Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Mengurai Ushul Fikih Maulid Nabi di Amsterdam

Sinau Bareng di Islamitische Basisschool el-Amien Amsterdam ini sesungguhnya sangat menarik secara ilmiah karena pembahasan yang dilakukan Cak Nun sangat komprehensif, walaupun sebenarnya ini bukan forum seminar akademis atau kajian ilmiah, melainkan “pengajian”. Tetapi, seperti di forum manapun, termasuk Maiyahan, jika dicermati betul, Cak Nun selalu bertumpu pada (atau tak pernah meningggalkan) penalaran yang ilmiah tatkala mengulas berbagai hal, di luar kemahiran Beliau dalam membangun suasana yang saling dekat di hati dan membawa berbagai analisis untuk ditarik secara spiritual. Nah di Amsterdam ini, bobot ilmiah Cak Nun amat terasa.

Para pelajar Indonesia yang akrab dengan cara berpikir metodologis ini benar-benar disuguhi olah berpikir yang solid oleh Cak Nun. Seluruh komponen analisis disertakan. Cak Nun memulai uraian dari adanya sebagian orang yang masih keberatan dengan tradisi Maulid Nabi Muhammad Saw, sekalipun tradisi ini sudah berabad-abad lamanya berlangsung. Dalih mereka, tradisi ini merupakan bid’ah. Hal yang tidak ada perintah dan contohnya dari al-Qur’an maupun Nabi Muhammad sendiri.

Dari situlah mereka diajak menyusuri dasar-dasar beragama dalam konteks penetapan hukum atas suatu pekerjaan, amal, atau hal baru. Tidak ada pretensi pada diri Cak Nun agar siapapun mengikuti logika Beliau, tetapi Beliau ingin menyumbangkan metodologi memahami beberapa aspek Islam yang dalam banyak hal meminta ketekunan dan kesabaran setahap demi setahap karena perlu dilibatkannya sejumlah unit analisis. Tidak bisa serta merta dengan gegabah mengatakan ini haram atau ini bid’ah tanpa melalui proses penalaran yang utuh.

Tiga Komponen

Sekurang-kurangnya, terdapat tiga komponen penting yang diuraikan Cak Nun. Pertama, Cak Nun memaparkan dua jenis ibadah dalam Islam, yaitu ibadah mahdhoh dan ibadah muamalah, dan proporsi keduanya di dalam semesta Islam dan al-Qur’an. Kedua, Cak Nun uraikan pengertian bid’ah dan bukan bid’ah. Ketiga, Cak Nun menerangkan lima matriks hukum Islam yaitu wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram. Selama ini, kita hanya menyempitkan rentang itu pada ungkapan halal-haram. Tidak salah, tapi kurang lengkap. Ketiga pilar itu sangat berhubungan satu sama lain dalam proses menetapkan suatu hukum.

Ditelaah dari jenis pertama, tradisi atau peringatan Maulid Nabi tergolong pada wilayah muamalah atau ghoiru mahdhoh di mana prinsipnya adalah tindakan, tradisi, atau kebiasaan boleh dilakukan sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya atau menentang syariat Islam. Dalam wilayah muamalah, sebagaimana lazim diartikulasikan para ulama fikih, prinsipnya adalah “pada dasarnya sesuatu itu boleh, sepanjang tidak ada ayat atau dalil yang melarangnya”. Hal yang berkebalikan dengan prinsip ibadah mahdhoh.

Letak Bid’ah dan Evolusi Kehidupan Budaya Manusia

Sementara dilihat dari sudut yang kedua, yakni hal bid’ah atau bukan, Cak Nun mengintroduksi pemahaman yang cukup mendasar, yang sejauh ini belum banyak diartikulasikan dalam berbagai literatur. Cak Nun mengaitkan ihwal bid’ah atau bukan ini dengan ibadah mahdhoh dan ibadah muamalah. Korelasi bid’ah itu sebenarnya terletak ranah ibadah mahdhoh. Secara terminologis, bid’ah itu melakukan sesuatu yang tak ada contohnya atau perintahnya. Jika disinkronkan dengan prinsip ibadah mahdhoh, yaitu melakukan persis seperti yang diperintah atau dicontohkan, dan ini adalah rukum Islam (Syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji), maka letak urusan bid’ah itu ada di wilayah ibadah mahdhoh. Artinya, jika kita melakukan sesuatu di wilayah rukun Islam yang tak ada perintah dan contoh atau dalilnya, maka itulah bid’ah.

