Berita
Silaturahmi Muslim-Non Muslim, Hapus Benih Takfirisme di Semua Agama
Idulfitri tahun ini penuh dengan dentuman bom dan rentetan peluru, ibarat petasan dan tetabuhan bedug. Ledakan di Bumi Hijaz, Irak, Suriah, Yaman, Palestina, Bangladesh, juga Solo, sontak menghiasi pemberitaan media massa. Kita semua tertunduk sedih dan berduka atas peristiwa mengenaskan tersebut.
Telunjuk publik pun kembali mengarah pada ISIS, militan ekstrem binaan Amerika Serikat, pimpinan Abubakar Al Baghdadi, yang kini menjadi pionir kekejian, kekejaman dan brutalitas atas nama agama. Menegasikan seluruh eksistensi selain mereka seraya menjadi penafsir tunggal teks-teks suci. Mengklaim bahwa tak ada kebenaran kecuali mereka, tak ada agama selain pahaman mereka. Maka melalui mereka, Islam berhasil terpotret sebagai agama kekerasan.
Umat Islam kembali mendapatkan pekerjaan rumah; memadamkan api kebencian publik -terutama Barat- terhadap Islam karena ulah takfiri semacam ISIS. Dampaknya, kaum Muslimin dialihkan perhatiannya dari fokus utama: bercokolnya entitas haram penjajah zionis di Tanah Suci Palestina, yang pada 10 Juli ini tepat 2 tahun peringatan Perang 51 Hari di Gaza.
Menurut Reza Amanda, pegiat Forum Antar Umat untuk Solidaritas Kemanusiaan dan Lingkungan (FAUSAN) Kabupaten Ketapang, takfiri memang tidak hanya ada dalam Islam, karena dalam keyakinan lain pun ada kelompok-kelompok kecil takfiri dengan perilaku serupa ISIS. Sayangnya media mainstream tampak enggan mengabarkannya.
“Umat beragama selaiknya mampu menjalin hubungan yang erat dan harmonis untuk mengantisipasi tumbuh suburnya benih takfirisme di masing-masing agama,” ucap Reza.
“Perlu saling kenal dan memahami masing-masing ajaran agama yang ada, sehingga kita bisa fokus pada langkah-langkah strategis ke depan bagi masyarakat,” tambahnya.
Menurut Reza, Indonesia adalah negara yang lahir dalam nuansa kebhinnekaan, sehingga memiliki akar sejarah toleransi yang kokoh dan dalam.
Reza melihat bahwa keberagaman di negeri ini adalah warisan dari para pahlawan bangsa, sehingga tindakan-tidakan represif dan intimidatif untuk menyeragamkan pahaman dan keyakinan adalah pengingkaran terhadap fakta historis Nusantara.
“Demi menjaga Indonesia, umat beragama di Tanah Air harus bersatu. Dengan latar belakang agama apapun, kita adalah rakyat Indonesia,” tegasnya pasca silaturahmi dengan Pendeta Nikodemus dari GBHI Ebenhezar, Sabtu (9/7) lalu.
Kegiatan yang dilakukan di kediaman Pendeta Nikodemus di Ketapang ini bertujuan untuk mempererat persaudaraan antar umat beragama di Kabupaten Ketapang.
“Jangan sampai upaya menjalin persatuan dilakukan ketika konflik sudah pecah, itu sama saja dengan menempel piring pecah, tetap akan ada bekasnya. Dulu semua agama di Indonesia berjuang bersama untuk kemerdekaan Republik Indonesia. Kita harus pererat terus demi keutuhan negara kita,” tegasnya.
Pendeta Nikodemus menyambut baik aktivitas yang dilakukan para pegiat FAUSAN.
“Kelompok-kelompok Islam yang menyuarakan persatuan dan persaudaraan antar umat beragama seperti ini yang akan mengharumkan dan mengagungkan Islam,” ucapnya.
Ia menyampaikan juga bahwa ke depan langkah ini harus mewujud pada kegiatan yang lebih konkret. (Reza/Yudhi)