Berita
Berburu Sunrise ke Bukit Kembang
Gunung Bromo! Siapa tak pernah mendengar namanya yang sudah termasyhur hingga ke mancanegara? Keindahan alam yang ada di gunung Bromo, Probolinggo, Jawa Timur, menjadi magnet tersendiri bagi wisatawan baik di dalam maupun di luar negeri. Terutama untuk menikmati keindahan matahari terbit tiap pagi hari.
Ada beberapa tempat alternatif untuk menyaksikan keindahan matahari terbit di wilayah gunung Bromo. Pertama, di wilayah Pananjakan 1 dan 2 yang masuk wilayah Kabupaten Malang. Sementara yang kedua adalah tempat yang baru populer dengan sebutan Negeri Atas Awan atau dikenal dengan istilah B29 yang masuk wilayah Kabupaten Lumajang.
Tapi ternyata kawasan wisata Bromo tak hanya punya dua tempat alternatif tersebut. Saat penulis sedang berada di Jawa Timur, tersiar kabar tentang Bukit Kembang, Desa Sapih, Lumbang, Probolinggo, Jawa Timur. Sebuah tempat dengan ketinggian 2.533 meter dari permukaan laut (MDPL) yang menawarkan pemandangan matahari terbit, meliputi Bromo dan sejumlah kota di Jawa Timur.
Tergiur dengan cerita yang diisampaikan oleh sejumlah kawan, penulis akhirnya memutuskan untuk membuktikan sendiri dan membandingkan keindahan B29, Pananjakan dan Bukit Kembang.
Setelah beberapa hari mencari informasi untuk dapat mencapai lokasi puncak, akhirnya di hari kedua penulis berkesempatan untuk langsung membuktikan isu tentang keindahan panorama Bukit Kembang. Untuk mencapai puncak Bukit Kembang, diperlukan perjuangan yang tidak ringan. Alasannya, tempat ini belum menjadi tempat wisata resmi, maka wajar jika jalur ke arahnya cukup terjal dan memacu andrenalin. Tak seperti jalur ke B29 atau Pananjakan.
Jalanan terjal dan penuh batu menjadi tantangan tersendiri. Belum lagi bagian kanan atau kiri jalan tak jarang merupakan jurang yang cukup dalam. Kadang juga harus melintasi jalanan tanah yang jika tak beruntung seteleh hujan akan menjadi licin. Sementara lebar jalan tak lebih dari satu meter. Dengan bagian kiri adalah tebing bukit dan bagian kanan adalah perkebunan milik warga yang memiliki kemiringan layaknya jurang.
Demi untuk membuktikan keindahan matahari terbit di Bukit Kembang, penulis terpaksa bermalam di rumah warga di dusun terdekat dari Bukit Kembang, Dusun Puncak Sari.
Tepat pukul 4 dini hari esok harinya, dengan menyewa jasa warga Dusun Puncak Sari, penulis diantar ke puncak Bukit Kembang yang masih berjarak sekitar 2 km dari Dusun Puncak Sari. Rute tanah liat yang diguyur hujan sebelumnya membuat jalanan semakin susah untuk dilalui. Bahkan beberapa kali kendaraan bermotor yang kami kendarai terpaksa harus berhenti dan memaksa penulis berjalan kaki sampai ke batas jalanan yang lumayan layak dilintasi kendaraan bermotor.
Setelah hampir 30 menit berjuang melewati lika-liku jalanan licin dan berlumpur, akhirnya sampailah penulis di puncak Bukit Kembang. Disini, pada saat malam hari, seolah berada di tempat dengan pemandangan dua bintang yang berbeda. Pertama adalah pemandangan bintang yang ada di atas langit yang terasa begitu luasnya dan menjadi sangat dekat. Yang kedua adalah “bintang” dari lampu-lampu beberapa kota di bawah kaki gunung seperti Pasuruan, Probolinggo dan wilayah sekitarnya.
Kini, matahari terbit telah muncul dan penulis beruntung dapat mengabadikan beberapa gambarnya. Belum lagi pemandangan gunung Bromo dengan lautan pasir yang dipenuhi dengan kabut tertimpa pancaran sinar matahari pagi seolah berada tepat di depan sebuah lukisan kanvas, karya pelukis ternama.
Keberadaan Bukit Kembang sebagai tempat wisata alternatif untuk menikmati keindahan gunung Bromo, tentu membuka sejumlah kemungkinan tempat lain di sekitar gunung Bromo yang dapat dieksplorasi lebih jauh menjadi salah satu objek wisata di kawasan gunung Bromo.
Lebih jauh hal ini membuktikan bahwa masih banyak tempat-tempat yang indah dan sangat berpotensi untuk menjadi tempat wisata di Indonesia yang sangat luas ini, sekaligus membuktikan bahwa keindahan Indonesia sudah tidak bisa dibantah lagi. Bahkan tidaklah perlu untuk berwisata ke luar negeri jika ternyata Indonesia sendiri telah menawarkan keindahan yang tiada tara. Bisa jadi memang benar Indonesia adalah belahan surga yang jatuh ke bumi.
Tentu yang lebih penting lagi adalah perjalanan penulis ini semakin menambah kecintaan penulis pada Indonesia. (Lutfi/Yudhi)