Berita
Salamuddin Daeng: Babak Baru Privatisasi Kilang Pertamina Pasca Kunjungan Raja Salman
Jakarta – Dalam diskusi bulanan yang diselenggarakan DPP Ahlulbait Indonesia (ABI), Jumat (3/3), Salamuddin Daeng, seorang Pengamat Ekonomi Politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, menerangkan tantangan baru yang akan dihadapi Pertamina pasca kunjungan Raja Salman ke Indonesia.
Menurutnya, lawatan raja minyak, dengan 1.500 anggota rombongan yang datang keliling Asia yakni ke Indonesia, Malaysia dan Jepang merupakan upaya untuk mencari pelampung penyelamat dalam rangka menahan Arab Saudi dari turbulensi, mencari pembeli tetap dari minyak mereka dalam jangka panjang.
Salamuddin menjelaskan, penerimaan negara Arab Saudi dari minyak saat ini sedang anjlok. Anggaran negara minus hingga 15 persen mencapai US 98 miliar dolar tahun lalu, dan tahun ini diperkirakan US 87 miliar dolar atau mencapai Rp.1200 triliun.
Kondisi ini muncul lantaran AS memberlakukan tarif yang tinggi bagi impor minyak Arab Saudi. Akibatnya Arab Saudi termasuk OPEC kehilangan pasar terbesar mereka yakni AS.
Arab Saudi sendiri telah menjalin hubungan erat dengan Amerika Serikat selama puluhan tahun lamanya. Sejak tahun 1970-an mereka telah membentuk Petro Dolar.
Lebih lanjut, Salamuddin menerangkan, minyak menjadi standar dalam pembentukan nilai mata uang dolar AS. Arab Saudi menikmati keuntungan yang besar dari perdagangan minyak. Sementara Amerika Serikat menikmati keuntungan yang jauh lebih besar yakni bisa mencetak dolar sesuka hati tanpa perlu colleteral. Amerika Serikat mengkhianati Bretton Woods dan menendang emas menjadi perhiasan semata. Begitulah politik. Tidak ada kawan abadi, yang ada kepentingan abadi.
Arab Saudi memang masih kaya. Tapi, itu merupakan aset, dan mereka tidak bisa mengurangi kesenangannya walau sedikit.
Tidak tanggung-tanggung, Pertamina, sebuah perusahaan minyak nasional siap dipersembahkan kepada raja minyak. Rantai produksi paling vital milik Pertamina yakni kilang-kilang pengolahan minyak siap diserahkan kepada Saudi Aramco melalui skema joint venture (JV). Hingga direktur mega proyek dalam tubuh Pertamina merancang proyek hingga Rp 700 triliun sebagai kado bagi raja minyak. Uang tersebut akan digunakan untuk membangun kilang baru, mengupgrade kilang lama, dan membangun infrastruktur minyak skala raksasa dengan sebagian kepemilikan kilang di tangan Saudi Aramco dan perusahaan asing lainnya.
Muncul pertanyaan, uangnya berasal dari mana? Bukankah Arab Saudi sendiri sedang kesulitan uang? Ternyata, uang yang diharapkan bersumber dari hasil menjual aset-aset Pertamina termasuk kilang bersama dengan Raja minyak Arab Saudi ke pasar keuangan internasional. Arab Saudi diuntungkan karena mengklaim telah mengakuisisi kilang Pertamina. Lebih dari itu Arab Saudi mendapatkan keuntungan rantai pasokan crude Oil mereka atas pasar migas Indonesia yang besar. Sementara Indonesia harus kehilangan kontrol atas kilang-kilang pengolahan minyak tersebut.
Salamuddin Daeng juga menegaskan, dengan kondisi seperti ini, Pertamina nanti terpaksa harus membeli migas pada harga pasar dari kilangnya sendiri.
(Mujib-Malik)