70 Tahun Indonesia Merdeka
Mengusir Revolusi Hijau
Ketahanan pangan bukan hanya soal pertanian, melainkan pula politik. Tak heran saat Konferensi Tingkat Menteri Ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia di Bali, akhir 2013, India dan sejumlah negara lain berang soal subsidi pertanian.
“Cadangan pangan tidak bisa dinegosiasikan dalam forum WTO di Bali, karena menyangkut kepentingan negara memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Ini berlaku untuk banyak negara lain, bukan hanya India,” kata Anand Sharma, Menteri Perdagangan dan Perindustrian India.
India memprotes keras usaha Amerika Serikat dan beberapa negara maju yang mencoba membatasi subsidi petani bagi negara berkembang dan mengatur batasan waktu dalam memberikan subsidi. Subsidi cadangan pangan, menurut India, harus diberikan negara, supaya masyarakat miskin mendapatkan jaminan atas pangan.
Negara maju keberatan atas usulan peningkatan persentase cadangan pangan dan durasi pemberian subsidi yang tak terbatas itu, karena takut cadangan pangan merembes ke pasar dunia sehingga mendistorsi harga. Namun, dunia tahu, di saat yang sama, subsidi negara maju pada petani mereka sangat besar. Standar ganda ini yang membuat India mencak-mencak.
Sejak revolusi hijau yang penuh dengan mimpi-mimpi kosong itu, sektor pangan Indonesia terus merosot. Yunita Winarto, antropolog Universitas Indonesia yang meneliti gerakan petani di Indonesia, mengatakan, paham revolusi hijau yang sebenarnya sudah gagal masih melekat dalam pelbagai program pangan pemerintah hingga kini.
Pemerintah masih terobsesi menggenjot produksi dan ketersediaan pangan dari mana pun datangnya. Bersama perusahaan seperti Monsanto, Kellog, Cargill, dan Heinz, pemerintah terus mendikte petani dengan benih, pupuk, pestisida, dan teknologi yang sebenarnya membunuh keanekaragaman benih dan kedaulatan petani atas pangan. Petani hidup tergantung dari luar dirinya, mulai hulu hingga hilir pertanian.
Karena itu, meski swasembada dan ketersediaan pangan pemerintah tercapai, petani tetap hidup miskin; tergantung pada benih, pupuk,
dan teknologi milik asing. Kemiskinan itu juga berkonsekuensi hilangnya akses lahan dan kerusakan lingkungan.
Populasi global saat ini mencapai 7,2 miliar jiwa. Akan mencapai 9,6 miliar pada 2050. Peningkatan tersebut didominasi masyarakat kawasan Asia-Pasifik.
Peningkatan jumlah penduduk akan menguras sumber daya alam lebih banyak seperti pangan, energi, dan air. Kebutuhan pangan dunia terus meningkat, tetapi di sisi lain ketersediaan lahan pertanian terus menyempit akibat alih fungsi lahan untuk pembangunan sektor lain, seperti permukiman, industri, dan infrastuktur.
Indeks ketahanan pangan Indonesia terus turun dan kini di urutan 64, jauh di bawah Malaysia (33), Tiongkok (38), Thailand (45), Vietnam (55), dan Filipina (63).
Ada ketidaksesuaian kinerja sektor pertanian dan pangan antara Kementerian Pertanian, Perdagangan, dan Perindustrian yang tampak dari postur anggaran. Anggaran boleh terus bertambah, tapi impor pangan dan ketahanan pangan justru mengarah pada krisis pangan, bahkan bencana pangan.
Total anggaran yang disediakan untuk sektor pertanian pada 2004 Rp 10,1 triliun. Meningkat Rp 49,8 triliun pada 2009 dan Rp 71,9 triliun pada 2013 atau meningkat 611 persen.
Namun, mari perhatikan kualitas ketahanan pangan Indonesia. Rata-rata impor beras tahun 2010-2013 dibanding tahun 2004 meningkat 482,6 persen. Daging sapi 349,6 persen, cabe 141 persen, gula 114,6
persen, bawang merah 99,8 persen, jagung 89 persen, kedelai 56,8 persen, dan gandum 45,2 persen. Sedangkan pertumbuhan penduduk selama periode tersebut 12,0 persen.
