Ikuti Kami Di Medsos

70 Tahun Indonesia Merdeka

Mengejar Mimpi Poros Maritim Dunia

Kini Indonesia sadar, di laut kita belum berjaya.

Di Pelabuhan Sunda Kelapa yang bersejarah sebagai tempat perdagangan antarpulau sejak ratusan tahun silam. Di kapal pinisi Hati Buana Setia yang berhias aneka lampu warna-warni, pada 22 Juli 2014 Jokowi dan Jusuf Kalla muncul dari balik gelap malam, kemudian naik ke buritan kapal.

Di kapal itu keduanya bukan hanya sedang menyampaikan pidato kemenangan kepada dunia, melainkan pula mencetuskan kesadaran negara maritim. Sejak itu simbol maritim menempel lekat pada setiap kegiatan seremonial keduanya.

Selanjutnya Jokowi mengulang lebih serius pentingnya Indonesia sebagai negara poros maritim dunia di pelbagai kesempatan. Dia menyampaikan itu saat pidato pelantikan presiden dan wakil presiden di gedung DPR/MPR. Lalu menekankan secara panjang lebar pada KTT ASEAN di Myanmar tentang 6 komitmen besar Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia.

Indonesia, menurut Presiden Jokowi, harus menegaskan diri sebagai Poros Maritim Dunia. Kekuatan negara yang berada di antara dua samudra: Hindia dan Pasifik. Tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia menjadi lorong lalu lintas maritim dunia. Indonesia yang punya itu semua, seharusnya menentukan masa depan kemakmuran di kawasan laut.

Saat masa pemerintahan Presiden Soekarno, pada 1966 dibuat Kementerian Koordinator Maritim, tapi umurnya hanya 6 bulan. Soekarno cukup menghayati Indonesia sebagai negara maritim dan turut memajukan filosofi bangsa bahari.

Soekarno selalu mengatakan lebih senang melihat ombak yang bergelora ketimbang melihat sawah yang diam statis. Presiden Jokowi turut menukil pesan Soekarno tentang jiwa Cakrapatih Samudra: jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan empasan ombak yang menggulung.

Presiden pertama Indonesia itu menegaskan geopolitik Indonesia adalah maritim, meski tak banyak yang bisa dilakukan Soekarno di zaman pergerakan itu untuk memperbaiki kekuatan maritim. Sebagian karena tuntutan konsolidasi politik dan kebutuhan meneruskan apa yang telah dibangun Belanda dari pertanian dan perkebunan.

Baru sejak reformasi, tepatnya pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid di tahun 1999, terbentuklah Departemen Kelautan dan Perikanan sekaligus Dewan Maritim Indonesia. Kemudian sejak 2010 namanya berubah menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Dewan Kelautan Indonesia.

Namun, baru saat ini kesadaran tentang laut, kepulauan, dan maritim benar-benar menjadi topik hangat yang berhasil digiring Presiden Jokowi masuk ke level critical mass dan pelembagaan negara.

Setelah terpinggirkan berpuluh tahun, isu maritim dan kelautan kini mengalami arus balik. Isu itu membuat ombak pemberitaan. Larut bersama popularitas Jokowi. Orang-orang ramai membahas maritim. Termasuk apa yang mereka lupakan dan abaikan.

Presiden Jokowi menghidupkan kembali apa yang dulu dibuat Soekarno, yaitu kementerian koordinator maritim. Presiden juga punya menteri kelautan dan perikanan perempuan bernama Susi Pudjiastuti yang dalam sekejap menjadi media darling, termasuk memopulerkan isu kelautan. Yang paling strategis, Presiden meresmikan Badan Keamanan Laut memayungi 13 institusi pemerintah, sebagai koreksi terhadap Badan Koordinasi Keamanan Laut.

Namun, tentu saja, negara maritim, apalagi mimpi Poros Maritim Dunia, tidak bisa datang sekejap, apalagi hanya dari slogan dan seremonial. Indonesia harus menyadari ada harga mahal yang harus dibayarkan karena mengabaikan urusan lautnya puluhan tahun karena terobsesi cara berpikir dan pembangunan daratan.

Negara maritim lebih dari sekadar target surplus ikan, penenggelaman kapal pencuri ikan, keamanan laut, dan moratorium izin kapal nelayan asing. Negara maritim yang sebenarnya adalah hadirnya kedaulatan pemerintahan negara di laut. Sebuah skema governance di laut yang komprehensif.

