Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Tahun Baru Hijriyah: Sudahkah Kita Merenung?

Oleh Dr. Umar Shahab, MA

1 Muharram dikenal sebagai awal tahun Hijriyah. Sebagian umat Islam menyambutnya dengan doa akhir dan awal tahun sekaligus. Sebagian lagi menambahinya dengan mengadakan tabligh akbar dan atau zikir massal. Tidak sedikit pula yang menjadikannya sebagai momentum penting untuk mengevaluasi perjalanan umat Islam selama setahun sebelumnya.

Peristiwa Hijrah tak ayal merupakan momentum penting dalam perjalanan sejarah Islam. Ada dua kali hijrah pada masa Nabi saw. Pertama, hijrah ke Habasyah di Afrika (Somalia dan atau Ethiopia) yang dipimpin oleh Ja’far bin Abu Thalib, sepupu Nabi, yang membawa sekitar empat puluhan kaum Muslimin generasi pertama. Peristiwa hijrah pertama ke Habasyah ini terjadi pada sekitar tahun kelima Kenabian atau lima tahun setelah penobatan Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah, yang membawa dampak sangat positif bagi Islam dan kaum Muslimin. Yaitu bahwa Islam dan kaum Muslimin telah mendapat tempat dan dukungan dari masyarakat di luar Mekkah, sesuatu yang semakin memperkuat ruhiyyah kaum Muslimin dan membuat mereka semakin solid dalam Islam meskipun masyarakat Mekkah terus memusuhi dan berusaha mengucilkan mereka. Kedua, hijrah ke Madinah, yang terjadi pada tahun ketigabelas Kenabian atau tiga belas tahun sesudah Nabi Muhammad saw dinobatkan sebagai nabi.

Hijrah ke Madinah jauh lebih besar dan sudah barang tentu jauh lebih prinsipil dibandingkan hijrah ke Habasyah. Pada hijrah ke Madinah, hampir seluruh kaum Muslimin Mekkah, termasuk Nabi dan seluruh keluarganya, tua-muda, besar-kecil dan laki-perempuan ikut hijrah, kecuali beberapa gelintir yang dinyatakan Alquran sebagai orang-orang yang berdosa besar (Lihat QS. an-Nisa: 97). Bahkan menarik bahwa Nabi dan keluarganya baru melakukan hijrah setelah seluruh kaum Muslimin telah tiba dengan selamat di Madinah, padahal umumnya justru para pemimpin suatu kelompok dan keluarganya memilih “lari” terlebih dahulu untuk menyelamatkan diri sebelum pengikut-pengikutnya; sebuah tanggungjawab yang luar biasa yang ditunjukkan Nabi dan keluarganya.

Pada hijrah ke Madinah kaum Muslimin tidak sekadar meninggalkan kota Mekkah untuk menyelamatkan diri dari ancaman kaum Musyrikin dan berharap suatu waktu nanti balik kembali ke Mekkah, tapi benar-benar telah meninggalkan tanah kelahiran untuk selamanya demi mempertaruhkan nasib mereka di tempat yang baru.

Itu sebabnya mengapa hijrah ke Madinah menjadi sangat penting dan bahkan dianggap sebagai pembeda antara keimanan dan kemunafikan (perhatikan QS. an-Nisa: 97 di atas). Bahkan term hijrah yang cukup banyak disinggung Alquran lebih banyak dikaitkan dengan hijrah ke Madinah ini.

Tentu saja hijrah, tak terkecuali hijrah ke Madinah, bukan satu-satunya kriteria kesempurnaan. Bahkan ketika Nabi saw menjelaskan keutamaan hijrah, beliau menegaskan bahwa jika motif hijrahnya untuk menikahi seorang perempuan atau motif duniawi lainnya maka ia hanya akan memperoleh apa yang ditujunya itu, yaitu istri dan atau dunia yang dikejarnya. Alquran juga menegaskan hal yang sama, yaitu bahwa hijrah saja tidak cukup. Hijrah harus diikuti oleh jihad di jalan Allah. Itu sebabnya Alquran banyak mengaitkan hijrah dengan jihad bi al-nafs dan bi al-maal, jihad dengan nyawa dan harta. Alquran mengatakan: “Dan orang-orang yang beriman, hijrah dan berjihad di jalan Allah dan orang-orang yang memberi tempat dan membela mereka sesungguhnya mereka adalah orang-orang Mukmin sejati. Mereka mendapat ampunan dan karunia yang mulia.” (QS. al-Anfal:74).

Namun demikian, tetap saja hijrah merupakan momentum yang luar biasa bagi Islam dan kaum Muslimin. Momentum ini harus dimanfaatkan sedemikan rupa untuk meraih cita-cita Islam sebagaimana telah dilakukan Nabi saw yang telah berhasil menggali kekuatan-kekuatan yang dimiliki Islam untuk membangun eksistensi Islam melalui keberadaannya di Madinah selepas sukses menjalankan hijrah sehingga hanya dalam hitungan jari (Nabi tinggal di Madinah hanya sepuluh tahun) Islam telah berubah menjadi kekuatan dunia baru yang sangat diperhitungkan oleh dua negara adi daya saat itu, Romawi dan Persia.

Zaman memang sudah berubah. Situasi sudah tidak sama lagi. Akan tetapi apa yang dilakukan Nabi selama sepuluh tahun keberadaannya di Madinah patut memberi kita inspirasi untuk menghadapi dan menjawab tantangan zaman kita yang semakin kompleks. Sudahkah kita mencoba merenung?

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *