Berita
“Tidak ada Legacy HAM di Tahun Terakhir Kekuasaan SBY”
Peringatan Hari HAM Internasional, 10 Desember 2013
Peringatan Hari HAM yang jatuh pada tanggal 10 Desember tahun ini merupakan tahun terakhir bagi rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk membuktikan apakah rezim ini mewariskan sebuah legacy yang baik dalam pembangunan HAM di Indonesia atau sebaliknya. Kecenderungan saat ini, pembangunan HAM di masa kepemimpinan SBY justru mandeg dan terhenti, bahkan mundur ke belakang sejumlah kemajuan yang selama ini telah dicapai Indonesia semasa reformasi. HRWG mencatat kemajuan di bidang HAM rezim SBY hanya sebatas ratifikasi sejumlah Konvensi internasional HAM, kooperatif terhadap mekanisme HAM internasional, dan mendorong pemajuan HAM di tingkat ASEAN dan OKI.
Hal ini dapat dilihat dari pelbagai faktor dan indikator HAM selama 2 periode pemerintahan SBY, yaitu:
Pertama, di ranah legislasi atau kebijakan, Negara belum mampu menciptakan regulasi-regulasi yang mampu melindungi warga negara, terutama kelompok rentan minoritas, dari praktik-praktik pelanggaran HAM, baik yang dilakukan oleh Negara ataupun oleh kelompok intoleran yang menggunakan kekerasan atas nama agama. Sebaliknya, Negara justru mengeluarkan sejumlah kebijakan yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip HAM, seperti UU Penanganan Konflik Sosial, UU Organisasi Masyarakat, UU Intelijen, RUU Keamanan Nasional, yang di antaranya mengancam kebebasan sipil dan menciderai proses demokratisasi yang selama ini berlangsung di Indonesia.
Kedua, Negara belum mampu memastikan adanya perlindungan bagi kelompok minoritas di Indonesia, terutama minoritas agama dan keyakinan. Ketidakmampuan pemerintah ini tidak hanya di level praktik, namun juga dalam hal pembuatan kebijakan yang betul-betul menjamin kebebasan setiap orang untuk beribadah dan berkeyakinan. Sebaliknya, kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah justru meletakkan kelompok agama minoritas pada posisi yang semakin rentan, seperti maraknya kebijakan di tingkat pusat dan daerah yang melarang aktivitas kelompok Ahmadiyah dan Syiah, serta tingginya praktik penutupan dan pelarangan pendirian rumah ibadah. Di sisi yang lain, ribuan para penganut penghayat kepercayaan dan keyakinan belum mampu mendapatkan hak-hak identitas dan kewarganegaraannya. Termasuk pula dalam hal ini menindak tegas para pelaku pelanggaran dan kekerasan kepada kelompok minoritas.
Ketiga, pemerintah, termasuk pula jajaran aparat penegak hukum, telah gagal untuk untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, seperti kematian almarhum Munir dan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Selama dua periode kepemimpinannya, pemerintah belum mampu menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran yang pelakunya adalah oknum yang berasal dari militer ataupun intelijen.
Keempat, kegalalan pemerintah SBY dalam penegakan dan pemenuhan HAM semakin nampak terlihat dalam konteks hak ekonomi, sosial dan budaya, seperti sulitnya akses kepada kesehatan, sistem pendidikan yang carut-marut dan belum maksimalnya anggaran 20% untuk kualitas pendidikan, sedikitnya lapangan pekerjaan ataupun menjamin kebutuhan pangan bagi warga negara, serta gagalnya Indonesia mencapai target penurunan angka kematian bayi (sebagaimana capaian MDGs). Lebih dari itu, aparat pemerintah dan hukum seringkali justru terlibat dalam kekerasan berbasis sumber daya alam, pelanggaran hak-hak masyarakat adat dan pelanggaran akibat kegiatan-kegiatan tambang dan perkebunan berskala luas yang dijalankan oleh MNCs.
Kelima, dalam periode 10 tahun pemerintahan SBY, pemerintah Indonesia justru gagal untuk menjamin hak kebebasan berekspresi, berpendapat dan berunjuk rasa. Kriminalisasi ekspresi di media sosial, pendekatan represif dan kekerasan terhadap demonstrasi, pembatasan organisasi melalui UU Ormas dan kasus-kasus pelanggaran lainnya membuktikan bahwa rezim ini telah gagal membangun rezim HAM sebagaimana prinsip-prinsip internasional.
Keenam, gagalnya pemerintah membangun proteksi yang komprehensif dalam perlindungan warga negara di luar Negeri, termasuk pula kepada buruh migran Indonesia dan nelayan anak korban sindikat penyelundupan manusia di Australia. Lambatnya pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus yang menimpa TKI, baik saat keberangkatan, di luar negeri ataupun pasca pemulangan, menjadi gambaran bahwa pemerintah SBY belum cukup mampu membangun mekanisme perlindungan yang betul-betul dapat terlaksana. Dalam kasus penyelundupan manusia, pemerintah justru gagal untuk menangkap sindikat yang diuntungkan dari penyelundupan pencari suaka/pengungsi ke Australia, sementara anak-anak nelayan Indonesia terus menjadi korban penangkapan dan pemenjaraan di Australia.
Ketujuh, kebijakan luar negeri Indonesia dalam bidang HAM belum mampu memperbaiki kondisi di dalam negeri dan masih sebatas pencitraan, karena tidak didukung oleh unsur pemerintah terkait di tingkat nasional. Di satu sisi Presiden SBY menerima Award dari Appeal of Conscience Foundation (ACF), namun di di sisi yang lain persekusi dan kekerasan terhadap minoritas di dalam negeri terus berlanjut.
Kegagalan ini juga nampak dari lemahnya komitmen pemerintah untuk menjalankan rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan oleh badan PBB, seperti Rekomendasi UPR 2012 oleh Dewan HAM PBB dan Rekomendasi Komite HAM PBB untuk hak sipil dan politik 2013.
Di sisi yang lain, sebagai lembaga legislatif DPR juga tidak berkontribusi dalam pembangunan HAM di Indonesia, di antaranya adalah penolakan sejumlah partai politik di DPR untuk meratifikasi Konvensi Penghilangan Paksa yang seharusnya akan sangat bila Konvensi tersebut disahkan melalui UU oleh DPR RI pada tanggal 10 Desember 2013, bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia.
Dari beberapa catatan di atas dan dalam rangka Peringatan Hari HAM Tahun 2013, HRWG menilai bahwa rezim SBY telah gagal untuk membangun legacy positif terhadap pembangunan HAM di Indonesia selama periode kepemimpinannya sejak 2004 sampai 2014. Sebaliknya, rezim ini justru mengarahkan kebijakan HAM mundur ke belakang dan bertolak belakang dari pembangunan pencitraannya di level internasional sebagai Negara yang demokratis dan menghormati hak asasi manusia.
Jakarta, 9 Desember 2013
Rafendi Djamin, Direktur Eksekutif HRWG (Kontak: 0813 11442159)