Sementara itu, dalam wilayah muamalah (di luar lima rukun Islam, dan betapapun bukan berarti tidak diatur oleh syariat Islam), praktik atau kegiatan umat Islam itu tidak terlalu terkait dengan pengertian spesifik bid’ah, sebab prinsip ibadah muamalah lebih memberi “kelonggaran”, ketimbang pengertian mahdhoh dan bid’ah yang lebih “membatasi”. Ia justru akan lebih berhubungan langsung dengan matriks lima hukum Islam (wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram), dengan penekanan bahwa jumlah kemubahan jauh lebih luas, karena prinsipnya pada dasarnya semua hal adalah boleh sampai ada dalil yang mengatakakn sebaliknya. Dalam bahasa Cak Nun, yang mahdhoh itu 3,5 persen, sedangkan yang muamalah itu 96,5 persen di dalam al-Qur’an. Yang pertama sifatnya fixed, baku, dan tak bisa ditawar. Sedang yang kedua memberikan ruang kreativitas, pencarian, dan diskusi atau berpikir.

Pada titik ini, mengaitkan bid’ah dan bukan bid’ah dengan kategori wilayah ibadah mahdhoh dan ibadah muamalah merupakan kontribusi tersendiri dari Cak Nun. Sejauh ini tampaknya pembahasan bid’ah langsung dihubungkan dengan ada tidaknya dalil. Tidak didasari dengan kesadaran akan bahwa wilayah bid’ah itu ada pada ibadah mahdhoh, karena pada ibadah mahdhoh tak boleh ada praktik baru yang menyimpang. Tidak adanya dasar seperti inilah yang barangkali memunculkan adanya terminologi bid’ah hasanah (baik) yang dioposisikan dengan bid’ah dholalah (sesat). Bid’ah yang dholalah bagi Cak Nun adalah bid’ah yang menyentuh atau mengubah rukun Islam.

20161227-cnmv-amsterdam-05

Sementara apa yang selama ini diperdebatkan mengenai bid’ah atau bukan lebih cenderung terletak pada wilayah pemahaman akan apa yang disebut khasanah itu dan seperti apa kriterianya. Untuk hal ini, Cak Nun melengkapi analisisnya dengan mengingatkan bahwa Allah sendiri memiliki sifat al-Badi’ (yang mengawali). Kata bid’ah itu serumpun dengan badi’ yaitu melakukan atau membuat hal yang belum ada sebelumnya. Selain itu, Cak Nun juga mengingatkan mengenai natur hidup manusia atau kehidupan sejarah, di mana ada evolusi dan perkembangan dari sesuatu yang belum ada menjadi ada. Dulu belum ada peci, sekarang ada. Dulu belum ada gadget, sekarang ada. “…hari ini kita menggunakan gadget untuk berkomunikasi. Apakah itu disebut bid’ah dholalah? Tentu tidak. Karena baik atau buruknya sebuah kreativitas manusia bergantung pada situasi dan kondisinya… Apakah digunakan untuk kebaikan atau keburukan,” terang Cak Nun.

Selama ini pengkategorian bid’ah khasanah dan bid’ah dholalah cenderung diterima begitu saja, tanpa disertai eksplorasi dan pengembangan pemahaman. Artinya, apa yang masuk dalam kategori bid’ah khasanah atau bid’ah dholalah seakan sudah jelas. Sementara khasanah atau tidak khasanahnya sesuatu merupakan sesuatu yang dinamis dan perlu dikaji terus. Di sini, Cak Nun punya sumbangan cukup baik, yaitu memandang khasanah atau tidak itu sebagai sesuatu yang dinamis, tidak statis, dan bergantung pada banyak variabel. Karena itulah prinsip-prinsip ushul fikih diperlukan. Sebab baik tidaknya sesuatu perlu dilihat manfaat mudaratnya, perlu dilihat ruang dan waktu pelaksanaannya. Sesuatu yang pada dasarnya wajib atau baik pun jika dilaksanakan tidak pada ruang dan waktu yang tepat juga akan tidak baik.

***

Dari pemaparan struktur hukum Islam itu, para peserta mendapatkan penjelasan bahwa bid’ah tidak semestinya dipahami dalam konteks lima hukum (wajib, sunnah, makruh, mudah, dan haram) seakan menambahi jenis hukum selain yang lima itu. Dalam maknanya yang umum, bid’ah adalah sesuatu yang baru dan belum ada contoh sebelumnya. Ia adalah kreativitas, inovasi, dan pembaharuan. Dari situlah kemudian orang didorong untuk menemukan kira-kiranya hukumnya apa. Dan hukum itu akan berhubungan dengan baik-buruk dan manfaat-tidaknya sesuatu yang baru itu. Baik dan buruk sangat bergantung situasi dan kondisi. Cak Nun memberikan contoh pisau. Ia akan buruk kalau digunakan untuk menyakiti orang atau membunuh orang, tetapi akan baik dan bermanfaat bila dipakai untuk mengupas atau memotong buah-buahan.