Hanya 0,2 persen penduduk Indonesia yang menguasai 56 persen aset nasional berupa tanah. Di Pulau Jawa, 49,5 persen petani tidak berlahan dan di luar Jawa 18,7 persen.
Dwi Andreas Santosa, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia dan Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, mengatakan, dari 28,55 juta penduduk miskin Indonesia, 62,8 persen adalah petani. Dalam 10 tahun terakhir rata-rata 500.000 keluarga tani harus keluar dari lahannya dan menjadi penyusun masyarakat miskin kota.
Lahan pertanian pangan yang menjadi gantungan hidup 91,91 juta jiwa selama 24 tahun ini hanya bertambah dari 7,77 juta hektare menjadi 8 juta hektare atau 2,96 persen. Sebaliknya, lahan perkebunan yang dimiliki sedikit orang meningkat dari 8,77 juta hektare menjadi 21,41 juta hektare atau 144 persen.
Profesi petani menjadi profesi kutukan. Identik dengan kemiskinan dan penderitaan yang sebagian besar masalahnya bersifat struktural: berada di luar diri petani.
Apa yang harus dilakukan? Gerakan tani yang membela nasibnya sendiri mulai tumbuh. Tapi Indonesia juga perlu belajar dari gerakan sosial petani di India seperti organisasi Navdanya dan Deccan Development Society yang berusia lebih dari 3 dekade.
Keduanya gerakan yang mengakar sangat kuat pada petani akar rumput India, yang diperjuangkan oleh orang India asli, seperti salah satu tokohnya Vandana Shiva.
Mereka memperjuangkan kemandirian atas benih, sumber daya alam, produksi pangan, pasar, hingga media. Ketika korporasi dan pemerintah menawarkan ketergantungan benih dan pasar, mereka dengan lantang menolak apa yang mereka sebut monokulturalisasi dan Macdonald-isasi sistem hidup di India.
Kedua gerakan itu memilih mengembangkan benih yang selama turun-temurun hidup di India. Membangun sendiri teknologi yang ramah lingkungan dan mendistribusikan langsung hasil pangan, termasuk memasarkannya. Pengorganisasian adalah kata kuncinya.
Masalah petani hanya dapat lebih mudah diselesaikan jika petani mengorganisasikan diri. Kunci utama gerakan sosial itu terletak pada pemuliaan kembali benih rakyat. Benih menghidupkan kembali keanekaragaman hayati.
Lestarinya makanan lokal menyumbang sangat besar ketahanan dan kedaulatan pangan. Revolusi hijau dan kapitalisasi komoditas monokultur adalah lawan dari perjuangan mereka.
Navdanya dan Deccan mengelola ratusan ribu benih di India dan membantu gerakan petani di pelbagai negara lain. Memadukan pendidikan politik, kesadaran kelas, lingkungan, tanah, air, hingga gender. Perempuan dan anak, yang sering menjadi korban utama dari pembangunan, menjadi pusat gravitasi gerakan sosial mereka.
Navdanya dan Deccan adalah gerakan protes terhadap revolusi hijau. Bagi mereka kapitalisme tak peduli pada kebutuhan pangan manusia. Manusia harus bersaing dengan biofuel dan makanan hewan hanya karena kapitalisme merasa 90 persen jagung dunia lebih laku jika tidak dimakan manusia.
Bagi India, Indonesia, dan negara lain, revolusi keanekaragaman benih adalah kehidupan. 60 persen keberhasilan atau kegagalan usaha tani ditentukan oleh benih.
Saat ini di Indonesia benih tidak lagi di tangan petani kecil dan penduduk lokal. Secara global 67 persen pasar benih dikuasai 10 perusahaan multinasional, sedangkan 99,9 persen benih transgenik dikuasai 6 perusahaan multinasional.
Di Indonesia, 78 persen pasar benih dikuasai perusahaan asing dan 2 perusahaan asing berhasil menguasai 67 persen pasar benih di Indonesia.
Petani kecil Indonesia sejak tahun 1960-an mengembangkan 1,9 juta varietas tanaman, sedangkan industri benih swasta hanya 72.500 varietas tanaman.