Meski arah berpikir Presiden Jokowi sudah lebih besar soal laut dan maritim, percakapan dan perbuatan soal maritim hari-hari ini masih lebih banyak soal slogan dan seremonial daripada substansi yang seharusnya dilakukan.

Seraya memuji semangat Jokowi soal poros maritim, publik harus tetap berhati-hati, tanah dan hutan Indonesia kini sudah menjadi “kutukan” karena pembangunan yang keliru. Jangan sampai laut kita pun mengalami nasib serupa.

Menakar Visi Maritim Jokowi

Laut 1Mampukah Jokowi mematahkan paradoks: negeri laut yang luas tapi miskin?

Di atas geladak perahu kayu di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta, 22 Juli 2014, presiden terpilih Joko Widodo menyampaikan pidato kemenangan. Itu sebuah pernyataan simbolis. Seperti dikemukakannya selama kampanye, tampak benar pemerintahan baru bertekad mengubah arah pembangunan ekonomi negara secara radikal: menuju negeri maritim.

Akhir September tahun yang sama tekad maritim Jokowi menemukan momentum yang kuat. Parlemen mengesahkan Undang-Undang Kelautan. Untuk pertama kali sepanjang sejarah kemerdekaan, negeri yang sebagian besar wilayahnya laut ini memiliki dasar hukum kelautan.

Namun, mampukah Jokowi mewujudkan visi maritim, bahkan jika pemerintahnya punya tekad besar dan didukung perangkat hukum yang lebih kuat?

Selama kampanye, Jokowi telah menyebut beberapa kata kunci, seperti pembangunan “poros maritim” dan “Tol laut”. Dia juga menyebut pembentukan pos baru dalam kabinet untuk mengawal kebijakan barunya: kementerian maritim.

Dokumen visi dan misi Jokowi menyebutkan sektor maritim sebenarnya bisa menjadi panasea, obat bagi sejumlah problem ekonomi dan sosial Indonesia. Dan itu tak berlebihan.

Meski mengalami pertumbuhan ekonomi cukup bagus selama satu dekade terakhir, Indonesia masih menghadapi masalah kronis dan akut. Tingkat kemiskinan masih tinggi, sekitar separo penduduk berpendapatan di bawah US$ 2 atau Rp 600 ribu per bulan.

Meningkatkan pendapatan ekonomi saja tidak cukup. Pertumbuhan ekonomi kita cenderung timpang selama ini. Itu menciptakan jurang kaya-miskin yang kian lebar, yang terbesar dalam sejarah, dan potensial memicu keresahan sosial.

Ketimpangan ekonomi juga terjadi antarwilayah, yang potensial memicu keresahan politik dan disintegrasi negara. Pada tahun-tahun

Laut 2

terakhir, sumbangan ekonomi wilayah Jawa-Sumatera-Bali masih terlalu dominan, yakni sekitar 85 persen. Wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua masih terlalu kecil sumbangannya.

Ketimpangan ekonomi memicu migrasi dan urbanisasi besar-besaran ke Jawa. Hal itu tak hanya memberikan beban terlalu besar terhadap daya dukung lingkungan pulau ini, tapi juga menciptakan masalah baru: kemacetan, pencemaran, ekonomi biaya tinggi, dan problem-problem sosial perkotaan. Kota-kota rusak, sementara pedesaan terabaikan.

Buruknya infrastruktur, khususnya transportasi laut, menjadikan ketimpangan bertambah parah. Biaya logistik, yakni biaya angkutan bahan kebutuhan pokok dan sekunder, menjadi mahal serta memicu biaya ekonomi tinggi yang membebani negara dan masyarakat. Tak heran jika harga semen di Papua, misalnya, bisa berkali lipat dari di Jawa.

Mutu sumber daya manusia Indonesia tidak membaik secara signifikan dalam satu dekade terakhir, meski terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Indonesia masih berada di papan bawah dalam peringkat Indeks Pembangunan Manusia, ukuran kualitas pembangunan manusia versi PBB. Pada 2013, Indonesia di peringkat 108, setara dengan Botswana, di bawah Kuba, Sri Lanka, dan Mongolia.

Itu antara lain yang membuat daya saing Indonesia rendah di antara negara-negara dunia, khususnya ASEAN. Dalam Indeks Daya Saing Global, Indonesia masih di peringkat 50 pada 2012, lebih rendah dari Malaysia, Thailand, China, dan Brasil.

Kemiskinan yang dicerminkan oleh rendahnya mutu sumber daya manusia terjadi justru terutama di desa-desa nelayan pesisir dan pulau-pulau. Nelayan kita umumnya nelayan tradisional dengan perahu kecil. Mereka berebut ikan di pesisir dan laut yang sempit, sementara laut luas menjadi lahan jarahan kapal-kapal nelayan asing.

Penangkapan ikan berlebihan (overfishing) di pesisir, sementara potensi besar di laut luas diabaikan (underfishing). Jika sektor maritim digarap serius, tidak berlebihan jika Jokowi sesumbar bisa meningkatkan kesejahteraan lewat pertumbuhan ekonomi tinggi, lebih tinggi dari era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Sektor ekonomi kelautan tak cuma tentang menangkap ikan di laut. Ini sektor ekonomi yang luas, mencakup industri pengolahan pangan, transportasi, eksplorasi energi di laut, bioteknologi farmasi dan kosmetika, dengan seluruh ikutannya.

Total potensi ekonomi seluruh sektor kelautan Indonesia diperkirakan US$ 1,2 triliun per tahun atau tujuh kali lipat dari total anggaran dan belanja negara pada 2014. Dan diperkirakan mampu menyediakan lapangan kerja bagi 40 juta orang atau 33 persen total angkatan kerja Indonesia.

Laut 3

Presiden Jokowi berharap pembangunan “Poros maritim” atau “Tol laut” merupakan cara untuk menangguk potensi besar itu, seraya menciptakan pemerataan ekonomi, serta mengurangi biaya logistik yang tinggi.

Laut 4

Gagasan “Tol laut” pada dasarnya membangun jaringan kota-kota pelabuhan untuk memperkuat keterkaitan antarwilayah di Indonesia serta menjadi pusat pertumbuhan potensi kelautan di wilayah sekitarnya.

Pembangunan pelabuhan itu baru satu aspek saja dari ekonomi kelautan: yakni sub-sektor transportasi. Namun, sebagai langkah awal itu sudah bagus. Sebagai negeri kepulauan, sistem transportasi laut kita masih tergolong primitif. Padahal, ini tak hanya penting untuk perniagaan antarpulau, tapi juga penting untuk menangguk kemakmuran sektor transportasi maritim internasional.

Selama ini 75 persen pengapalan ekspor Indonesia masih melalui Singapura, karena kita tak punya pelabuhan bertaraf internasional. “Tol laut” Jokowi akan meliputi pembangunan dua pelabuhan internasional, membentuk poros sistem transportasi laut: Tanjung Kuala dekat Medan di barat dan Bitung dekat Manado di timur.

Tanjung Kuala akan menjadi pintu gerbang ke Samudra Hindia (Eropa, Timur Tengah, serta India). Bitung bisa menjadi pintu gerbang ke Samudra Pasifik (Jepang, Korea, dan Amerika).

laut 7

Laut 5Dua pelabuhan itu terhubung dengan tujuh pelabuhan utama seperti Batam, Tanjung Priok Jakarta, Tanjung Perak Surabaya, Benoa Bali, Makassar, Ambon, dan Sorong. Pelabuhan-pelabuhan utama itu pada akhirnya terhubung dengan pelabuhan pengumpul dan pengumpan serta pelabuhan yang melayani transportasi jarak pendek (short sea shipping).

Pertengahan Oktober 2014 Jokowi mengatakan pembangunan “Tol laut” bisa diwujudkan dalam lima tahun masa pemerintahnya, dengan biaya sekitar Rp 60 triliun. Penguatan jalur laut itu akan disertai pengadaan sekitar 500 kapal nelayan berukuran 30 ton (bobot mati) selama lima tahun untuk menjangkau laut yang lebih luas.

Jika bisa diwujudkan, ini akan merupakan gebrakan besar yang bisa mengubah secara radikal arah pembangunan, dari orientasi daratan selama ini ke orientasi lautan. Selain mendorong tumbuhnya industri perkapalan, sistem ini akan memperkuat jejaring kapal-kapal nelayan untuk mengisi “ruang kosong” di laut yang selama ini dijarah kapal-kapal nelayan asing.

Namun, membangun fisik pelabuhan baru satu aspek. Itu akan menuntut sistem yang bagus dalam manajemen pelabuhan dan bongkar-muat barang. Dalam soal ini, tantangan terbesar adalah penyediaan sumber daya manusia kelautan berkualitas, yang saat ini masih sangat minim.

Tantangan lain: industri perkapalan kita masih lemah. Sebagian besar bahan baku dan penolong, yakni galangan kapal, mesin, dan pasokan peralatan, masih kita impor.

