemampuan sebuah negara menyelenggarakan kebijakan energi berkelanjutan bagi rakyat melalui tiga faktor: keamanan pasokan energi, pemerataan energi, serta ketersediaan energi bersih. Peringkat ketahanan energi Indonesia menurut World Energy Council di urutan 17, tapi ketika seluruh faktor diperhitungkan, peringkat Indonesia melorot ke posisi 73.
Seluruh indeks ini merupakan salah satu tolok ukur kemiskinan energi (energy poverty). Peringkat Indonesia di bawah Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam.
Pemakaian listrik dan konsumsi energi menentukan tingkat kemakmuran bangsa. Pada kenyataannya, semua aktivitas ekonomi dan sosial membutuhkan energi. Kian besar konsumsi energi makin makmur sebuah negeri.
Problem energi di Indonesia bukan terlalu tingginya pemakaian energi dan pemborosan energi di masyarakat, melainkan ketimpangan konsumsi energi. Ketimpangan konsumsi di Jawa dan luar Jawa, perkotaan versus pedesaan, orang kaya (bermobil) versus orang miskin. Kenaikan harga energi akan memperbesar ketimpangan itu. Pemborosan energi di perkotaan akibat kegagalan pemerintah membuat sistem transportasi publik yang bagus, tapi rakyat yang dihukum.
Berdasarkan standar Bank Dunia, kelas menengah dan kaya di Indonesia hanya 15 juta jiwa. Sangat kecil dibandingkan jumlah masyarakat miskin. Adilkah menghukum yang 15 juta dengan menerapkan peraturan merata yang juga akan menghantam 128 juta warga miskin?
Sejumlah teknokrat bilang subsidi (pemakaian anggaran publik untuk warga negara) adalah candu atau narkoba yang bikin rakyat jadi malas. Argumen ini jelas kurang bertanggung jawab. Faktanya, bahkan di negeri-negeri kapitalis hal itu tidak berlaku. Anggaran publik di banyak negara Eropa umumnya tinggi, sementara di Indonesia orang berlomba bikin argumen untuk membenarkan pengurangan anggaran publik dan menyodorkan nasib sebagian besar rakyat pada “mekanisme pasar”.
Ada argumen bahwa pemakaian energi sebaiknya untuk kegiatan produktif, bukan konsumtif. Rumusan yang benar seharusnya meski sama-sama produktif, energi perlu dihemat pada sektor transportasi, dialihkan ke sektor industri dan pabrik. Caranya membatasi kendaraan pribadi dan membangun transportasi publik.
Kenaikan harga bensin sudah terbukti tidak mengurangi kecenderungan
orang membeli mobil dan motor. Instrumen pajak tinggi yang bisa menghambat, seraya serius membenahi sistem transportasi publik. Dari mana uangnya? Dari pajak kendaraan bermotor yang tinggi itu.
Pemerintah berkata anggaran negara tekor akibat terlalu banyak dipakai untuk subsidi BBM. Sebagian besar subsidi BBM dinikmati orang kaya. Ada kerancuan di dalam argumen pemerintah. Mengapa menghukum seluruh warga negara untuk kesalahan 10 juta pemilik mobil pribadi? Bukankah jauh lebih mudah mengurangi kebebasan para pemilik mobil dengan pajak tinggi daripada memotong subsidi BBM yang dinikmati hampir semua lapisan masyarakat?
Pemerintah berdalih, jika harga bensin dan solar dinaikkan maka subsidi akan berkurang. Itu tidak benar. Subsidi per liter memang berkurang, tapi besaran total subsidi terus naik dari sekitar Rp 100 triliun pada 2005 menjadi Rp 300 triliun sekarang. Mengapa? Jumlah mobil/motor terus naik gila-gilaan. Jumlah mobil saja naik dari 4 juta menjadi 11 juta dalam 10 tahun terakhir. Solusi yang benar: batasi populasi mobil lewat pajak yang sangat tinggi.
Bisakah kita sebenarnya hidup dengan BBM tanpa subsidi dan sesuai harga pasar internasional, seperti dicita-citakan kaum teknokrat di tubuh pemerintah?
