Berita
Jaga Yogya Tetap Beradab dan Toleran, Makaryo Surati MUI
MAKARYO, yaitu Masyarakat Anti Kekerasan Yogyakarta, yang terdiri dari 35 Ormas, pada hari Jumat (17/1) mengunjunggi MUI DIY. Maksud kunjungan MAKARYO adalah untuk menyampaikan surat resmi yang di antaranya berisi keprihatinan mereka atas fakta semakin merebaknya kekerasan, baik fisik ataupun non fisik yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok tertentu di DIY tanpa adanya tindakan tegas dari aparatur negara.
Kehadiran MAKARYO yang di wakili oleh Wiwin Siti Aminah, Elga Sarapung, Wiji, Benny Susanto dan Nur Khalik, disambut hangat oleh MUI DIY. Saat pertemuan selama 2 jam tersebut, MAKARYO menjelaskan maksud dan tujuan dari surat yang disampaikan kepada MUI DIY tersebut. Dalam tanya jawab dan audiensi tersebut, MAKARYO juga menyinggung soal Ahmadiyah dan Syiah.
MAKARYO berharap agar MUI mampu menjadi pelopor untuk menjadikan kota Yogyakarta sebagai kota yang beradab, berdasarkan Konstitusi. Salah satu usulan konkrit MAKARYO kepada MUI adalah agar MUI tidak mengeluarkan pernyataan atau fatwa yang akan memberi ruang ataupun dapat dimanfaatkan oleh kelompok intoleran untuk melakukan kekerasan (intimidasi, kebencian, paksaan dan kekerasan fisik) terhadap kelompok lainnya.
Pihak MUI sangat senang mendapatkan surat sebagai bahan masukan dari MAKARYO. MUI sendiri menyatakan tidak akan menolelir segala bentuk tindak kekerasan yang memang sudah jelas-jelas tidak dibenarkan dalam Islam. Dalam hal ini MUI tidak bisa memberikan FATWA soal “Anti kekerasan,” sebab hal ini sudah sangat gamblang dalam agama Islam, maka bagi umat Islam wajib untuk menaatinya.
Lebih lanjut MUI berjanji akan membuat Surat Edaran kepada seluruh ormas yang berada di bawah naungan MUI untuk tidak main hakim sendiri atau melakukan tindakan kekerasan dengan atau atas nama apapun dalam menyelesaikan masalah, namun MUI menghimbau agar mengedepankan dialog dalam setiap penyelesaian masalah. Seyogyanya MUI menjadi motor “Gerakan Islah wa al tajdid (Perdamaian dan Pembaharuan)” yang memang merupakan salah satu peran dan fungsi dari MUI itu sendiri.
Berikut adalah isi lengkap surat dari MAKARYO kepada MUI DIY :
SURAT
Masyarakat Antikekerasan Yogyakarta
(MAKARYO)
Kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Daerah Istimewa Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta terkenal dengan miniatur Indonesia karena warga yang hidup dan menghidupkan Yogyakarta, beragam. Yogyakarta juga terkenal sebagai ‘kota budaya,’ ‘kota pendidikan,’ ‘the city of tolerance’ dan beberapa julukan bagus lainnya. Status istimewa DIY yang dikukuhkan dengan UU No. 13 Tahun 2012 semakin menguatkan DIY sebagai daerah yang secara kultural sangat beragam dan siap mengelola keragaman tersebut.
Patut diakui bahwa atribut-atribut tersebut pantas disandang DIY karena meski masyarakatnya sangat beragam dari segi suku, agama, golongan, paham, budaya, dan lain sebagainya, tetapi mereka dapat hidup toleran dan damai. Namun demikian, atribut-atribut tersebut, khususnya Yogya sebagai kota yang toleran, semakin memudar dengan semakin banyaknya kasus kekerasan dan ancaman-ancaman yang bisa mengundang kekerasan. Dalam konteks inilah, beberapa organisasi/kelompok masyarakat sipil di DIY telah membentuk koalisi yang dinamakan “Masyarakat Antikekerasan Yogyakarta” atau disingkat MAKARYO.[1]
MAKARYO sangat concern sekaligus prihatin dengan fakta semakin merebaknya kekerasan[2], baik fisik maupun non fisik, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu di DIY tanpa ada tindakan tegas berbasis Konstitusi dari aparat penegak hukum dan pejabat publik DIY. Dalam hal ini, MAKARYO telah dan akan terus berupaya dan berjuang agar tindakan kekerasan tidak akan terjadi lagi di masa mendatang, apalagi dalam waktu dekat selama tahun 2014, kita akan sibuk dengan perayaan demokrasi, lokal dan nasional.