Pelabuhan tidak ada maknanya jika tidak ada aktivitas ekonomi yang harus dilayani. Di samping melayani arus logistik kebutuhan pokok, pelabuhan-pelabuhan berfungsi sebagai pusat-pusat industri budi daya laut (akuakultur).

Dalam salah satu dokumen, pemerintah baru bertekad membuka 1 juta hektare lahan budi daya udang dan rumput laut, dua jenis komoditas ekspor terpenting. Hal itu tak hanya memperluas pasokan ekspor, tapi juga mendorong tumbuhnya industri pengolahan pangan kelautan.

Meski potensial, hal itu menuntut adanya nelayan yang andal serta berpendidikan. Juga sumber pembiayaan yang cukup murah berkesinambungan. Suku bunga kita terlalu tinggi dan perbankan masih memandang rendah sektor kelautan.

Pembangunan tambak udang di pesisir laut juga perlu diterapkan dengan saksama untuk mengurangi dampak lingkungan. Tambak skala besar umumnya dibangun dengan menggunduli hutan bakau (mangrove). Padahal, hutan bakau penting bagi ekosistem pesisir, selain punya nilai ekonomi tinggi pula, meski belum banyak studi dilakukan. Pengelolaan hutan pesisir (coastal forestry) belum banyak dikembangkan di Indonesia.

Riset sains dan teknologi kelautan kita masih tertinggal. Ini merupakan tantangan besar pula: memperkuat riset kelautan di universitas dan mengaitkannya dengan dunia usaha. Bahkan pemanfaatan sederhana potensi kelautan saat ini masih sangat sedikit. Apalagi jika kita ingin masuk ke ke industri bioteknologi kelautan serta eksplorasi energi gas di lepas pantai.

Singkat kata, ada banyak momentum besar yang bisa mendukung Presiden Jokowi mewujudkan visi maritimnya. Namun, itu juga membutuhkan banyak prasyarat dan “pekerjaan rumah”, lebih dari sekadar berpidato di geladak kapal pinisi.

Kehadiran Pemerintahan Negara di Laut

Negara maritim tegak oleh kehadiran pemerintahan berdaulat di laut.

Bermodal pasir dari Pulau Karimun milik Indonesia, Singapura mulai menyebut diri negara maritim. Negara yang pernah disebut dengan berang oleh mantan Presiden Habibie sebagai “setitik noktah merah” dalam peta itu membangun pulau-pulau kecil di laut.

Cerdiknya, untuk menghubungkan pulau-pulau buatan tersebut, Singapura memperbanyak kapal berbendera negaranya. Mereka tidak perlu membangun jembatan untuk menghubungkan pulau-pulau tersebut, cukup dengan kapal-kapal dagang.

Sementara Indonesia yang dianugerahi negara kepulauan justru berkali-kali ingin memutus logika laut dengan jembatan, karena terobsesi menjadi negara kontinental. Dan, seperti istilah Presiden Joko Widodo, kita sudah terlalu lama memunggungi laut.

Seterusnya sejak 1996 Singapura dengan bangga menyebut diri sebagai Otoritas Negara Maritim. Mereka memaksudkan negaranya sebagai hub pelabuhan internasional dan pusat maritim internasional.

Jika kita memasuki pelabuhan mereka, dengan jelas terpampang: “The Maritime and Port Authority of Singapore”. Pasir untuk membangun pulau mereka beli dari Indonesia, negara jiran pemilik julukan negara kepulauan terbesar di dunia.

Indonesia mungkin punya segalanya. Punya 17.504 pulau. Satu pulau dengan pulau yang lain terhubung tak terputus sehingga sempurna disebut negara kepulauan. Pulau-pulau itu terbentang dari timur ke barat sejauh 6.400 kilometer atau sepadan dengan jarak London – Siberia dan sekitar 2.500 kilometer jarak antara utara dan selatan.

Kita juga pemilik garis pantai terbesar kedua setelah Kanada. Ha¬sil hukum United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 yang merujuk pada Deklarasi Djuanda 1957 mengubah drastis luas wilayah Indonesia.

Luas awal wilayah Indonesia 2 juta kilometer persegi bertambah menjadi 5,8 juta kilometer persegi, terdiri atas daratan dan lautan. Luas wilayah bertambah kira-kira 3.106.163 kilometer persegi atau sekitar 145 persen.