Pemuliaan tanaman di lembaga-lembaga riset publik bahkan hanya menghasilkan sekitar 8.000 varietas baru. Indonesia sangat kekurangan ahli pemulia tanaman yang hanya sekitar 100 orang.
Pemuliaan tanaman melalui persilangan sangat membutuhkan input sains dari universitas atau lembaga riset yang ternyata perannya sangat lemah kepada petani. Para petani perlu mengorganisasi diri mereka sendiri.
Kita perlu memuji varietas padi IF8 (IF= Indonesian Farmer) yang cukup berhasil dikembangkan petani kecil Karanganyar, Jawa Tengah, anggota Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia. Mereka menolak benih, pupuk, dan pestisida dari pemerintah, dan memilih mengembangkan sendiri pertanian mereka.
Gerakan itu menghasilkan tingkat produksi 13,76 ton gabah kering per hektare pada April 2014. Sedangkan varietas-varietas unggul dari pemerintah ataupun perusahaan yang ditanam berdampingan menghasilkan tingkat produksi 5–7 ton per hektare.
Kedaulatan pangan hanya bisa diwujudkan jika Indonesia melaksanakan reformasi agraria melalui redistribusi dan akses lahan untuk petani kecil dan petani tuna-tanah. Meningkatkan hak dan kedaulatan petani atas benih, input pertanian, penanganan setelah panen dan pengolahan produk pertanian.
Bagi petani, benih tidak hanya penting dalam konteks ekonomi, tapi juga pertahanan budaya. Mempertahankan kelestarian makanan lokal, berarti menghidupkan terus budaya sebagai upaya mengusir ganti Macdonald-isasi dan mi-instanisasi.
Benih, Pangan, dan Gerakan Sosial
Vandana Shiva, salah satu juru bicara antiglobalisasi dalam Forum Sosial Dunia. Sebagai aktivis lingkungan dan petani, ia membangun gerakan sosial mengorganisasi benih dan keanekaragaman hayati di India dan di dunia bersama petani melalui organisasi bernama Navdanya. Hertasning Ichlas menemui dan mewawancarai Vandana Shiva saat berkunjung ke Indonesia, Agustus 2014 lalu.
Bagaimana dunia dan negara super-power seperti Amerika Serikat merespons gerakan sosial yang Anda lakukan?
Kita melihat banyak negara menjadi semakin kuat dan demokratis. Tapi secara umum dunia menyaksikan apa yang disebut kemerosotan negara super-power yang suka mem-bully bumi seperti Amerika Serikat. Negara itu menghabiskan banyak waktu untuk dua hal salah: menciptakan perang dan mengalihdayakan seluruh produksinya di sektor pangan. Amerika nyaris tidak memproduksi apa pun. Mereka tidak punya ekonomi. Mereka menggerakkan tenaga kerja di seluruh dunia untuk mempercayai hamburgers dan Macdonald sebagai industri manufaktur.
Indonesia dan India mengalami tantangan yang sama karena beroperasinya logika dominan kapitalisme dalam urusan sumber daya alam. Bagaimana resep Anda untuk memperkuat gerakan sosial di Indonesia?
Saya tidak pernah memberikan resep, namun pasti membagi pengalaman di India dan solidaritas kepada gerakan sosial di Indonesia. Saya pikir sudah saatnya bagi semua gerakan sosial dan negara untuk menghentikan praktik akumulasi primitif: mencari keuntungan dari pencurian sumber daya alam.
Apa yang Anda lihat dari praktik itu?
Pada dasarnya itu operasi kapital yang tidak mengenal hukum produksi dan manufaktur yang adil kepada warga yang hidup. Yang ada hanya penjarahan dengan ongkos sosial dan ekologi yang sangat berat. Kami menyaksikannya di India. Jutaan sumber daya alam telah dirampas dari tempat yang sebenarnya merupakan basis vital kehidupan petani dan penduduk lokal.
Apa yang harus dilakukan untuk melindungi kehidupan petani dan masyarakat lokal?
