Nasional
Alissa Wahid: Negara Wajib Tegakkan Keadilan Untuk Semua
Dalam pengantarnya mewakili pihak keluarga, Alissa Wahid putri Gus Dur menyampaikan beberapa hal penting dalam acara Diskusi Bersama Antar Kelompok ‘Minoritas’ yang dilaksanakan bertepatan dengan Haul Keempat Gus Dur di Ciganjur Jakarta Selatan Sabtu 28 Desember 2013.
Dalam kesempatan itu Alissa menceritakan bahwa ada beberapa hal paling menonjol dari almarhum Gus Dur yang hingga saat ini tetap diingat dan dijadikannya pedoman hidup di tengah masyarakat. Diantaranya adalah sikap pengayom mantan Presiden keempat RI tersebut dalam hal menghargai perbedaan dan menghormati keberagaman. Disamping kegigihan beliau untuk menekankan dan memastikan berlakunya suasana damai di tengah masyarakat dengan adanya perlakuan dan sikap saling menjaga, mengakui kesetaraan bagi semua, sebagai sesama manusia. Sikap-sikap itulah yang menurut Alissa, sangat layak kita teladani bersama.
“Jadi sebenarnya, sudah sejak lama Gus Dur sering berpesan kepada kami bahwa menurut almarhum istilah minoritas dan kelompok minoritas itu kurang tepat diterapkan di kalangan bangsa kita yang memang majemuk dan beragam. Karena itu, jika kita membela salah satu kelompok yang dizalimi dan ditindas oleh kelompok lain, tak peduli apakah mereka minoritas atau mayoritas, maka saat itulah sesungguhnya kita sedang berposisi sebagai pihak yang sedang menegakkan keadilan, bukan semata membela minoritas yang tertindas. Itulah yang sejatinya dikehendaki oleh Gus Dur, bahwa sampai kapanpun kita wajib menegakkan keadilan bagi semua.”
Sementara itu dalam sesi wawancara khusus dengan tim media kami, menanggapi maraknya aksi-aksi kekerasan yang belakangan makin sering dilakukan oleh berbagai kelompok intoleran dengan sasaran kelompok lain yang selama ini dikenal sebagai kelompok minoritas (seperti Jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelphia maupun Jamaah Ahmadiyah dan Muslim Syiah), Alissa sangat menyesalkan ketidaktegasan sikap Pemerintah dalam menyikapi persoalan tersebut.
“Di Yogyakarta misalnya, aksi kelompok intoleran itu nyata-nyata sudah terjadi beberapa waktu yang lalu, terutama terhadap saudara-saudara kita Muslim Syiah. Ketika ada kelompok diskusi kawan-kawan Syiah yang relatif kecil berhadapan dengan kelompok intoleran yang ingin membubarkan. Saat itu pihak keamanan justru lebih memilih memutuskan dan memerintahkan agar kelompok diskusi ini yang harus mengikuti kemauan kelompok intoleran itu agar segera berhenti melakukan kegiatan, bukan sebaliknya kelompok intoleran itu yang mestinya dicegah melakukan tindakan kesewenang-wenangan. Maka menurut saya hal tersebut jelas-jelas merupakan sikap keberpihakan dari aparat dan sudah berlawanan dengan semangat kesetaraan hukum, melanggar Undang-Undang Dasar dan Konstitusi yang menjamin hak-hak dasar setiap warga negara untuk beraktivitas, berkumpul, berserikat dan mengemukakan pendapat,” tegas Alissa.
“Sebagai bangsa besar yang berdasar Pancasila dan mengakui prinsip kebhinekaan, tentu saja kita ingin hidup makmur, adil, sentosa. Kalau begitu ya kita harus bersikap adil, saling menjaga, tidak boleh saling memusuhi dan sewenang-wenang. Kita boleh beda, tapi kata Gus Dur, yang beda jangan disama-samakan, sebagaimana yang sama pun tidak boleh dibeda-bedakan,” tambahnya.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Internal, M. Imdadun Rahmat yang juga hadir dalam acara diskusi itu.
Imdadun melontarkan kritik terhadap Pemerintah yang tidak serius menangani pelanggaran HAM di Indonesia. Terutama terkait makin menjamurnya aksi-aksi kekerasan atas nama agama dan aksi-aksi intoleran berdasarkan keyakinan yang dilakukan oleh sekelompok ormas yang merasa diri mereka paling benar sendiri.
Dalam hal ini, kasus yang menimpa Jamaah Ahmadiyah, Muslim Syiah Sampang dan beberapa daerah lain, serta banyaknya kasus serupa yang belum terselesaikan adalah akibat dari tidak solidnya kordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sehingga menimbulkan kebiasaan saling lempar tanggungjawab diantara mereka. Hal tersebut menurut Imdadun merupakan fakta yang sangat memprihatinkan dan sekaligus mencerminkan gagalnya penegakan hukum serta lemahnya peran Negara dalam perlindungan HAM.
Menyambut keprihatinan Komnas HAM, Alissa Wahid pun sebelum akhir acara merangkum rekomendasi dari seluruh peserta diskusi. Dia berharap agar ke depan, peran ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah dll. serta LSM yang memiliki kesamaan pandangan dalam menyikapi pesatnya gerakan kelompok intoleran di tengah masyarakat, untuk makin mempererat kerjasama dan mulai mencermati atau beralih strategi dalam kerja-kerja advokasi dan pendampingan kepada korban kekerasan dengan mulai lebih serius melakukan pendekatan dan edukasi ke kalangan elit pemerintahan dan instansi-instansi terkait termasuk pihak keamanan. Karena dari beberapa kasus kekerasan dan konflik sosial keagamaan yang selama ini terjadi, menunjukkan bahwa justru kalangan elit atau unsur pemerintahan itulah yang seringkali menjadi penghalang kerja-kerja advokasi dan rekonsiliasi tersebut.
Selain itu, Alissa menambahkan, bahwa menjelang Pemilu 2014 mendatang, perlu pula dilakukan dan digalang langkah-langkah kerjasama dengan pihak KPU dan unsur-unsur lain penyelenggara Pemilu agar memantau para caleg dan melarang mereka menggunakan isu-isu SARA dalam penyampaian materi kampanye. Termasuk pula perlunya edukasi kepada para caleg dari semua Parpol bahwa ‘hate speech’ atau ujaran kebencian di muka umum merupakan sebuah tindakan melawan hukum dan dengan demikian juga bisa berimplikasi hukum bagi siapapun pelakunya.
Tak dapat dipungkiri bahwa ketika di akar rumput antara kelompok masyarakat yang pada awalnya bertikai sudah sama-sama siap saling berdamai, mampu membangun kesepahaman dan mulai merajut kembali kerukunan untuk hidup berdampingan sebagai saudara seperti sedia kala, seringkali pada saat yang bersamaan pihak Pemerintah beserta aparat keamanan malah gagal berperan sebagai pengayom yang berposisi netral dan tidak memihak, dan pada akhirnya tak mampu menjalankan amanah konstitusionalnya untuk menegakkan keadilan bagi semua warga negara, tanpa memandang ras, golongan, agama maupun keyakinannya. (Abdul Malik/Yudhi)