Bisa, jika pemerintah sebelumnya telah mengeluarkan belanja sosial yang besar untuk kepentingan publik: pendidikan, kesehatan, infrastruktur, air-sanitasi, jalan, pangan, transportasi massal, dan perumahan. Tanpa itu semua, pencabutan subsidi berarti negara bermaksud menonton warganya hidup sengsara.
Selain soal tidak hadirnya negara ketika harga minyak dunia cenderung naik, faktor berikutnya yang tak kalah mengkhawatirkan adalah kondisi nilai tukar rupiah yang terus mengalami depresiasi. Pada Mei 2015, rupiah anjlok ke kisaran Rp 13.129 per dolar Amerika Serikat atau terdepresiasi 6,32 persen. Salah satu faktor melemahnya rupiah karena kondisi dolar Amerika yang sedang membanjiri dunia.
Indonesia sedikit diuntungkan oleh saran IMF kepada The FED agar menunda kebijakan menaikkan tingkat suku bunga acuan. Kenaikan tingkat suku bunga acuan The FED akan membuat dolar semakin kuat, dan di sisi lain semakin memperlemah posisi rupiah.
Tata kelola keuangan yang terlampau liberal, seperti rezim devisa bebas yang dianut Indonesia, membuat rupiah selalu terombang-ambing layaknya roller coaster karena sangat dipengaruhi fluktuasi nilai dolar Amerika.
Rezim devisa bebas mengakibatkan uang yang masuk dan keluar di Indonesia tidak bisa dikendalikan dan ditentukan. Fundamental mata uang Indonesia sangat tergantung permintaan terhadap dolar dan berapa dolar yang keluar. Kondisi devisa bebas yang labil itulah yang menentukan nilai tukar.
Selain faktor ketergantungan pada dolar Amerika, defisit yang terjadi pada neraca transaksi berjalan Indonesia, terutama di neraca pendapatan, menuntut pemberesan oleh pemerintah. Pemerintah perlu memberikan stimulus serius pada sektor riil yang berorientasi padat karya daripada padat modal.
Saat ini industri yang bergantung pada bahan baku impor cenderung terpuruk. Selain itu, banyaknya perusahaan yang berutang dolar berpeluang bangkrut dan tidak bisa membayar, sehingga sektor perbankan rawan ambruk.
Kondisi ini memberikan prediksi bahwa Indonesia akan mengalami krisis jika nilai tukar rupiah sampai menembus Rp 15 ribu per dolar Amerika. Krisis ekonomi 1998 diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah, yang pada Januari telah menembus Rp 10 ribu per dolar Amerika untuk pertama kalinya saat itu.
Sementara itu, pengusaha swasta menanggung utang luar negeri US$ 72,5 miliar yang dua per tiganya jangka pendek dan sebanyak US$ 20 miliar jatuh tempo pada tahun 1998.
Sekitar 70 persen perusahaan yang tercatat di pasar modal bangkrut karena tidak dapat membayar utang. Melemahnya nilai tukar rupiah tidak banyak memberikan keuntungan bagi industri ekspor Indonesia. Sebab, negara tujuan ekspor seperti Tiongkok juga mengalami pelambatan.
Ekonomi Tiongkok tahun lalu hanya tumbuh 7,4 persen, berkurang dari rata-rata pertumbuhan ekonomi selama tiga dekade hingga 2010 sebesar 10 persen. Pada tahun 1998 industri ekspor Indonesia juga tidak bisa menjadi penyelamat karena beban utang, ketergantungan pada komponen impor, dan persaingan ketat di pasar global.
Indonesia seharusnya belajar dari negara lain, seperti Malaysia dan Thailand yang berhasil mengontrol dan menentukan mata uangnya dari ketergantungan pada dolar Amerika. Permintaan mereka terhadap dolar terbatas dan utang luar negerinya relatif kecil.
