Berita
Pusat Studi Pesantren Adakan The Asia Interfaith Forum 2017 di Bogor
Bogor – Pusat Studi Pesantren (Center for Pesantren Studies) menggelar The Asia Interfaith Forum 2017 di Bogor, Jawa Barat, kemarin. Kegiatan yang mengangkat tema Religious Radicalism dan Terrorism: Challenge, Respon, and Action ini diikuti oleh para aktivis perdamaian dan akademisi.
Forum akademisi dan para aktivis dari lima negara (Indonesia, Bangladesh, Malaysia, dan Singapura, Kamboja) ini duduk bersama untuk merumuskan aksi dalam menanggulangi radikalisme agama yang sampai saat ini menjadi duri bagi terwujudnya perdamaian dunia.
Hal itu diungkapkan oleh Direktur Pusat Studi Pesantren (PSP), Ahmad Ubaidillah, Senin (16/10) sesaat sebelum membuka forum berbahasa Inggris ini. Dalam pandangan Ubaidillah, peran para aktivis perdamaian tersebut penting dalam memberikan masukan berdasarkan pengalaman nyata yang sudah dilakukan.
“Forum ini terbatas dengan maksud agar fokus dan mendalam untuk merumuskan langkah bersama berdasarkan best practice yang sudah dilakukan di masing-masing negara,” ujar Ubaidillah.
Karena kegiatan ini bukan hanya forum aksi, tetapi juga forum akademisi dari berbagai latar belakang, harapan Ubaidillah, dari kegiatan ini muncul inisiatif untuk melakukan studi bersama di masing-masing negara.
“Bisa melakukan riset bersama sehingga networking ini memungkinkan kita tidak harus mendatangi negara-negara dimaksud untuk melakukan studi,” jelasnya.
Berangkat dari proyeksi tersebut, ia berharap forum ini menghasilkan output terutama dalam upaya penanggulangan radikalisme agama di media sosial dan dunia maya secara umum. Karena selama ini, media sosial menjadi alat propaganda nyata dalam menyebarkan radikalisme agama.
“Radikalisme tantangan bersama, bukan hanya peran negara, tetapi juga civil society,” kata Ubaidillah.
Sebagai jebolan pesantren dan warga NU, Ubaidillah tidak memungkiri peran dan idealisme pesantren dalam menguatkan paham keagamaan moderat telah mampu menciptakan harmonisasi sosial di masyarakat.
Menurutnya, pesantren juga lembaga yang selama ini konsisten mempertahankan tradisi dan budaya yang berkembang di masyarakat. Sehingga kegiatan ini juga diarahkan untuk memperkenalkan budaya Indonesia ke mancanegara sebagai bagian dari elemen penting dalam menanggulangi radikalisme agama.
“Pesantren bisa menjadi prototipe atau contoh best practice bagi mereka dalam memberikan asupan berharga dalam memahami dan mempraktikkan agama dalam kehidupan sehari-hari,” tutur Ubaidillah.
Pada sesi terakhir, para aktivis perdamaian dunia tersebut akan diajak mengunjungi Kampung Budaya Sunda untuk memperkenalkan kearifan lokal (local wisdom) yang secara kultur banyak memberikan pelajaran penting bagi dunia.
Selain menghadirkan para aktivis NGO dan sejumlah akademisi, Pusat Studi Pesantren juga menghadirkan pihak Kedutaan Besar Amerika Serikat, Gurjit Singh dan Aurelia Agustine. (nu.or.id)