Saking banyaknya pulau Indonesia, baru 13.466 pulau yang berhasil diberi nama dan didaftarkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Empat ribuan pulau sisanya belum bernama dan tak berpenghuni, bahkan sebenarnya tak pernah terlalu diperhatikan.

Jika negara kepulauan ditentukan anugerah fisik, negara maritim bertumpu pada visi dan governance yang kuat di laut, sesuatu yang patut dipelajari Indonesia dari Singapura.

Anugerah laut Indonesia bukan tanpa konsekuensi. Dengan luas wilayah laut yang dua kali lebih besar dari luas daratan dan mempunyai lautan dalam, Indonesia diakui sebagai negara pantai dan negara laut. Kenyataan itu membuat kita harus membuat lalu lintas damai untuk dilewati kapal asing atau transit sehingga melahirkan jalur lalu lintas Alur Laut Kepulauan Indonesia.

Setiap kapal asing, baik sipil maupun militer, selama tidak menggelar peralatan militer, bebas untuk lewat di jalur itu. Begitu pula dengan nelayan, tidak boleh menggelar alat tangkap ikan selama melewati jalur damai. Misalnya, kapal Jepang akan menangkap ikan di laut India, otomatis akan melewati perairan Indonesia. Pemerintah tidak bisa melarang kapal itu melewati perairan Indonesia karena Jepang mempunyai hak lintas damai.

Indonesia harus menjamin keselamatan kapal-kapal untuk melewati jalur itu. Apabila negara pantai seperti Indonesia tidak bisa menjamin lalu lintas laut damai, maka kapal asing bisa dikawal oleh kapal perang masing-masing. Hal tersebut tercantum dalam hukum UNCLOS.

Ukuran mungkin memengaruhi segalanya. Seolah mengalami sindrom negara besar yang cepat puas dan malas, Indonesia boleh membusungkan dada sebagai negara kepulauan terbesar, tapi tidak sebagai negara maritim.

Singapura negeri kecil tapi punya pemerintahan di laut yang sa-ngat rapi dan berwibawa. Sistem itu jelas menunjukkan hadir dan berdaulatnya negara di laut mereka.

Sedikit contoh hadirnya pemerintahan negara di laut bisa kita lihat pada Singapura dan Amerika Serikat. Kedua negara ini mencegat kapal asing sejak berada di pulau terluar miliknya. Mereka menerapkan port clearance secara digital untuk ditaati setiap kapal agar bisa berlabuh atau memasuki wilayahnya. Jika beres, kapal itu baru diberi izin atau dipandu masuk ke pelabuhan sesuai kepentingan masing-masing.

Indonesia belum punya pemerintahan maritim seperti itu. Pemerintah menilai kapal asing melanggar wilayah ketika sudah masuk pelabuhan. Jadi, pintu masuk dianggap di wilayah pelabuhan. Padahal, Indonesia seharusnya mencegat kapal asing dari pintu luar seperti Natuna dan Sabang.

Kalau ingin meng-klaim laut dari Sabang – Merauke, Miangas Rote kita kuasai dan miliki, maka pemerintah harus memperbanyak kapal berbendera Indonesia. Selama ini kedaulatan laut Indonesia hanya bersifat imajiner di atas peta. Fakta di lapangan secara de facto laut kita dikuasai Thailand dan Vietnam.

Negara kepulauan masih dianggap bersatu antar-pulaunya apabila dihubungkan dengan kapal-kapal berbendera negara itu sendiri. Negara poros maritim harus diisi kapal nelayan dan kapal dagang sebanyak dan sekonstan mungkin untuk menguasai kedaulatan wilayahnya. Misalnya dengan meletakkan satu kapal induk di wilayah tersebut. Dengan kedigdayaan ini, negara lain akan berpikir ulang untuk masuk wilayah Indonesia.

Laut 6

Sebagai contoh, Tiongkok mengklaim laut internasional yang menjadi sengketa beberapa negara. Itu terjadi karena banyaknya kapal Tiongkok yang melaut di wilayah tersebut atau meletakkan kapal induk. Kekuatan maritim di-lambangkan dengan kehadiran. Dan itu berarti kehadiran kapal.

Kapal yang boleh memenuhi wilayah laut Indonesia adalah kapal negara dan kapal dagang. Kapal negara terdiri atas kapal pemerintahan negara di laut dan kapal perang. Semua kapal itu harus berlayar memenuhi wilayah laut Indonesia. Kapal TNI berfungsi menjadi penjaga terluar pulau Indonesia agar tidak terjadi gangguan dari pihak asing.