Setiap sistem hidup harus diregulasi agar terjadi keberlanjutan hidup yang masuk akal. Perlu ada sistem yang demokratis untuk mengendalikan apa yang sebenarnya dapat dijual atau tidak. Apa yang seharusnya menjadi hak masyarakat lokal dan yang disebut komoditas. Sistem yang buruk cenderung akan menjual apa saja dan mengabaikan keberlanjutan hidup manusia dan alam. Produksi Domestik Bruto (GDP) sama sekali tidak menghitung itu semua.
Apa pesan utama dari perjuangan Anda mengelola komunitas bank benih?
Bahwa benih, tanah, air, dan sumber daya alam harus tetap milik warga dan komunitas, bukan milik negara jika kemudian hanya diserahkan kepada korporasi. Negara dan pasar terus menyebarkan ilusi kelangkaan pangan, untuk membenarkan praktik pertanian monokultur berskala industri yang menghilangkan keanekaragaman pangan dan benih lokal.
Apa hubungan keanekaragaman benih dengan isu kedaulatan pangan?
Semakin banyak kita memakan makanan lokal yang beraneka ragam, semakin banyak pula kita telah melindunginya. Ini soal ketahanan pangan sekaligus ketahanan budaya. Apalagi jika makanan lokal itu saling terhubung berdasarkan kedekatan jarak geografis. Itulah yang saya lakukan di India. Hilangnya makanan lokal dan merebaknya makanan instan adalah tanda rapuhnya ketahanan pangan. Masyarakat harus diberi hak mengembangkan makanan lokal mereka dan itulah kedaulatan pangan.
Apa tugas negara untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan?
Negara harus melakukan tugasnya membela hak petani atas benih, pangan, tanah, dan hutan yang sudah ada sejak jutaan tahun lalu dan harus tetap ada untuk jutaan tahun berikutnya. Solusi terbaik bagi Indonesia adalah meniru jalan Ekuador.
Apa yang menarik dari jalan Ekuador?
Ekuador memasukkan hak alam ke dalam konstitusi mereka. Bahwa alam bukan sekadar komoditas, melainkan punya hak untuk ada, bertahan, dan melakukan regenerasi vitalnya bagi lingkungan. Ekuador mengatakan kepada dunia internasional mereka akan mempertahankan minyak di dalam tanah mereka di Amazon. Keanekaragaman hayati harus hidup selamanya dan memberikan manfaat bagi dunia. Inilah waktunya negara-negara Amazon dan Indonesia berkata kepada mereka bahwa kalian menciptakan ekonomi yang berantakan. Jangan paksa kami merusak hutan kami. Biarkan kami menjaga hutan kami, dan itu adalah ekonomi.
Anda terus mengatakan soal revolusi benih. Dalam konteks Indonesia, bagaimana merevolusi benih jika banyak petani kehilangan akses lahan?
Itulah masalahnya. Kita tak bisa memisahkan benih dari lahan. Jalan yang harus kita lakukan adalah mendefinisikan tanah berdasarkan mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa: melindungi tanah, membela hak masyarakat untuk mempertahankan lahan dan benih mereka.
Pertanian Rakyat Bukan Pertanian Korporasi
Di tengah kencangnya protes dunia terhadap Monsanto dan Cargill, pemerintahan Presiden Jokowi justru menggelar karpet merah. Masa depan pangan dibicarakan begitu serius di pelbagai belahan dunia, terutama satu dasawarsa belakangan ini. Dalam pembicaraan itu, perusahaan raksasa di sektor pertanian dan pangan seperti Monsanto dan Cargill lebih sering menjadi pihak tergugat.
Sebuah buku sekaligus film dokumenter The World According to Monsanto menceritakan begitu banyak praktik gelap perusahaan itu.
Marie Monique Robin awalnya menginvestigasi praktik bisnis Monsanto di seluruh dunia, termasuk Indonesia, selama 3 tahun. Dia lalu memutuskan menyusun buku sekaligus menyutradarai film tersebut pada 2008.
Film itu menuturkan pelbagai praktik bisnis Monsanto yang membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan. Salah satu yang paling ditentang dan begitu kontroversial adalah produksi benih genetik Monsanto, dikenal Genetically Modified Seeds atau GMO.
