Berita
Keharusan Bermazhab dalam Beragama
Banyak orang yang menganggap mazhab sebagai keyakinan tambahan bagi agama, sehingga karena itu sebagian memberikan syarat-syarat tambahan bagi kemusliman. Akibatnya, fanatisme dan sektarianisme serta konflik sektarian muncul ke permukaan dan menyertai sejarah umat Islam sejak Nabi wafat hingga kini. Mazhab bahkan kadang mendominasi agama.
Apakah bermazhab adalah keharusan?
Bisakah menganut Islam tanpa mazhab?
Mengapa bermazhab?
Berapa macam cara bermazhab?
Cara pandang dan interpretasi terhadap satu Islam disebut mazhab. Mazhab (مذهب , madzhab) adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkret maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. (Ibnu Manzhur, Lisân Al-’Arab, h. 1522, Dar Al-Ma’arif, Kairo, Mesir)
Baca juga Susunan Konsep Keyakinan Secara Epistemologis 1 dan 2
Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah. Mazhab adalah cara pandang setiap orang tentang wahyu Alquran dan Sunnah, baik yang dikumpulkan dalam sebuah sistem yang terancang meliputi aneka tema dan bidang dengan nama tertentu maupun yang tidak sistemik dan tidak bernama.
Sebagian besar umat Islam memilih mengikuti mazhab yang terorganisasi dalam akidah, syariah dan akhlak. Sebagian kecil tetap menggunakan cara pandangnya sendiri. Dengan kata lain, bermazhab adalah konsekuensi logis sebagai cara memahami dan menafsirkan wahyu yang diterima Nabi (Alquran) dan wahyu yang disampaikannya (Sunnah). Bahkan, setiap orang yang telah memilih mengikuti sebuah mazhab pun secara sadar atau tidak, menggunakan persepsi subjektif dan relatifnya saat menerima penjelasan mazhab yang dianutnya. Artinya, baik bermazhab secara sistemis maupun tidak, setiap orang pasti menjadikan persepsi mentalnya sebagai dasar keberagamaannya dan kemuslimannya.
Dapat disimpulkan bahwa agama sebagai wahyu yang disampaikan Allah Swt kepada Rasul-Nya akan tetap terjaga dalam altar kesucian dan tidak akan tersentuh dengan apa pun yang tidak suci (QS. Al-Wâqi’ah [56]: 79). Wahyu ketika disampaikan oleh Rasulullah Saw tetaplah suci, karena ia manusia suci (QS. Al-Najm [53]: 3-4). Kemudian wahyu tersebut setelah diinterpretasikan oleh manusia yang tidak suci, ia bukan lagi menjadi wahyu yang suci, tetapi telah menjadi persepsi.
Apa yang selama ini dipahami sebagai agama oleh manusia sesungguhnya hanyalah interpretasi wahyu. Pemahaman tersebut tidak dapat disebut agama melainkan mazhab. Konsekuensinya, mazhab tersebut tidak dapat dimutlakkan sebagaimana wahyu. Intoleransi sesungguhnya dilatarbelakangi oleh ketidakmampuan membedakan antara agama yang mutlak dan suci dengan agama relatif (mazhab). Tentu kerelatifan agama dalam konteks persepsi tidaklah meniscayakan hilangnya kepatuhan dan keterikatan penganut kepada agamanya karena setiap agama berdiri di atas prinsip-prinsip logis dan aksiomatis. (Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)