Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Lihat Gurunya untuk Pilih Sekolahnya!

Jelang akhir tahun pelajaran, para orangtua murid atau siswa mulai sibuk memilih sekolah yang tepat untuk putera-puterinya. Selain untuk memastikan bahwa putera-puterinya tidak salah memilih sekolah baru mereka, kadang juga didorong oleh soal gengsi.

Ada yang konyol mengartikan gengsi itu dengan mahalnya biaya sekolah, namun ada juga yang mengejar kualitas pendidikan. Kelas sosial kadang sangat berpengaruh terhadap gengsi. Makin tinggi kelas sosial seseorang, misalnya pejabat negara atau pengusaha sukses maka makin cenderung menjadikan biaya mahal sebagai ukuran gengsi.

Adapun pengejar kualitas seringkali juga keliru menentukan ukuran. Pada umumnya, orang tua siswa tertarik memilih sekolah dengan melihat kurikulumnya. Lebih tinggi lagi minatnya jika sekolah tersebut menggunakan kurikulum pendidikan luar negeri. Barangkali inilah yang dulu diperkenalkan oleh Suwarno dkk. sebagai penyakit sosial dunia ketiga dengan efek modernitas. Kemajuan atau saat itu populer dinamai modern menurutnya adalah sesuatu yang berasal daru luar. Milik sendiri dipandang sebagai sesuatu yang ketinggalan. Laksana barang-barang impor, kurikulum pun akan lebih dipandang berkualitas lantaran ia dari Cambridge, Oxford, Harvard, Al-Azhar, King Saud, Qom, bahkan Nanyang, dan Kuala Lumpur, serta semacamnya.

Apakah benar bahwa kurikulum sekolah merupakan penentu kualitas sebuah sekolah pilihan? Mungkin benar. Namun yang paling menentukan adalah kualitas gurunya. Guru yang handal amat menentukan pembelajaran itu berkualitas atau tidak. Guru adalah kurikulum hidup.

Mari tengok sekejap sejarah para ilmuwan Muslim klasik. Mereka disebut-sebut terbukti menjadi expert dalam berbagai disiplin ilmu. Semua berhasil mengembangkan ilmunya berkat persentuhannya dengan guru-guru yang hebat. Sistem pendidikan sebelum terlembaga menjadi sekolah formal itu tidaklah mengandalkan kurikulum sebagai panduan pembelajaran melainkan para sosok yang mengatur materi pembelajaran sesuai karakter muridnya. Mirip dengan konsep multiple inteligence yang saat ini disebut sebagai konsep mutakhir pendidikan.

Kecerdasan tiba-tiba terpompa dari sosok sang guru yang tampil di muka majelis ilmu. Ia menginspirasi dan memantik kecerdasan para pelajar. Guru-guru yang baik adalah guru yang tampilnya saja sudah terasa sebagai pemantik kecerdasan. Mereka belum berbicara saja sudah bisa memberi kekuatan kepada pelajar. Kini, sosok semacam ini sudah amat langka. Sangat sedikit guru era ini yang dirinya ibarat kurikulum itu sendiri. Justeru amat tidak sulit kita menemukan, misalnya, seorang guru yang mengabaikan tata bahasa dalam penulisan kalimat atau karangan hanya karena ia guru IPS atau IPA, bukan guru Bahasa Indonesia. Di sinilah sosok guru menjadi pertaruhan terbesar dunia pendidikan. Itu dari kognitif (pengetahuan), belum lagi dari segi afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan). Walhasil, memilih sekolah tidak harus karena kurikulumnya dari lembaga pendidikan luar negeri, melainkan pertama-tama pilih guru yang baik. (Abu Mufaddhal)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *