Berita
Seminar Kepemimpinan dalam Perspektif Islam
Pembahasan mengenai kepemimpinan Islam seperti tidak pernah selesai hingga saat ini. Berbagai sudut pandang tentang kepemimpinan mewarnai berbagai diskursus pemikiran Islam. Terlebih di tahun-tahun politik seperti di Indonesia saat ini, perbincangan mengenai kepemimpinan Islam makin hangat dibicarakan.
Berkaitan dengan itu pula, Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin (HIPIUS) mengadakan Seminar Diskursus Kepemimpinan Islam di Indonesia, di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu 9 Mei 2018. Dekan Fakultas Ushuluddin, Prof. Dr. Masri Mansur MA, menyampaikan dalam sambutan acara bahwa secara dikotomi ada kepemimpinan dari Tuhan, maka kemudian membentuk negara teokrasi. Ada sumber kepemimpinan dari demos, masyarakat atau rakyat, maka kemudian membentuk kepemimpinan demokrasi. “Indonesia ini mana? Demokrasikah? Teokrasikah? Katanya Indonesia ini bukan negara sekuler juga bukan negara agama. Indonesia negara Pancasila. Karena disebut Pancasila, itu sebagai wadah, maka saya mengistilahkan itu seperti air putih yang bisa diwarnai oleh apapun yang masuk, begitu juga kepemimpinan Islam juga bisa mewarnai air putih itu tadi tergantung mana yang kuat mewarnai, tarik-menarik.” paparnya.
Seminar ini menghadirkan berbagai sudut pandang kepemimpinan Islam di antaranya, kepemimpinan Islam dalam Era Demokrasi disampaikan oleh Dr. Abdul Moqsith Ghazali; Kepemimpinan Islam dalam Khazanah Pemikiran Klasik disampaikan Dr. Mujar Ibnu Syarif; Kepemimpinan Islam dalam Perspekif Syi’ah oleh Dr. Muhammad Zuhdi; dan Kepemimpinan Islam dalam Perspektif Ahmadiyah oleh Mln. H. Abdul Basit. Berdasarkan pemaparan para narasumber, baik melalui dalil naqli (teks Al-quran maupun hadis) maupun aqli (akal), ada kesamaan pemikiran bahwa kepemimpinan (pemimpin), dalam Islam itu harus ada. Yang membedakan kemudian adalah apakah pemimpin itu dipilih oleh manusia, ataukah Tuhan (Allah swt); apakah kepemimpinan dalam Islam itu hanya memimpin dari segi spiritualitas (agama) saja, ataukah juga pemimpin negara.
Bicara mengenai kepemimpinan, Dr. Abdul Moqsith menjelaskan bahwa ada beragam pandangan mengenai sistem pemerintahan Islam. Menurutnya ada yang berpendapat bahwa Islam memiliki sistem pemerintahan. “Untuk masuk toilet saja, kata kelompok yang ini, Islam mengaturnya sedemikian baik, maka tidak mungkin Islam tak mengatur soal-soal penting kenegaraan.,” paparnya. Sedangkan pandangan lain, lanjutnya, Islam tak mengatur soal teknis penyelenggaraan pemerintahan; hanya bicara soal etika pemerintahan, bukan sistem pemerintahan.
Pertanyaannya, kata Abdul Moqsith, apakah Islam mengatur dasar-dasar negara? Lalu bagaimana dengan Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia? Pancasila tidak bertentangan dengan syariat Islam, akan tetapi sesuai dengan syariat Islam. “Di lingkungan kyai NU, muncul pandangan Pancasila adalah syariat Islam itu sendiri karena di dalam Pancasila ada tauhid, ada kemanusiaan, ada persatuan, ada musyawarah, ada keadilan. Semuanya justified di dalam Al-Quran dan Hadis,” papar Abdul Moqsith.
Membahas kepemimpinan Islam dalam khazanah pemikiran Klasik, Dr. Mujar Ibnu Syarif mengutip kriteria-kriteria pemimpin yang diajukan oleh beberapa pemikir klasik seperti al-Ghazali dan al-Mawardi. Al-Ghazali mengemukakan sepuluh syarat kepala negara Islam, yaitu: dewasa atau aqil baligh, memiliki otak yang sehat, merdeka dan bukan budak, laki-laki, keturunan Quraisy, sehat, memiliki kekuasaan yang nyata, memiliki hidayah, memiliki pengetahuan, dan wara’ (kehidupan yang bersih dengan kemampuan mengendalikan diri, tidak berbuat hal-hal terlarang dan tercela).
Sementara itu al-Mawardi mengemukakan tujuh syarat kepala negara Islam, yaitu: sikap adil dengan segala persyaratannya, ilmu pengetahuan yang memadai untuk ijtihad, sehat (pendengaran, penglihatan dan lisannya), utuh anggota-anggota tubuhnya, wawasan yang memadai, keberanian yang memadai, dan keturunan Quraisy.