Sementara utang luar negeri Indonesia, bersamaan dengan ketergantungan impor, cenderung semakin besar. Posisi utang luar negeri pada akhir triwulan pertama 2015 tumbuh 7,6 persen atau US$ 298,1 miliar, terdiri atas utang sektor publik US$ 132,8 miliar (44,5%) dan utang sektor swasta US$ 165,3 miliar (55,5% dari total utang luar negeri).
Berdasarkan jangka waktu, posisi utang luar negeri Indonesia didominasi utang berjangka panjang (85,3% dari total utang). Utang luar negeri berjangka panjang pada triwulan pertama 2015 tumbuh 8,9 persen.
Pada akhir triwulan pertama 2015, posisi utang luar negeri berjangka panjang mencapai US$ 254,4 miliar. Terdiri atas utang sektor publik US$ 129,7 miliar (97,7% dari total utang sektor publik) dan utang sektor swasta US$ 124,7 miliar (75,4% dari total utang swasta). Total utang luar negeri swasta masing-masing 29,5 persen sektor keuangan, 19,9 persen industri pengolahan, 16 persen pertambangan, serta 11,7 persen sektor listrik, gas, dan air bersih.
Hampir dalam semua hal, transaksi Indonesia menggunakan dolar sehingga ketergantungan dan permintaan pada dolar sangat besar. Devisa hasil ekspor Indonesia selama ini tidak bisa dinikmati rakyat karena semua dana investasi dikuasai investor asing.
Menurut pengamat ekonomi Farial Anwar, kekuatan besar pemodal asing kini mulai mendominasi kedaulatan ekonomi Indonesia. Hal itu terlihat dari semakin dalamnya mereka masuk di sektor moneter.
Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Didin S Damanhuri menilai kondisi keuangan Indonesia sangat liberal. Kenyataan itu ditandai kepemilikan asing dalam perbankan nasional di ASEAN.
Selama ini perbankan Indonesia dianggap paling liberal, karena membuka diri pada asing untuk bisa menguasai 99 persen kepemilikan. Saat ini negara ASEAN sudah mempunyai rata-rata 34 persen kepemilikan asing di dalam perbankan Indonesia.
Kepemilikan asing yang dominan akan berbahaya bagi perekonomian bangsa, karena kendali pemerintah atas perekonomian semakin tidak berdaulat. Pembatasan saham asing pada perbankan nasional harus dilakukan demi menjaga stabilitas ekonomi dan menghindari ketergantungan penuh pada asing.
Di banyak negara, termasuk Indonesia, perbankan menjadi urat nadi pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemerintahan Joko Widodo sesungguhnya mempunyai kemampuan berinvestasi dalam perbankan nasional, daripada memberikan ruang dominan bagi kepemilikan asing dalam perbankan nasional.
Pemerintah sesungguhnya dapat mewajibkan eksportir menyimpan devisa hasil ekspor dalam perbankan nasional, sehingga meningkatkan modal perbankan. Pertumbuhan penyaluran kredit yang melambat juga menjadi salah satu indikator lampu kuning. Pertumbuhan kredit pada kuartal pertama 2015 hanya tumbuh 11,3 persen, menurun dari kuartal sebelumnya yang 11,6 persen.
Presiden Joko Widodo harus belajar dari krisis ekonomi tahun 1998 dan 2008 bahwa risiko perbankan harusnya didistribusikan. Bank-bank di Indonesia harus berani memberikan pinjaman pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah. Saat ini, dari aset perbankan sejumlah Rp 6.000 triliun, injeksi pada usaha kecil dan menengah hanya 5 persen.
Sejumlah peneliti ekonomi di INDEF mengatakan, di banding negara lain, ekonomi Indonesia memang rentan terhadap krisis. Sebab, stabilisasi makro Indonesia hanya mengandalkan ekstraksi sumber daya alam berbasis komoditas ekspor barang mentah. Akibatnya, ketika harga batu bara menurun, dan Undang-Undang Minerba diberlakukan, pendapatan Indonesia segera goyah.
Laporan lain INDEF menyimpulkan, penyaluran kredit perbankan Indonesia saat ini semakin melambat. Indeks keyakinan bisnis juga menurun. Stimulus fiskal yang diperlukan tak kunjung dilakukan pemerintah. Pengangguran dan ketimpangan meningkat.
