Berita
Azriana, Ketua KOMNAS Perempuan: Kekerasan Seksual adalah Masalah Budaya
Jumlah pelaporan terkait korban kekerasan seksual yang dialami oleh masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Selain jumlah korban, jenis dan bentuk kekerasan seksual pun makin beragam.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS PEREMPUAN) bermitra dengan Forum Pengada Layanan (FPL) yang tersebar di seluruh Indonesia, Selasa (11/10) menggelar diskusi untuk memahamkan tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, di Hotel Millenium, Jalan Fachrudin No.3 Komplek Tanah Abang, Jakarta. Acara ini dihadiri oleh 40 peserta perwakilan anggota FPL dari seluruh provinsi di Indonesia.
Dalam kesempatan itu Azriana sebagai Ketua Komnas Perempuan yang lebih akrab dipanggil Kak Nana dalam forum itu mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ini merupakan karya besar FPL dan Komnas Perempuan karena disusun berdasarkan pengalaman korban kekerasan seksual dan pengalaman pendamping korban dalam menangani kasus selama lebih dari 3 tahun.
“Kekerasan seksual tentu saja tidak akan berhenti begitu saja dengan adanya UU ini, karena masalah kekerasan seksual adalah masalah budaya. Tetapi UU ini sangat diperlukan untuk memperbaiki budaya agar lebih pantas dan layak bagi korban,”ujar Azriana melanjutkan sambutannya.
Selanjutnya Samsidar sebagai Ketua Dewan Pengarah Nasional FPL menjelaskan,“Rangkaian diskusi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini untuk membumikan harapan dan menggali tantangan apa yang mungkin muncul dalam implementasinya.”
Dalam perjalanan menuju terbitnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar segera disahkan menjadi UU maka sangat dibutuhkan kerja keras FPL sebagai gerakan sosial.
“Pemerintah tanpa adanya FPL sulit sekali melakukan pendampingan korban,” tambah Samsidar.
Sementara itu Fathurozi sebagai Tim Substansi memaparkan proses penyusunan sampai terbitnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini ditopang kontribusi 248 orang.
“Mereka berasal dari Lembaga Pengada Layanan, organisasi masyarakat baik dari bidang keagamaan maupun hukum, juga 29 Lembaga Pengada Layanan yang mengirim data sehingga menjadi dasar terciptanya 9 bentuk kekerasan seksual, termasuk 25 orang Tim Substansi, 5 Pembaca Kritis dan 5 orang Tim Penyelaras.” (Betty/Yudhi)