Kami sangat menyadari bahwa konsekuensi dari kepelbagaian yang ada pasti akan menimbulkan perbedaan pandangan, perbedaan kepentingan, gesekan bahkan konflik. Dalam rangka mengelola perbedaan yang ada dan menyelesaikan gesekan atau konflik tersebut seyogyanya tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau ucapan-ucapan kebencian, karena setiap tindakan kekerasan atau ucapan kebencian, yang dibalas dengan kekerasan dan kebencian, hanya akan melahirkan kekerasan dan kebencian berikutnya. Kami percaya bahwa sebesar apapun perbedaan atau konflik yang ada, pasti dapat diselesaikan dengan cara-cara non kekerasan, salah satunya melalui dialog, dialog terbuka, jujur antara sesama manusia.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), termasuk MUI DIY, mempunyai posisi strategis dalam rangka meredam aksi-aksi kekerasan, khususnya kekerasan yang mengatasnamakan agama dan keyakinan, demi menciptakan perdamaian dalam masyarakat. Apalagi, MUI adalah “payung” dari hampir semua organisasi Islam yang ada di Indonesia yang anggotanya adalah bagian dari 85% penduduk Indonesia, yang notabene adalah Penduduk Muslim terbesar di dunia. Sebagai sebuah Lembaga yang mewakili penduduk terbesar di Indonesia dan penduduk Muslim dunia, harapan kami, MUI dapat menjadi pelopor di depan untuk menjadikan Yogyakarta sebagai kota yang beradab, berdasarkan Konstitusi. Hal tersebut sesuai dengan salah satu peran dan fungsi MUI, yaitu sebagai “gerakan islah wa al tajdid (perdamaian dan pembaharuan)” dan juga dengan salah satu misi MUI yaitu “untuk meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.”
Salah satu usul konkrit kami kepada MUI adalah, harap tidak mengeluarkan pernyataan atau fatwa yang akan memberikan ruang kepada kelompok intoleran untuk melakukan kekerasan (intimidasi, kebencian, paksaan dan kekerasan fisik) terhadap kelompok lainnya. Kami sangat mendukung dan memberi apresiasi kepada MUI DIY untuk mengeluarkan pernyataan atau fatwa yang mengajak semua kelompok, khususnya dalam Islam, yang bisa menjadi contoh bagi masyarakat umumnya, untuk tidak melakukan kekerasan atas nama apapun dengan alasan apa pun, kepada siapa pun. Bila ada hal-hal yang mencurigakan atau dianggap mengganggu, tidak main hakim sendiri, melainkan, pertama-tama mengajak berdialog damai dan manusiawi dan atau menyampaikan kepada pihak keamanan. Dengan demikian, kami yakin MUI-DIY akan memberi contoh yang baik bagi yang lain, dan karena itu patut dipuji dan dihargai.
Kami yakin bahwa semua agama, khususnya agama Islam, mempunyai “prinsip antikekerasan.” Semua agama mengajarkan cinta kasih dan saling menyayangi sesama umat manusia tanpa memandang latarbelakangnya. Biarlah perbedaan tidak menjadikan kita sebagai orang beragama yang senang dengan kekerasan, tetapi yang membawa damai bagi banyak orang.
Kami akhiri surat kami ini dengan harapan bahwa kita semua menjadi bagian terdepan dalam menebarkan perdamaian kepada sesama demi Indonesia yang adil dan beradab.
Yogyakarta, 17 Januari 2014
Elga Sarapung
(a.n. Masyarakat Antikekerasan Yogyakarta)
Tembusan diberikan kepada:
1. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
2. Kepala Kementerian Agama, Daerah Istimewa Yogyakarta
3. Kepala Kepolisian Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta
4. Lembaga-Lembaga Keagamaan, Daerah Istimewa Yogyakarta
[1] MAKARYO terdiri dari: Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Forum Komunikasi Perempuan Politik DIY, Forum LSM DIY, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Fakultas Hukum UII, Perkumpulan IDEA, IKPM Sumsel, Indonesia Court Monitoring (ICM), Institut DIAN/Interfidei, Institute for Research and Empowerment (IRE), Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) DIY, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS), Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (MADYA), Masyarakat Peduli Media (MPM), Narasita, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Sleman, PMII DIY, People Like Us (PLU) Satu Hati, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY, Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Yogyakarta, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII), Pusat Studi Islam (PSI) Universitas Islam Indonesia (UII), Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Jogja, Rifka Annisa, SATUNAMA, Sekolah Bersama (Sekber) Yogyakarta, Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Gusdurian, Solidaritas Wartawan untuk Udin, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yasanti, PW Fatayat NU-DIY
[2] MAKARYO mencatat, paling tidak ada 18 kasus kekerasan terjadi di DIY dalam kurun waktu tahun 1996 s.d. Oktober 2013
(Edi/Yudhi)