“Berbeda dengan al-Ghazali, al-Mawardi membolehkan non-Muslim memegang jabatan wazir tanfidz. Perjalanan sejarah Islam menjadi saksi bahwa beberapa pos penting dalam birokrasi negara Islam, semisal sekretaris negara, telah dijabat non-Muslim. Namun sebelum al-Mawardi, tak pernah ada seorang pun pemikir politik Muslim yang berani memberikan justifikasi terhadap kenyataan ini. Karena itu, pendapat Mawardi tersebut cukup membuat kejutan pada zamannya.” Terang Dr. Mujar Syarif. Berkenaan dengan Islam dan Politik, Dr. Mujar berpendapat, keduanya tidak bisa dipisahkan. “Jangan lepaskan Islam dari politik, jangan juga terlalu dalam masuk soal politik pada Islam,” pungkasnya.
Sementara itu dalam pandangan Ahmadiyah, H. Abdul Basit mengatakan bahwa agama dan politik harus dipisahkan. Ahmadiyah yang meyakini Khalifah Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) sebagai Imam Mahdi, adalah pemimpin spiritual (keagamaan); tidak bersifat politik. Namun demikian, kata Abdul Basit, Ahmadiyah menghormati setiap pilihan politik berbagai pihak. “Lembaga Khilafah Ahmadiyah tetap fokus pada persoalan akhlak dan kerohanian saja, dan memberikan tuntunan yang diperlukan para pemimpin politik agar dapat menciptakan keadilan dan keharmonisan sosial,” paparnya.
Muslimin Syiah di Indonesia khususnya, sudah sepakat dan tidak ada pertentangan dengan ideologi negara yakni Pancasila, karena nilai-nilai dalam setiap butir Pancasila itu telah mencerminkan nilai-nilai Keislaman.
Berbicara dalam konteks kepemimpinan atau sosok pemimpin Islam yang lebih luas, Dr. Zuhdi menjelaskan bahwa menurut Syiah, kepemimpinan itu adalah anugerah Tuhan. Jadi, dia estafetnya ilahiyah. “Kenapa Nabi Muhammad jadi pemimpin? Karena dia wilayah Tuhan. Jadi memerankan peran Tuhan. Allah swt Maha Mutlak, Absolut, dan manusia itu relatif. Tidak mungkin yang relatif itu bertemu dengan yang mutlak. Mesti ada wasilah (penghubung). Nabi (sebagai wasilah) memiliki nilai kemaksuman yakni ilahiyah, di sisi lain Nabi juga sebagai manusia,” papar Dr. Zuhdi. “Oleh karena itu “Shalawat” bagi orang Syiah, itu kata mutlak.” imbuhnya.
Baca juga: Bershalawat: Ciri Mukmin Sejati
Di Iran, misalnya, kata Dr. Zuhdi yang pernah ke negeri Mullah itu, shalawat telah menjadi bagian hidup rakyat Iran. Bahkan, di dalam bus, orang sering bershalawat bersama-sama, terlebih di majelis-majelis.
“Ketika Nabi ini mutlak, yakni memiliki nilai Absolut, Nabi juga memiliki nilai relatif, itu ada kemaksuman di sana. Kemaksuman, apakah hanya pada Nabi saja? Tidak bagi Al-Quran.” lanjut Dr. Zuhdi.
“Sungguh tiada lain Allah berkehendak menjaga kamu dari dosa-dosa hai Ahlul bait dan mensucikan kamu dengan sesuci-sucinya.” (Al-Ahzab/33: 33)
Dr. Zuhdi menerangkan bahwa Ahlulbait secara terminologis bukan zuriat nabi melainkan Imam 12. Yang dimaksud Ahlulbait, menurut Ibnu Katsir, kata Dr. Zuhdi, dan bisa ditemukan dalam penjelasan-penjelasan lain, adalah lima orang: Rasulullah saw, Sayyidah Fatimah, Imam Ali, Imam Hasan, dan Imam Husein.
“Seorang Ahlulbait memiliki dua dimensi, anugerah Tuhan dan kemampuan intelektualitas dia sendiri. Jadi, seorang pemimpin itu mempuanyai dua dimensi; dimensi ilahiyah dan insaniyah.” kata Zuhdi.
Berdasarkan nas, dan rasional, kepemimpinan setelah Rasulullah adalah ‘Ali bin Abi Thalib. “Ketika ditanya siapa sahabat nabi yang paling cerdas? Pasti jawabannya Ali bin Abi Thalib.” Rasulullah saw. bersabda: “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Siapa yang menginginkan ilmu hendaklah ia melewati pintunya. Sungguh Ali as., telah mewarisi ilmu awal dan akhir, dan aku melihat dia lebih mengetahui apa yang terhimpun pada mereka semua.”