Kondisi perekonomian yang memburuk ini tentu tidak bisa dibebankan seluruhnya pada pemerintahan Jokowi. Sebagian masalah sesungguhnya warisan 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Masalahnya, Presiden Jokowi cenderung melanjutkan dan tidak melakukan koreksi masalah.
Selama delapan bulan pemerintah telah kehilangan kendali sebagai pemegang kuasa yang berhak memerintah dan mengatur jalannya roda perekonomian. Pemerintah Jokowi seperti kehilangan arah dan fungsi di tengah kecamuk politik harian untuk memerintah dan mengatur politik perekonomian terutama memastikan peran negara dalam urusan hajat hidup orang banyak.
Pokok persoalannya, terutama keberanian mengubah cara pandang politik ekonomi. Pembangunan Indonesia terlalu berorientasi pada perburuan kapital dan selera pasar. Sudah saatnya pemerintahan Jokowi memperkuat kapasitas dan peran negara untuk melindungi hajat hidup warganya. Bukan hanya soal kecukupan kapital, melainkan juga kelestarian lingkungan.
Pembangunan Indonesia selama ini lebih banyak memainkan peran menjadi pemasok bahan baku untuk meladeni rezim pasar bebas Asia dan global. Praktiknya, melakukan eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan akumulasi kapital korporasi raksasa dunia.
Dalam teori “Geografi Ekonomi Baru” yang dilansir Paul Krugman, korporasi besar dewasa ini berupaya terus-menerus memantapkan investasi dan memperdalam integrasi ekonomi di Asia dan dunia. Caranya, melakukan aglomerasi: reorganisasi spasial dengan membentuk ulang geografi ekonomi baru untuk memperlancar interaksi aliran kapital, barang, dan tenaga kerja demi kelancaran aktivitas produksi-konsumsi.
Keunggulan komparatif geografi sebuah negara menjadi kata kunci dalam reorganisasi kapital. Korporasi global telah menawarkan mimpi indah kepada Indonesia dan sumber daya alamnya dengan menjulukinya sebagai “Asian Factory”. Indonesia pun disanjung sebagai pusat produksi penting di Asia untuk membungkus dalih utama pengerukan sumber daya alam dan rusaknya lingkungan hidup.
Sejak zaman Soeharto, pembangunan Indonesia dalam banyak hal lebih berorientasi melayani pasar daripada kepentingan nasional dan warganya.
Joseph Stiglitz sudah memperingatkan dunia bahwa pertumbuhan tinggi saja tidak memancarkan kualitas kesejahteraan sebuah negara. Dan ukuran kesejahteraan yang biasa digunakan sering kali bukanlah kesejahteraan itu sendiri.
Pemerataan yang berbasis pembangunan modal sosial disebut Stiglitz sebagai kunci penting pembangunan yang berkelanjutan. Sebuah desain pembangunan yang berorientasi tak hanya pemenuhan akumulasi kapital, tetapi juga kualitas hidup, modal sosial, keragaman hayati dan lingkungan yang lestari, serta solidaritas sosial. Produksi oleh massa bukan hanya produksi massal.
Perubahan Cara Pandang Mengelola Energi
Listrik byar-pet. Impor dan subsidi minyak membengkak. Program konversi gas tertunda. Kemiskinan energi. Apa yang harus dilakukan Presiden Joko Widodo?
Dalam 10 tahun pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dan setahun Pemerintahan Joko Widodo, keduanya sering mengeluh tentang tingginya subsidi energi, baik bahan bakar maupun listrik. Terlalu sering mengeluh, sehingga muncul citra umum bahwa rakyat Indonesia boros energi dan karenanya harus berhemat menggunakan energi.
Citra itu keliru. Dibandingkan dengan negara-negara lain, rakyat Indonesia sebenarnya menderita “kemiskinan energi”.
