Berita
Obituari: Bahasa Kiai Hasyim Muzadi
Oleh Hamzah Sahal
“Walisongo mengislamkan orang. Wali celana cingkrang mengkafirkan orang Islam.” Demikian KH Hasyim Muzadi menyindir orang-orang yang mudah mengafirkan sesama Muslim. Kontan saja, orang yang mendengarkannya tertawa terbahak-bahak. Itulah kekhasan Kiai Hasyim dalam berbicara, penuh humor, baik saat ngobrol terbatas hingga berceramah di depan ribuan orang.
Tidak ada rasanya orang NU yang tidak kebagian humor Pak Hasyim, demikian Kiai Hasyim Muzadi akrab dipanggil. Humor Pak Hasyim meluncur dengan deras, baik itu saat ngobrol dengan terbatas orang ataupun saat berceramah di depan ribuan jamaah pengajian. Kita bisa tertawa berulang meski ceita sudah pernah didengar berkali-kali.
Bahkan saat cermah Maulid Nabi Muhammad SAW di istana, humor mengalir, bikin suasana istana jadi cair. Dia berceramah mestinya membaca naskah yang ada di tangannya, tapi ternyata, ceramah dengan gaya bebas.
“Saya kadang-kadang berpikir, ini negara non-Muslim, barang yang hilang, kok ketemu semua. Sementera di negara yang mayoritas Islam, barang yang ada, hilang semua,” demikian dilontarkan Pak Hasyim di depan Presiden, wakil presiden, para menteri, para duta besar. Semua yang hadir tertawa, termasuk Presiden Jokowi dan Ibu Negara. Bahkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin tertawa hingga membenahi posisi duduk dan jasnya.
Di istana pula Pak Hasyim menyindir umat Islam yang memakai nama Muhammad tapi perilakunya tidak seperti Nabi Muhammad. Nabi Muhammad, kata Pak Hasyim, membuat konsensus bernama Piagam Madinah, bukan Negara Islam. Di dalamnya tertuang kesepakatan-kesepakatan hidup bersama dengan damai. Semua orang diberi ruang untuk mengembangkan kehidupannya, tanpa membedakan latar belakang agama yang berbeda.
“Ini contoh oleh Rasulullah sendiri, bukan oleh orang lain. Di sinilah bedanya, Nabi Muhammad dengan Muhammad yang belakang ini,” demikian diutarakan Pak Hasyim. Mendengar itu, Presiden Jokowi yang hadir tertawa lagi.
Bahasa Pak Hasyim Muzadi adalah bahasa humor. Semua orang dari rakyat yang tidak punya duit hingga para pejabat yang bergaji berlimpah, semuanya paham. Respon atas humor Pak Hasyim adalah tertawa gembira, baik yang disindir ataupun orang yang tidak terkait.
Dengan bahasa humor, Pak Hasyim menjelaskan yang susah menjadi mudah. Pak Hasyim dalam pelbagai kesempatan sering mengatakan perbedaan kiai dengan intelektual. Kiai itu dapat memudahkan yang sulit. Sementara intelektual yang mudah jadi sulit.
Di sinilah Pak Hasyim istimewa dalam berceramah. Ia 100 persen paham ilmu logika, gayanya sempurna, intonasinya sesuai, dan pilihan katanya tepat. Tidak semua singa podium memiliki kemahiran seperti itu. Di sinilah tidak menjadi penting siapa yang menciptakan humor, dari mana asalnya. Dua syarat humor bermutu hanya dua: pesan humor sampai dan orang tertawa. Selesai.
Komunitas pesantren dan kiai-kiai NU memang pabriknya humor. Jika ada kiai tidak lucu, kurang afdol rasanya. Jika ada santri pintar melempar joke-joke segar, maka temannya akan banyak. Humor di pesantren dengan metode macam-macam, tumbuh subur. Ia juga menjadi alat yang ajaib untuk mengilangkan kesumpekan hidup, baik karena miskin ataupun karena banyak urusan umat yang ruwet.
Kini Pak Hasyim telah tiada. Tadi pagi Tuhan memanggilnya untuk pulang di rumah keabadian. Pak Hasyim lahir di Tuban 4 Agustus 1944. Kiprahnya di NU komplet, dari mulai ranting hingga menjadi Ketua Umum PBNU dua periode. Riwayat pendidikannya cukup spesial. Bagi orang NU yang lahir tahun 1940, sangat jarang dapat kuliah S1. Orang NU mulai banyak kuliah di kota-kota baru orang yang lahir tahun 1960. Pendidikan pesantrennya yang ditempuh di Gontor juga istimewa. Pak Hasyim adalah sedikit orang dari elit NU yang nyantri di Gontor.
Selamat Jalan, Kiai… Doa kami semua untukmu…
Penulis adalah pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU); aktivis media NU
Sumber: NU Online