Dalam hadis yang lain Rasulullah saw menegaskan bahwa, “siapa yang menjadikan aku sebagai wali (pemimpin) maka ‘Ali bin Abi Thalib adalah wali (pemimpin) sepeninggalku.”
Kepemimpinan kemudian berlanjut hingga Imam Mahdi a.s. Imam Mahdi menurut Syiah adalah keturunan Nabi Muhammad saw yang dicatat sebagai Imam ke-12. Diangkat menjadi Imam umur lima tahun. Ada tanda-tanda fenomenal yang ada pada dirinya. “Suatu hari ketika dia sedang duduk (umur lima tahun) ada ayahnya, ada seorang bertanya, apa tanda-tanda kiamat, dsb? Ditanya pertanyaan-pertanyaan yang paling sulit, ada kakak-kakaknya juga. Kata Imam Mahdi, biar saya yang jawab. Kemudian dijawab sampai rinci. Kata ayahnya, inilah Imam. Karena menurut Syiah, penunjukan Rasul dan Imam, itu wewenang Allah Ta’ala.” terang Dr. Zuhdi.
Baca juga: Biografi Singkat Imam Mahdi Afs.
Lebih lanjut Dr. Zuhdi menerangkan, ketika Imam Ghaib Kubro, maka Imam berkata, apabila suatu saat kamu bertemu orang yang alim, yang tidak cinta dunia, yang cinta ilmu pengetahuan, yang tidak pernah melakukan dosa-dosa besar, dan tidak mengulangi dosa-dosa kecil, maka bertaqlidlah kepadanya. Dari sisi ini lahirlah konsep marjaiyyah. Jadi, marjaiyyah ini adalah orang-orang yang konsentrasi secara hukum, kira-kira untuk sampai derajat marja taqlid itu dia perlu sekolah kurang lebih 40 tahun. Dan itu ada sekolahnya di Iran. Dengan melalui bermacam-macam tes, baru setelah lulus dia bisa disebut mujtahid. Ini namanya marja taqlid. Imam Khomeini, kitab ushul fikihnya ada delapan jilid dalam bahasa arab. Setiap mujtahid, dia harus mengeluarkan kitab ushul fikih baru dan harus menulis kitab fikih baru.
“Suatu hari saya pernah ikut sekolah mujtahid, ikut-ikutan saja di masjid, itu membahas satu ayat dalam Al-Quran, itu memakan waktu satu tahun, perbandingan dari berbagai mazhab.” kata Dr. Zuhdi.
Dalam ranah fikih atau ibadah lahir marja taqlid, pada ranah politik, kata Dr. Zuhdi, lahir wilayatul faqih. Sebuah sistem pemerintahan yang kepemimpinannya di bawah kekuasaan seorang fakih yang kekuasaannya bersifat mutlak, hal ini sesuai dengan ajaran al-Quran yang memerintahkan untuk patuh pada Allah dan patuh pada Rasul, serta ulil amri, yaitu menurut Imam Khomeini tidak lain adalah para imam dua belas, dan penerus-penerus risalah mereka.
Konsep kepemimpinan dalam mazhab Syiah Imamiyyah merupakan lanjutan kepemimpinan dari nabi Muhammad saw, kemudian dilanjutkan para Imam dua belas, yakni Imam ‘Ali bin Abi Thalib, hingga Imam Mahdi. Saat Imam Mahdi mengalami ghaib kubra, kepemimpinan diteruskan oleh para faqih. Konstitusi kepemimpinan dalam mazhab Syiah dalam konteks negara Iran, menetapkan para ulama memiliki wewenang tertinggi dalam menjalankan dan mengarahkan pemerintahan.
Siapa wilayatul faqih? “Yaitu kumpulan para mujtahid, sekitar 40 orang atau lebih mengangkat satu orang yakni Rahbar. Syaratnya pertama dia lebih alim dari yang lain, dia menguasai ilmu pengetahuan, tidak cinta dunia, tidak pernah melakukan dosa besar, tidak mengulangi dosa kecil, dan tidak pernah melakukan maksiat,” kata Dr. Zuhdi.
“Di mana posisi presiden? Presiden itu di bawah, kurang lebih lima level. Jadi misalnya, pemilihan presiden di Iran, rakyat mengajukan beberapa nama, katakanlah lima orang, diserahkan ke wilayatul faqih. Dari lima yang diajukan itu nanti ada tim khusus, yang menjelaskan sekolah mereka dimana, alim atau tidak alim, pernah berbohong nggak, pernah berzina nggak, kepribadian dia, keluarganya dia, maksiat atau tidak, keluarganya siapa, ditelusuri semua. Katakanlah dari lima tadi dipilih tiga orang, yang tiga orang tadi diserahkan rakyat untuk memilih salah satunya.” pungkas Dr. Zuhdi. (M/Z)