Seterusnya gerakan penolakan global terhadap produk Monsanto semakin keras. Ini terjadi di Eropa, India, Amerika Latin, bahkan Amerika Serikat, tempat asal Monsanto. Pada Mei 2014 di 6 benua, 52 negara, dan lebih dari 400 kota, termasuk 47 negara bagian di Amerika, melakukan demonstrasi serentak menolak praktik bisnis pangan Monsanto.
Benih genetik, pestisida, agro-kimia, dan keseluruhan budaya agrokultural perusahaan Monsanto di seluruh dunia dianggap membahayakan kesehatan, kesuburan, dan masa depan harapan hidup sebuah generasi. Para korban sakit, cacat fisik dan lumpuh akibat praktik bisnis Monsanto dihadirkan dalam demonstrasi dan turut berorasi. Monsanto menjadi perusahaan yang paling dibenci di negerinya sendiri, Amerika.
Kita di Indonesia tidak tahu persis, apakah Presiden Jokowi dan pembantunya menonton film tersebut. Yang kita tahu pasti di dalam visi misi calon presiden saat debat kelima di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jokowi mengatakan akan mengeluarkan kebijakan proteksi pertanian pangan, mempercepat pelaksanaan kedaulatan pangan, daya saing pertanian, peningkatan produktivitas dan kualitas hasil pertanian.
Keputusan menggandeng Monsanto untuk meraih kedaulatan pangan dan revitalisasi pertanian layak membuat kita bertanya, apakah Presiden memahami apa yang disampaikannya sebagai visi dan misi?
Cargill, sekondan bisnis Monsanto asal Amerika Serikat, setali tiga uang. Perusahaan raksasa yang terutama menguasai bisnis kelapa sawit, kedelai, dan jagung di dunia dan Indonesia ini mengalami perlawanan global. Terutama di Amerika Serikat, Brasil, Afrika, Paraguay, Mali, dan Uzbekistan. Masalah yang membelitnya antara lain isu emisi racun, buruh, perdagangan manusia, pekerja di bawah umur, dan kontaminasi bakteri E. coli.
Lembaga RainForest Action Network pernah menginvestigasi praktik bisnis Cargill selama dua tahun, terutama ekspansi cepat Cargill di perkebunan kelapa sawit dan kedelai yang tersebar di Afrika, Amerika Latin,
Indonesia, dan Papua New Guinea. Laporan lembaga itu menyebutkan pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan yang dilakukan Cargill di pelbagai negara.
Di Papua New Guinea, Cargill membuat perjanjian dengan pemerintah untuk membeli lahan pertanian. Awalnya 97 persen lahan di negeri itu dimiliki warga asli. Namun, melalui tangan negara, perusakan hutan skala besar terjadi di sebagian besar negeri itu. Cargill berada di belakang perusakan hutan dan hilangnya tanah masyarakat demi pemenuhan lahan untuk perkebunan kelapa sawit.
Laporan RainForest Network juga menyebutkan Cargill menggunakan agrotoxic yang beracun seperti paraquat. Warga Papua New Guinea memberikan kesaksian di laporan itu begitu banyak sungai telah tercemar dan warga tak lagi bisa menggunakan air.
Investigasi lain soal praktik bisnis kedelai Cargill di Brasil juga mengkhawatirkan. Beberapa tahun lalu Cargill membangun pelabuhan di kota Santarem, persis di tepi Sungai Amazon. Cargill membangun pelabuhan itu secara ilegal tanpa izin dan analisis mengenai dampak lingkungan.
Persekutuan dengan Pemerintah Brasil meloloskan sejumlah praktik bisnis Cargill yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Pemerintah Brasil cenderung bersikap lunak terhadap aksi korporasi Cargill, sehingga warga akhirnya melakukan gugatan hukum di Mahkamah Agung.
Studi berikutnya tentang praktik bisnis Cargill di Brasil menunjukkan naiknya perusakan hutan sejak pembangunan pelabuhan yang bertujuan melayani industri pertanian kedelai milik Cargill.
Di Paraguay, Cargill menguasai 40 persen total produksi kedelai negeri itu. Namun capaian itu terjadi dengan mengorbankan sungai yang rusak, kondisi air yang tercemar dan 1 juta orang di daerah Asuncion mengalami polusi berat akibat limbah pelabuhan dan lalu lintas kendaraan berat milik Cargill yang masuk-keluar pelabuhan.