Kapal-kapal tersebut tidak boleh dihambat sedetik pun, karena membawa misi kedaulatan negara dan hajat hidup masyarakat di pulau-pulau.

Kapal bukan hanya alat transportasi, melainkan juga simbol wilayah negara berdaulat, berdasarkan bendera yang dikibarkan. Kapal seperti kedutaan besar. Jika mengibarkan bendera Indonesia, maka itu wilayah Indonesia. Jika mengibarkan bendera Amerika, maka itu wilayah Amerika, meski masuk wilayah perairan Indonesia.

Kenyataannya kapal dagang dan nelayan Indonesia sangat kecil, sehingga pulau di wilayah Indonesia timur tidak maksimal dalam distribusi bahan pokok. Kapal dagang dan nelayan Indonesia sudah sedikit, kerap dihambat oleh oknum kapal Bea Cukai, Polisi Air dan Udara, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Bahkan, Angkatan Laut juga menghambat. Kapal Indonesia digerogoti oleh pemerintah¬an negaranya sendiri.

Pada zaman pemerintah kolonial Belanda, seluruh armada VOC berlayar ke seluruh pulau Indonesia. Mereka memastikan 1 sen golden mentega di Jakarta, 1 sen golden pula di Papua. Hal ini terjadi karena Belanda memiliki pemerintahan negara di laut, sehingga harga mentega tidak berbeda.

Sebagai negara kepulauan satu-satunya di dunia, Indonesia harus memiliki tiga unsur sebagai negara maritim. Yakni negara pantai dan laut, negara pelabuhan, dan negara bendera kapal. Intinya, Indonesia harus memiliki pemerintahan negara di laut. Negara pantai otoritasnya pada konsep coast guard, negara pelabuhan otoritasnya pada syahbandar. Sedangkan negara berdasarkan bendera kapal ada di tangan nakhoda kapal.

Pemerintahan negara di laut logikanya harus memenuhi seluruh fungsi negara pemerintahan di darat. Jadi, kapal yang masuk wilayah Indonesia harus melewati izin dari pemerintahan negara di laut. Setiap kapal yang masuk atau keluar harus memenuhi empat syarat atau mempunyai CIQP (custom, imigrasi, karantina, dan perhubungan).

Setelah mendapatkan keempat syarat tersebut, otoritas pelabuhan memberikan port clearance kepada pemerintah di kapal (nakhoda), sehingga pemerintah negara di laut memastikan kapal tersebut sampai ke tujuan.

Jika kapal dagang atau nelayan melakukan kejahatan, kapal yang boleh menangkap mereka adalah kapal pemerintahan negara di laut dan kapal perang, atas permintaan pemerintahan negara pelabuhan atau negara di laut. Namun, dalam penangkapan kapal pencuri ikan yang melibatkan bantuan TNI Angkatan Laut, misalnya, kapal yang sudah ditangkap dibawa ke pelabuhan pemerintahan, bukan pelabuhan Angkatan Laut.

Saat ini Indonesia tidak bisa disebut sebagai negara maritim karena tidak ada pemerintahan negara di laut. Jadi, yang selama ini berpatroli di laut hanya instansi. Sementara semua instansi memiliki kepen tingan masing-masing.

Indonesia membutuhkan pemerintahan negara di laut dalam bentuk sebuah lembaga baru di bawah presiden. Fungsi sebuah kapal pemerintahan di laut lengkap dengan segala unsurnya dengan menggabungkan beberapa instansi sekaligus.

September tahun lalu Undang-Undang Kelautan disahkan. Undang-Undang tersebut mengamanatkan pembentukan Badan Keamanan Laut. Lembaga itu menggabungkan fungsi-fungsi 12 instansi dan sudah disahkan Presiden Jokowi pada 15 Desember lalu.

Fungsi lembaga itu sudah bagus, tapi belum sempurna, karena masih mereduksi pemerintahan di laut hanya soal keamanan dan tidak memasukkan fungsi coast guard perhubungan.

Pemerintah menggunakan istilah keamanan karena tidak berani menamakan badan keselamatan. Padahal, keselamatan yang justru dibutuhkan dunia pelayaran atau maritim. Sebab, keselamatan nilainya lebih universal. Namun, kehadiran lembaga baru ini tetap lebih baik daripada saudara tuanya, Badan Koordinasi Keamanan Laut Republik Indonesia.

(Dikutip dari Buku “70 Tahun Indonesia Merdeka“ Tim Penulis Ahlulbait Indonesia, 2015).

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *