Berita
Susunan Konsep Keyakinan Secara Epistemologis (Bagian 1)
Susunan konsep keyakinan secara epistemologis perlu diuraikan karena banyak orang yang mencampuradukkan keyakinan dengan praktik dan fakta historis para penganutnya. Keyakinan sebagai konsep harusnya mendahului dan menjadi parameter perilaku para penganutnya. Bila dibalik, fakta historis dijadikan sebagai parameter penilaian dan analisis, maka ia akan mendistorsi atau mereduksi keyakinan sebagai konsep yang secara logis seharusnya mendahului praktik. Namun sebelum membahas konsep lebih jauh, perlu diuraikan beberapa anjuran untuk menghindari kesalahan berpikir dan diklarifikasi sejak awal agar dapat memahami buku ini lebih komprehensif.
Dahulukan Apa atas Siapa
Kebanyakan orang mengukur keyakinan dari penganutnya. Ketika ia menemukan perilaku seseorang yang dikenal beraliran tertentu, maka ia serta merta menganggap bahwa perilaku itu sesuai dengan keyakinan orang tersebut. Seseorang mengaku Syiah melaknat seorang sahabat Nabi, kemudian mereka menyimpulkan Syiah melaknat sahabat dan setiap muslim Syiah pasti melaknat sahabat. Se-harusnya ia mempelajari keyakinan Syiah dari konsepnya bukan dari perilaku penganutnya. Setiap orang bisa saja mengaku Syiah atau Ahlus Sunnah padahal tidak sama sekali mencerminkan Syiah atau Ahlus Sunnah. Imam Ali pernah berkata, I’rif al-haqq, ta’rif ahlah, kenalilah kebenaran, niscaya kau mengenali penganutnya.
Dahulukan Komparasi atas Mindset
Kebanyakan orang meyakini agama atau apa pun bukan karena komparasi dan kepuasan argumentatif. Namun informasi itulah yang pertama dan satunya yang diterima dan masuk ke dalam benaknya. Informasi itulah yang kemudian menjadi alat ukur terhadap informasi lain. Bila sesuai dengan keyakinannya dianggap benar dan bila tidak sesuai maka dianggap salah dan sesat. Sebagai contoh, merk dagang yang terlanjur tertanam dalam benak publik membuatnya sulit membedakan merk dagang dan nama barang. Orang sering menyebut ‘aqua’ ketimbang air mineral kemasan, demikian juga ‘busway’ ketimbang bus trans, dan sebagainya.
Kesalahan inilah yang membuat orang menganggap kepercayaan yang dianutnya selama ini adalah ajaran yang paling benar, sehingga ketika ada seseorang yang berbeda dalam mengamalkan hal lain dianggap sesat atau kafir. Contohnya, seseorang menilai keyakinan Syiah dengan keyakinan yang dianutnya, karena menganggapnya berbeda dengan keyakinannya, maka dianggap sesat.
Baca Juga: Iman Mutlak Dan Iman Relatif bagian 1 dan bagian 2
Dahulukan Mayor atas Minor
Kebanyakan orang menggunakan cara berpikir teknis dalam beragama. Mereka mengutamakan hal-hal yang bersifat minor (induktif) daripada hal-hal yang bersifat mayor (deduktif) untuk menilai yang mayor. Padahal dalam hal-hal yang bersifat abstrak seperti keyakinan, kita seharusnya menggunakan metode deduktif agar problemanya terselesaikan. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana seseorang memperlakukan produk-produk keagamaan yang merupakan turunan dari keyakinan yang bersifat prinsipil. Sebagai contoh, seseorang mempersoalkan nikah mut’ah sebagai sebuah keyakinan padahal ia merupakan produk hukum dalam syariat agama. Hal yang perlu diketahuinya
terlebih dahulu adalah bagaimana metode penyimpulan hukum yang melahirkan produk hukum mut’ah.
Dahulukan Kualitas atas Kuantitas
Kebanyakan orang berpikir bahwa pihak yang jumlahnya banyak adalah pihak yang paling benar. Parameter kebenaran menurut mereka adalah kuantitas. Dengan begitu, mereka dengan mudah menganggap pihak minoritas dan berbeda, sebagai sesat dan kafir. Padahal batasan mayoritas dan minoritas tidak ada dalam agama itu sehingga tidak bisa dijadikan sebagai pijakan sebuah kebenaran dan secara otomatis invalid.
Justru dapat ditemukan dalam Alquran banyak celaan terhadap golongan mayoritas dan pujian terhadap golongan minoritas. Meskipun demikian, Syiah sendiri tidak pernah menganggap sebagai golongan mayoritas maupun minoritas di mana pun mereka berada.
Dahulukan Validitas atas Utilitas
Kebanyakan orang melihat segala sesuatu berdasarkan manfaat, keuntungan dan raihan yang diterimanya akibat perbuatannya. Parameter kebenaran bagi mereka hanyalah hasil. Ketika salat menimbulkan ketenangan maka ia akan menjalaninya. Manakala sedekah menjadikannya kaya maka ia gemar melakukannya. Usut punya usut, ajaran materialisme telah menjadikannya sebagai pijakan alih-alih agama. Pandangan ini menganggap kebenaran satu sisi dengan keuntungan. Padahal kebenaran tidak selamanya menguntungkan meskipun ada hal-hal yang menguntungkan sekaligus benar.
Dahulukan Logika atas Teks
Kebanyakan orang menganggap yang tertulis sebagai sebuah kebenaran tanpa pernah memahami yang terkandung di dalamnya. Sebagai contoh, segala sesuatu yang terdapat dalam google dianggap sebagai sebuah kebenaran.
(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)