Berita
Logika Sebagai Parameter Wahyu
Setelah Islam dipahami secara mutlak sebagai wahyu maka tolak ukurnya bukan mazhab, tetapi logika. Sebagai contoh: jika ada ulama Syiah berbicara berbeda dengan kalangan umum, maka orang-orang yang berpikir secara sektarian akan membela ulama tersebut. Namun, bagi orang-orang berpikir global, maka ia membiarkannya (karena ada konsep relativitas).
Persoalan relatif atau subjektif (baca: mazhab) tidak berarti tidak dapat diterapkan, namun parameternya harus dikembalikan kepada logika atau akal sehat, agar ia dapat dipertanggungjawabkan. Kalau kita melihat persoalan hanya sebatas mazhab, maka kita melihat sesuatu bukan karena maknanya atau substansi di dalamnya, tapi karena simbolnya, dan suka tidak suka, orang akan masuk ke dalam sebuah mazhab. Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya bahwa setiap orang selama bukan Nabi, pasti bermazhab meskipun ia mengaku tidak bermazhab karena ia bersumber dari sebuah persepsi yang relatif.
Baca juga Memahami Ahlusunah, Memahami Syiah
Wahyu terbagi menjadi dua: wahyu transenden dan wahyu imanen. Wahyu transenden itu adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada para Nabi, sedangkan wahyu imanen adalah wahyu berupa logika yang terinstall pada setiap manusia, sehingga ia terbedakan dari makhluk selain manusia. Dari logika inilah muncul nilai-nilai, baik, sempurna, adil, patut, dan sebagainya. Kalau tidak ada logika, lantas apakah ukuran menilai sebuah kebenaran?
Parameter yang harus digunakan untuk memilih pandangan apa pun baik antar mazhab maupun dalam satu mazhab adalah logika. Di sanalah pintu dialog terbuka lebar. Paremeternya bukan lagi riwayat. Jika riwayat menjadi parameter, maka akan terjadi siklus.
Baca Juga Kemestian Bermazhab Dalam Beragama
Hadis dan riwayat dalam satu mazhab Sunni dan Syiah juga menjadi zona sengketa dan polemik. Munculnya sub-sub mazhab dalam Sunni dan beragam marja’iyah dan school of thought dalam Syiah mengonfirmasi itu.
Hal yang perlu dipahami bahwa setiap orang Syiah itu memiliki mazhabnya sendiri dan tetap ada persepsi dan dibenarkan. Kapan tidak dibenarkan? Ketika era relativitas ini ditutup. Orang tidak lagi dibenarkan untuk berkreasi karena kebenaran sudah dimutlakkan. (Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)