Opini
Yang Terusir Dan Dilarang Kembali
*
SUDAH hampir setahun enam bulan warga Syiah Sampang menjadi pengungsi. Semula kita mengira alasannya karena konflik di tengah warga. Namun kemudian kita tahu mereka sengaja hendak diusir berlama-lama oleh elit yang bengis, oleh pemda yang pandai berpura-pura, oleh pemerintah pusat yang semakin terbiasa berbuat keji terhadap warganya, dan oleh presiden yang terlalu sibuk mengurus dirinya sendiri.
Bujadin 42 tahun dan istrinya mendengar berita duka di pengungsian. Orang tua mereka di kampung meninggal dunia. Setelah agak bersikeras meminta izin pulang ke petugas BPBD di pengungsian, mereka akhirnya diizinkan pulang ke kampungnya di Desa Bluuran, Sampang.
Duka dan rindu diperam di hati Bujadin dan istrinya. Sudah berbulan-bulan mereka berpisah dari orang tua. Kini yang bisa mereka lihat hanya tubuh kaku membujur yang tak berkata-kata. Kesedihan melambung berteriak-teriak meremas hati dua pengungsi Syiah yang pendiam ini. Ada yang tidak adil, ada yang menindas di hati mereka, namun rakyat kecil seperti harus terbiasa membungkam penderitaan dengan patuh di negeri ini.
Warga di kampung menyambut Bujadin dan istri dengan hangat dan penuh persaudaraan. Ya, konflik sebenarnya memang sudah berakhir sejak pengungsi dan warga di kampung mendeklarasikan islah dan piagam perdamaian pada 23 September 2013. Tapi dunia tidak sepenuhnya tahu. Karenanya polisi di kampung dan Pemkab Sampang masih percaya diri mendongengkan keadaan tidak aman sebagai alasan memaksa Bujadin pulang ke pengungsian tak genap 12 jam semenjak kehadirannya di kampung. Istrinya diberi jatah 2 hari sebelum akhirnya turut dipaksa pulang kembali sebagai pengungsi.
Warga di kampung menyesali tindakan polisi mengusir keduanya. Warga iba melihat kesedihan dan kerinduan Bujadin dan istrinya yang belum reda. Tapi pengusiran keduanya oleh polisi sudah bulat. Tak ada tahlil, tak banyak doa-doa khusuk bisa dipanjatkan di kubur ibundanya.
Pengungsi bernama Paidi, Jali, Jamali, Maf dan Nurhalimah juga pernah diam-diam merencanakan pulang bersama-sama ke kampung mereka di Karanggayam dan Bluuran. Dua kampung yang menjadi pusat konflik dan kekerasan terhadap warga Syiah yang ada di pengungsian Rusunawa Sidoarjo. Mereka datang ke kampung untuk menguji apakah islah sungguh-sungguh telah ada hati warga di kampung.
Malam-malam mereka menyelinap keluar dari pengungsian yang penjagaan dan intel-intelnya berseliweran semakin mirip kamp tahanan. Menjelang pagi hari mereka tiba di kampung masing-masing. Suasana sangat cair. Beberapa orang warga memeluk mereka. Seorang yang pernah menjadi pelaku penyerangan meminta maaf dan memberi cincin tanda persaudaraan yang kembali. Kehidupan seperti dulu yang penuh kerukunan sekejap mereka rasakan.
Rupanya islah sudah memasuki tulang sumsum warga. Saat itu sudah aman untuk mengatakan bahwa rajutan islah yang diprakarsai warga dan pengungsi bukan basa-basi, bukan kebohongan dan bukan kehendak semu sesaat. Sejauh mereka berkeliling dan memasuki kampung suasana perdamaian memancar dari warga. Senda gurau ditemani kopi dan asap rokok memecah kesalahpahaman yang pernah menjadi petaka di antara mereka.
Namun tak berapa lama satu-satu di antara mereka dijemput sejumlah Brimob dan seorang petinggi polisi setempat bernama Sukoco yang kemudian diketahui terkenal rajin mengusir pengungsi dari kampungnya. Tak lebih dari enam saja mereka berada di kampung. Polisi sudah melingkari rumah mereka dan memaksa mereka kembali ke rusun.
Paidi dan kawan-kawan mencoba membangun pengertian dengan sopan di hadapan polisi. Mereka datang untuk menjenguk keluarga. Untuk silaturahmi dan merajut perdamaian yang sudah terbuat. Sukoco tak mau tahu. Dia bilang kondisi tak aman. Saat dikejar oleh Paidi, tak jelas betul di mana tak amannya. Keyakinan mereka terhadap ajaran Syiah kembali diusik, dipersalahkan dan dibuat sebagai alasan pengusiran dalam perdebatan siang itu.
Mereka pun digelandang ke kantor polisi. Sebagian ada yang harus setengah diseret karena bersikeras menolak kemauan polisi. Pak Maf, misalnya, tak sempat memakai baju kemejanya dan hanya berbalut sarung saat digelandang ke kantor polisi. Tak lama kemudian mereka dipaksa kembali ke pengungsian di rusun. Kurang dari 7 jam saja mereka berada di kampung.
Meski sesaat, cerita-cerita di atas sungguh riil. Perdamaiannya nyata. Bisa dipegang dan disentuh. Pertemuan hati manusia dengan manusia untuk berdamai dan hidup rukun sudah bersaksi untuk dirinya sendiri. Warga bahkan memohon polisi untuk tidak mengusir pengungsi pulang. Sebagian keluarga pengungsi berusaha menjamin dan meyakinkan polisi untuk membiarkan pengungsi bersama mereka lebih lama. Tapi rupanya kondisi tidak aman adalah fiksi yang ingin terus didesakkan polisi dan Pemkab Sampang.
Tak ada yang benar-benar tahu soal keberhasilan islah ini karena selama ini klaim dan cerita soal islah dan situasi kondusif di kampung selalu dimonopoli oleh polisi dan Pemkab Sampang. Cerita itu kemudian dilanjutkan Menag Suryadharma Ali dan sampai ke Presiden SBY, yang memang tak pernah menaruh hatinya secara serius untuk urusan selain kepentingannya sendiri.
Meski sudah mengusahakan islah untuk diri mereka sendiri tanpa secuil pun difasilitasi pemerintah, sepertinya warga di kampung dan pengungsi akan kalah oleh kemauan pemerintah yang tak segan berbuat jahat dan keji hati terhadap warganya.
Pengungsi akan terus berada di pengungsian tanpa alasan yang jelas hanya karena pemerintah suka melakukan itu. Dalam pengungsian sebagian mereka tertekan dan menangis di malam hari karena bingung memikirkan masa depan anak-anak mereka. Tanpa nafkah, tanpa ladang untuk digarap dan tanpa harapan.
Inikah hukuman karena berbeda keyakinan dengan keyakinan mayoritas? Dengan pandangan keagamaan yang diinginkan penguasa. Keyakinan yang seharusnya menjadi hak yang melekat di dalam diri manusia telah ditindas oleh pemerintah di Sampang dan pelan-pelan penindasan itu diterima sebagai kewajaran.
*Oleh Hertasning Ichlas (Koordinator YLBHU)