Industri kelapa sawit dan kacang kedelai Cargill secara umum telah menginvasi hutan tropis di pelbagai dunia dan membinasakan ekosistem yang hidup di sana. Kerusakan lingkungan terjadi begitu cepat dan apa yang disebut investasi hampir menjadi semacam kutukan. Pembangunan lebih mirip seperti penjarahan dan pemerintah mereduksi dirinya hanya menjadi centeng dari proses akumulasi kapital yang primitif.
Gerakan sosial di pelbagai dunia kini berusaha keras mengoreksi praktik kapital perusahaan multinasional di sektor pangan dan perta¬nian seperti Monsanto dan Cargill. Sejumlah negara di Eropa, Amerika Latin dan India telah bersikap kritis dan hati-hati mengundang peru¬sahaan multinasional ke negerinya atas nama investasi pertanian dan tujuan mulia yang lebih sering hanya manis untuk disebutkan.
Isu lingkungan, perebutan air dan tanah menjadi momok dari praktik industri pertanian raksasa. Keadaan itu sepatutnya menjadi pelajaran penting bagi para pemimpin negara, bagaimana negara seharusnya memperlakukan korporasi dalam rangka melindungi kepentingan warganya.
Di hadapan perusahaan seperti Monsanto dan Cargill, negara-negara berkembang cenderung hanya menjadi penonton, bahkan lebih buruk menjadi centeng korporasi dengan cara mengorbankan kepentingan alam dan warganya.
Pertanian Rakyat Bukan Korporasi
Kritikus globalisasi sekaligus aktivis pertanian seperti Vandana Shiva meresonansi kegelisahan ini dengan menawarkan jalan baru: memperkuat ekonomi lokal, memberdayakan komunitas, mempromosikan keragaman pangan dan hayati.
Semuanya bermula dengan mengubah cara pandang kita tentang pembangunan: lebih berbasis kebutuhan lokal, berjaringan dan bermitra, tidak terobsesi pertanian skala raksasa yang pada akhirnya tidak lestari. Mengembangkan family farming bukan corporate farming.
Saat ini negara dan pasar terus menyebarkan ilusi kelangkaan pangan, untuk membenarkan praktik pertanian monokultur berskala industri yang menghilangkan keanekaragaman pangan dan benih lokal. Jelas sekali ini menunjukkan ketahanan pangan bukan hanya soal pertanian, melainkan juga politik.
Ketika korporasi dan pemerintah menawarkan ketergantungan benih, perlu terus-menerus ada koreksi dan suara lantang menolak yang World Social Forum sebut sebagai gejala monokulturalisasi dan Macdonald-isasi sistem hidup.
Benih, tanah, air, dan sumber daya alam semakin disadari telah dimonopoli segelintir perusahaan. Padahal, air, benih, tanah, dan sumber daya alam seharusnya milik warga dan komunitas, bukan milik negara jika kemudian hanya diserahkan pada korporasi.
Di Indonesia benih tidak lagi di tangan petani kecil dan penduduk lokal. Saat ini secara global 67 persen pasar benih dikuasai 10 perusahaan multinasional, sedangkan 99 persen benih transgenik dikuasai 6 perusahaan multinasional, termasuk Monsanto dan Cargill.
Khusus di Indonesia, 78 persen pasar benih dikuasai perusahaan asing dan 2 perusahaan asing berhasil menguasai 67 persen pasar benih. Kondisi ini mempengaruhi kesejahteraan petani. Dwi Andreas Santosa, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia dan Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, mengatakan, dari 28,55 juta penduduk miskin Indonesia, 62,8 persen adalah petani.
Sejak Januari 2014 hingga Januari 2015 lahan tanaman padi yang mengalami kekeringan mencapai 132.975 hektare. Jumlah itu melonjak dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 37.461 hektare.
Lahan pertanian pangan yang menjadi gantungan hidup 91,91 juta jiwa selama 24 tahun ini hanya bertambah dari 7,77 juta hektare menjadi 8 juta hektare atau naik 2,96 persen. Sebaliknya, lahan perkebunan yang dimiliki sedikit orang meningkat dari 8,77 juta hektare menjadi 21,41 juta hektare atau naik 144 persen.
Selain itu, luas area tanam sayuran Indonesia hanya 40 meter persegi per kapita. Angka ini jauh tertinggal dari Tiongkok yang seluas 200 meter persegi per kapita dan Thailand yang 100 meter persegi per kapita. Kepemilikan petani atas lahan garapan juga masih rendah. Petani Indonesia rata-rata hanya memiliki 0,2 – 0,3 hektare per petani.
Selama 20 tahun terakhir, lahan kebun sawit naik menjadi 41 persen per tahun. Sedangkan lahan perkebunan petani cuma naik 1,7 persen per tahun. Indeks ketahanan pangan Indonesia terus turun dan kini di urutan 64, jauh di bawah Malaysia (33), Tiongkok (38), Thailand (45), Vietnam (55), dan Filipina (63).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi peningkatan jumlah petani gurem di Indonesia sebesar 5,17 juta orang selama 2003 – 2013
akibat pengam¬bilalihan lahan oleh korporasi. Hanya 0,2 persen penduduk Indonesia yang ternyata menguasai 56 persen aset nasional berupa tanah. Di Pulau Jawa 49,5 persen petani tidak berlahan dan di luar Jawa 18,7 persen.
Para petani sudah lama tertinggal dalam laju pembangunan di negeri ini. Usia petani kian menua, 8,26 juta berusia 54 tahun ke atas dan usia 45 – 54 tahun berjumlah 6,5 juta orang. Jumlah petani muda kian mengecil. Berbeda dari negeri lain, profesi petani makin dijauhi di Indonesia karena identik dengan kemiskinan. Padahal, sebagian besar masalahnya bersifat struktural: berada di luar diri petani.
Masalah lahan pertanian di Indonesia antara lain alih fungsi lahan seluas 50.000 hektare per tahun untuk kepentingan di luar pertanian. Bahkan, total lahan yang dikuasai petani menyusut dari 10,5 persen menjadi 4,95 persen. Jumlah petani tanaman pangan dengan luas lahan garapan di bawah 0,5 hektare pun meningkat dari 44,51 persen menjadi 56,41 persen.
Sementara itu total anggaran yang disediakan untuk sektor pertanian pada 2004 senilai Rp 10,1 triliun. Bertambah sekitar Rp 49,8 triliun pada 2009 dan Rp 71,9 triliun pada 2013 atau meningkat 611 persen.
Namun, mari perhatikan kualitas ketahanan pangan Indonesia. Rata-rata impor beras tahun 2010-2013 dibanding tahun 2004 meningkat 482,6 persen. Daging sapi 349,6 persen, cabai 141 persen, gula 114,6 persen, bawang merah 99,8 persen, jagung 89 persen, kedelai 56,8 persen, dan gandum 45,2 persen. Sedangkan pertumbuhan penduduk selama periode tersebut 12,0 persen.
Jelas sekali negara harus melakukan tugasnya membela hak petani
atas benih, pangan, tanah, dan hutan yang sudah ada sejak jutaan tahun lalu dan harus tetap ada untuk jutaan tahun berikutnya.
Kedaulatan pangan bukan dicirikan oleh produksi massal dan keseragaman semata untuk melayani bisnis perusahaan raksasa, melainkan ketika keragaman pangan dan keragaman budaya lokal dipertahankan oleh negara.
Era revolusi hijau yang penuh dengan mimpi-mimpi kosong semestinya sudah berakhir bersama rapuhnya nasib petani. Revolusi hijau yang ditopang korporasi memang pernah mencetak swasembada pangan. Namun, seperti kita ketahui, meski swasembada beras terjadi, petani pada umumnya tetap miskin. Sektor pangan Indonesia tetap rapuh dan sampai saat ini pun terus merosot.
Apakah pemerintahan Jokowi sebenarnya belajar dari apa yang telah terjadi?
(Dikutip dari Buku “70 Tahun Indonesia Merdeka“ Tim Penulis Ahlulbait Indonesia, 2015).