Konsumsi listrik dan energi per kapita Indonesia termasuk yang paling rendah di Asia. Penggunaan listrik per kapita kita kurang dari sepersepuluh konsumsi listrik rata-rata orang Singapura. Konsumsi energi per kapita Indonesia kurang dari sepertiga konsumsi energi rata-rata orang Malaysia.
Pemakaian listrik dan konsumsi energi menentukan tingkat kemakmuran bangsa. Pada kenyataannya, semua aktivitas ekonomi dan sosial membutuhkan energi. Makin besar konsumsi energi makin makmur sebuah negeri.
“Kemiskinan energi” Indonesia mencerminkan kemiskinan ekonomi rata-rata rakyatnya.
Menurut Survei Badan Energi Internasional 2011, Indonesia ada pada peringkat 33 dalam Indeks Pembangunan Energi. Indeks ini merupakan salah satu tolok ukur kemiskinan energi (energy poverty). Indonesia ada di bawah peringkat Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam.
Dalam hal kelistrikan, Indonesia punya skor 0,60. Artinya sekitar 40 persen penduduk Indonesia belum memperoleh aliran listrik. Tingkat elektrivikasi Indonesia bahkan di bawah Sri Lanka.
Mengupayakan kemakmuran rakyat Indonesia mensyaratkan peningkatan ketersediaan energi, yang terjangkau baik dalam distribusi maupun harga. Namun, upaya meningkatkan konsumsi energi terbentur oleh harga yang terus naik, sebagian akibat pencabutan subsidi, serta distribusi yang tidak merata.
Bahkan jika bisa membeli dengan harga mahal, banyak penduduk daerah di luar Jawa mengeluh kurangnya pasokan energi, termasuk di provinsi yang kaya energi seperti Kalimantan Timur. Harga bensin dan solar per liter di luar Jawa bisa dua kali lipat lebih harga di Jawa, akibat buruknya transportasi.
Indonesia bukan negeri yang amat kaya cadangan energi. Cadangan batu bara, gas, dan minyak Indonesia rata-rata kurang dari 1 persen cadangan dunia.
Namun, sumber energi kita cukup beragam. Dalam beberapa jenis, seperti sumber energi panas bumi, Indonesia bahkan punya cukup melimpah.
Itu sebabnya, menurut Dewan Energi Dunia, Indonesia memiliki peringkat keamanan pasokan energi cukup bagus. Pada 2013 peringkat ketahanan energi Indonesia 17, lebih tinggi dari negeri ASEAN mana pun. Namun, ironisnya, peringkat keberlanjutan pasokan energi (sustainability index) Indonesia lebih rendah dari Malaysia, Singapura, dan Filipina.
Indeks Keberlanjutan Energi mengukur kemampuan sebuah negara dalam menyelenggarakan kebijakan energi berkelanjutan kepada rakyat melalui tiga faktor: keamanan pasokan energi, pemerataan energi dan tingkat efisiensi energi, serta upaya menyediakan energi yang ramah lingkungan.
Problem Indonesia bukan pada pasokan energi, tapi pada strategi energi yang salah arah Meski kita hanya memiliki sedikit cadangan energi fosil, sebagian besar gas dan batu bara yang kita produksi justru diekspor, sehingga kebutuhan domestik kurang terlayani.
Produksi gas dan batu bara kita meningkat tajam dalam satu dasawarsa terakhir. Namun, lebih dari separo gas dan tiga perempat batu bara langsung kita ekspor.
Indonesia adalah eksportir batu bara terbesar di dunia, serta eksportir gas terbesar keempat setalah Qatar, Malaysia, dan Australia.
Indonesia mengekspor hampir seluruh minyak mentah yang diproduksi, sebaliknya mengimpor produk olahan minyak dalam jumlah yang makin banyak karena hampir tidak memiliki kilang minyak sendiri. Indonesia menjual minyak dengan harga murah, dan membeli minyak dengan harga mahal. Makin tekor.
Ketergantungan Indonesia pada minyak kian membesar. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sekitar 95 persen kebutuhan energi nasional dipasok oleh energi fosil, terutama minyak. Yakni 54,4 persen minyak bumi, 26,5 persen gas alam, 14,1 persen batu bara, dan sisanya energi terbarukan.