Di dalam menetapkan baik buruk itu, Islam sudah membekali dengan dasar, bahwa pada wilayah muamalah (ghoiru mahdhoh) ‘segala sesuatu itu pada dasarnya boleh atau mubah.’ Di dalam mengoperasikan lima matriks hukum Islam pun demikian. Apa yang tidak diperintahkan Allah, belum tentu ia pasti haram atau tidak boleh. Contohnya adalah tradisi atau peringatan Maulid Nabi itu sendiri. Cak Nun mengatakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ini memang tidak ada perintahnya dari Allah untuk melaksanakannya tetapi juga tidak ada larangannya. Dan sebagaimana dalam prinsip wilayah ibadah muamalah yaitu kebolehan, manusia berhak menentukan untuk melakukannya atau tidak melakukannya.

Dari paparan Cak Nun ini pula para peserta memahami bahwa dalam Ibadah Mahdhloh rumusnya sederhana: “Jangan lakukan apapun kecuali apa yang diperintahkan oleh Allah. Sementara dalam Ibadah mumalah rumusnya adalah ‘lakukan apa saja kecuali yang dilarang oleh Allah Swt”.

Yang menarik pula adalah bahwa mereka diajak memahami dan menyertakan kesadaran budaya dalam memahami hukum Islam. Cak Nun menjelaskan banyak sekali budaya yang lahir dan berkembang yang sejalan dengan evolusi manusia. Sarung misalnya, itu merupakan produk budaya. Islam hanya mengatur bahwa ketika sholat, kita harus menutup aurat. Sarung dan Mukena adalah produk budaya dan inovasi manusia yang kemudian diaplikasikan dalam salah satu perangkat ketika melakukan sholat. Begitu juga dengan Sajadah, Tasbih, Peci, Baju Koko, dan lain sebagainya. Seperti halnya Nasi, secara dzat-nya hukum Nasi adalah halal. Tetapi barangnya belum tentu halal, bergantung pada dinamikanya. Kalau beras yang digunakan untuk diolah menjadi nasi adalah beras curian, maka hukumnya haram secara benda. Tetapi secara dzatnya, nasi tersebut tetap halal. “Halal dan haram itu ada dinamikanya, ada konteksnya, ada illat-nya. Maka Fiqih itu berkembang, maka ada Ushulul Fiqih, ada filsafat hukum”, urai Cak Nun memberi contoh.

Hukum dan Akhlak Sesama Muslim

Meskipun sebenarnya cukup kompleks ihwal hukum Islam ini, namun Cak Nun mampu menerangkan semua itu dengan sederhana, dengan contoh yang relevan, dan dalam alur yang mudah dipahami pula. Jika dilihat dari sudut yang lain, apa yang disampaikan Cak Nun ihwal peringatan Maulid Nabi ini merupakan pelajaran tentang logika dan metodologi hukum Islam. Hal yang sebenarnya makin perlu diperhatikan di masa-masa sekarang.

20161227-cnmv-amsterdam-06

Pada tahap selanjutnya, Cak Nun memberi contoh bagaimana tidak bisa lepasnya perilaku kita dalam memahami hukum Islam dengan adab, di mana adab itu sendiri cukup jelas disebutkan di dalam al-Qur’an, tetapi kita masih belum optimal melakukannya. Kita masih punya jarak antara hukum dan akhlak. Contoh yang saat ini sedang Cak Nun prihatinkan adalah kecenderungan kita untuk gampang menghakimi dan menyakiti sesama orang Islam, sementara al-Qur’an meminta kita untuk bersikap lemah lembut dan penuh perasaan (adzillatin ‘alal mukminin).

Kita dengan mudah menghakimi dan menyakiti, seakan kita tak punya hati dan perasaan, dan itu semuanya boleh jadi hanya karena kita tidak sependapat dengan pandangan hukum atau ijtihad saudara kita yang lain, atau praktik amaliyah-nya kita anggap bid’ah padahal yang terjadi dia tidak sependapat dengan metodologi penetapan hukumnya. (Caknun.com)

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *