Berita
Susunan Konsep Keyakinan Secara Epistemologis (Bagian 2)
Dahulukan Sebab atas Akibat
Kebanyakan orang menjadikan akibat sebagai parameter, tanpa melihat sebabnya dan salah menyimpukan suatu sebab karena akibat tersebut tidak ada hubungan langsung dengan sebab yang disimpulkan. Contoh yang paling sering kita dengar adalah seseorang dilarang membawa uang atau barang-barang berharga lainnya karena ditakutkan terjadi perampokan. Padahal yang menjadi masalah bukan karena uang atau barang berharganya atau pembawanya, namun perampok dan perbuatan perampokan itulah yang mesti ditangkap dan dihindari.
Lebih jauh, pendapat yang mengatakan bahwa keberadaan muslim Syiah di suatu tempat akan menimbulkan konflik, padahal tidak ada kausalitas antara Syiah dan konflik. Sejatinya, akar persoalannya adalah para penghimbau kekerasan yang mengatasnamakan agama dan sikap tidak siap menerima perbedaan dilakukan oleh mereka kemudian melakukan pengalihan sebab dan akibat. Sama halnya, dengan melarang keberadaan perempuan karena akan menimbulkan pemerkosaan. Jelas secara sengaja dan manipulatif terjadi pengalihan sebab dan akibat.
Dahulukan Subjek atas Objek
Banyak orang menyebut dahulukan bersikap objektif daripada subjektif. Padahal objektif itu sendiri lahir dari pendapat subjektifitas. Objektif adalah subjektivitas yang diterima oleh berbagai pihak dengan ukuran yang sama dalam mengobjektifikasi suatu fenomena. Contoh yang sering kita dengar adalah pernyataan “Mari kembali kepada Alquran dan Sunnah Nabi.” Kalimat ini terkesan sangat objektif. Padahal yang dimaksud dengan pernyataannya adalah kembali kepada Alquran dan Sunnah berdasarkan subjektivitas mereka sesuai pemahaman mereka saja yang tidak berlaku atas kelompok lain yang berbeda dengan mereka. Solusi yang tepat adalah menggunakan parameter yang diterima oleh kedua belah pihak. Apabila parameter ini diterima, maka ia mengandung keterwakilan kedua belah pihak. Inilah sebenarnya yang dimaksud sebagai objektif.
Dahulukan Fakta atas Opini
Kebanyakan orang lebih mempercayai informasi yang dibungkus oleh opini demi kepentingan tertentu. Padahal setiap orang memiliki tugas untuk menyaring dan membedakan antara fakta dan opini sebelum menyerapnya sebagai sebuah kebenaran. Contoh gampangnya adalah bahwa Syiah dianggap sebagai aliran yang menuhankan Ali padahal faktanya Syiah hanyalah mengutamakan Ali di antara sahabat Nabi lainnya.
Dahulukan Substansial atas Formal
Kebanyakan orang menganggap keulamaan ada begitu saja karena sudah terdaftar dalam sebuah organisasi. Kemudian dianggap sebagai representasi dari sebuah agama karena menggunakan simbol agama tertentu. Mereka tidak lagi mengkritisi kualifikasi dan proses menjadi ‘ulama’ yang ada di dalamnya. Kemudian menganggap apa pun yang disampaikan oleh organisasi ini sebagai sebuah kebenaran.
Dahulukan Konsep atas Realitas
Sebagaimana kami sebutkan di awal bahwa tulisan ini mendahulukan konsep sebelum menjelaskan realitas demi menghindari terjadinya kesalahpahaman dalam memahami Islam secara umum dan Syiah secara khusus. Dengan begitu dapat terbedakan antara konsep yang bersifat pokok dan cabang dengan realitas yang muncul di permukaan.
Konsep mesti berurutan dan berkesinambungan dari yang bersifat pokok sampai yang bersifat cabang. Bila dibalik, maka ia merupakan kontra logika. Sebagai contoh, bila seseorang mengkritik sebuah pandangan atau mazhab dengan serta merta mencomot salah satu isu yang tidak fundamental, maka memiliki tiga konsekuensi:
Pertama, bila kritik itu terbantah, maka kesalahpahaman terhadap mazhab itu tidak terselesaikan, karena kritik itu bersifat sporadik dan partikular (shugrayat) yang ditujukan kepada produk dan
turunan dari sebuah keyakinan fundamental dalam mazhab itu. Sebagai contoh, Imam Malik tidak mengutamakan bersedekap dalam salat sebagaimana Imam Syafi’i. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan takhrij hadis antar kedua Imam. Sehingga bersedekap tidak mesti dianggap lebih Sunni daripada yang tidak. Karena itu, kita tidak perlu menjadikan persoalan sedekap dalam salat dan isu-isu fundamental lainnya dalam mazhab Sunni;
Kedua, boleh jadi isu yang tidak fundamental itu tidak merepresentasi pandangan mainstream mazhab tersebut, karena pada level konsep-konsep turunan, perbedaan-perbedaan dalam sub-mazhab merupakan keniscayaan. Hal ini terjadi baik di dalam Sunni maupun Syiah. Sebagai contoh, adanya perbedaan fatwa sebagai produk ijtihad para marja’ di kalangan Syiah dan empat imam mazhab di kalangan Sunni;
Ketiga, boleh jadi isu yang dituduhkan terhadap sebuah mazhab yang dianggap sesat, juga ada dalam mazhab yang menuduh. Namun karena keterbatasan pengetahuan atas mazhabnya sendiri, dan ketergesa-gesaan memenuhi hasrat kebencian sektarian, dikesankan isu yang dituduhkan hanya ada pada mazhab yang dituduh.Padahal dalam setiap mazhab ada yang disebut pendapat yang tidak populer (syadz). Sebagai contoh, salat jamak yang seringkali dituduhkan sebagai amalan khas Syiah, padahal dalil tentang salat jamak tanpa halangan apapun terdapat dalam sumber-sumber utama Ahlus Sunnah sebagaimana akan dibahas pada bagian Tuduhan-tuduhan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa setiap penilaian dan kritik terhadap sebuah mazhab harus didasarkan pada konsep-konsep utama yang dibangun di atasnya. Dengan demikian, kritik yang tidak memenuhi standar konsep utama dianggap tidak ilmiah dan biasanya bersifat tendensius atau didasarkan pada sinisme sektarian semata.
Yang patut disayangkan, sekelompok orang yang mengaku sebagai ulama terlihat tidak mampu memiliki gambaran sistematik antara mafhum dan mishdaq, antara konsep dan praktik, antara klaim dan fakta historis, sehingga yang dipersoalkan terkadang konsep, terkadang perilaku, terkadang kutipan-kutipan dari website, dari pinggir-pinggir trotoar yang dipenggal dan dimutilasi dengan bumbu kebencian yang bertujuan menyudutkan muslim Syiah. Apalagi diobral di tengah masyarakat awam yang sama sekali tidak mengetahui mazhab yang dianutnya, bahkan tidak memahami apa itu Syiah dan apa itu Sunni. Lebih jauh, hal itu dilakukan tanpa memberikan hak jawab secara proporsional kepada pihak yang ditimpa ragam tuduhan tersebut. Inilah yang disebut rajm bi al-ghaib, atau dalam bahasa populer, pengadilan in-absentia. (Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)