Harga energi fosil dunia terus naik dari tahun ke tahun. Dan dengan kebutuhan yang kian besar, pemerintah harus mengeluarkan devisa serta subsidi cukup banyak.
Ironisnya, sebagian besar minyak yang sudah kita beli dengan harga mahal, dipakai cukup banyak untuk sektor transportasi ketimbang sektor produktif seperti industri. Pertumbuhan kendaraan pribadi yang sangat pesat, akibat buruknya sistem transportasi publik, membuat konsumsi bensin dan solar terus meningkat.
Selama ini, pemerintahan yang lalu, Yudhoyono mengambil fakta itu sebagai dalih untuk mencabut subsidi bahan bakar, atau menaikkan harga energi. Itu menguntungkan keuangan pemerintah, tapi tidak membantu masyarakat.
Energi adalah komoditas strategis dan tidak bersifat elastis terhadap harga. Kebutuhan akan energi tetap akan meningkat meski harganya makin mahal. Yang dirugikan adalah kelompok ekonomi menengah ke bawah. Mereka yang sudah miskin energi, makin miskin ketika harga energi, dan harga barang jasa yang terkait, terus meningkat. Kesenjangan dan kemiskinan energi makin menjadi-jadi.
Tanpa adanya sistem transportasi publik yang baik, konsumsi minyak impor akan terus naik bersama pertumbuhan pesat jumlah kendaraan pribadi. Lebih dari itu, konsumsi minyak juga naik karena tiadanya alternatif. Pada era pemerintahan Yudhoyono, program konversi energi dari minyak ke gas untuk transportasi jalan di tempat. Hampir nol besar keberhasilannya.
Pemerintahan Yudhoyono memiliki program bagus konversi energi, juga program bagus pengembangan energi terbarukan seperti geotermal, hidro, dan biodiesel. Namun, hanya di atas kertas. Implementasinya tersendat dan kurang serius.
Konversi ke gas menuntut perubahan aturan energi, antara lain memperkecil ekspor, dan lebih banyak dipakai untuk kebutuhan domestik. Juga menuntut pemerintah membangun jaringan distribusi, seperti pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas untuk transportasi dan jaringan pipa gas ke rumah-rumah.
Pengembangan energi terbarukan seperti geotermal tersendat akibat ruwetnya koordinasi antarkementerian, mahalnya investasi awal, dan kurangnya sumber daya manusia terampil di bidang ini.
Belum ada langkah maju berarti dalam pengembangan energi ini dan masih masih harus ditunggu implementasinya; bukan sekadar program bagus di atas kertas.
UU Migas dinilai terlalu liberal dan memberikan peran terlalu besar pada sektor swasta. Perubahan reorientasi energi menuntut ketersediaan dana publik yang besar dan kendali lebih kuat di tangan negara. Pendulum harus digeser dari orientasi pasar ke orientasi publik (negara). Terutama berkaitan dengan aksesibilitas dan keterjangkauan harga energi secara merata bagi rakyat.
Kebijakan energi tak terpisahkan dari aspek lain. Satu contoh: pengurangan konsumsi minyak hanya bisa dilakukan lewat perbaikan sistem transportasi publik massal. Ini akan terkait dengan kebijakan infrastruktur transportasi serta industri otomotif.
Mengurangi konsumsi impor minyak berarti, misalnya, mendahulukan pembangunan jaringan kereta api ketimbang jalan tol. Atau lebih memprioritaskan pembangunan pelabuhan ketimbang membangun Jembatan Selat Sunda yang hanya mendorong penggunaan mobil pribadi.
Tanpa presiden yang punya visi kuat dan kewibawaan kuat dalam koordinasi, mustahil mengatasi problem krisis energi yang salah satunya disebabkan oleh benturan kepentingan antarkementerian dan lembaga negara.
(Dikutip dari Buku “70 Tahun Indonesia Merdeka“ Tim Penulis Ahlulbait Indonesia, 2015).