Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Jangan Gadaikan Hidup Rakyat Pada Korporasi

Tugas Negara adalah mengayomi dan menyejahterakan rakyatnya. Itulah amanah konstitusi kita. Namun pengaruh Neoliberalisme yang begitu kuat mencengkeram membuat Negara mandul dan melepas tanggungjawabnya pada pasar atau pada korporasi.

Hal ini diungkapkan oleh pembicara dalam acara Buka Bersama dan Screening Film Rayuan Pulau Palsu di Universitas Paramadina Jakarta, Rabu (8/6).

“Tugas Negara itu menjalankan fungsinya untuk sebesar-sebesar kemakmuran rakyat. Bukan memonopoli sumber daya alam,” ujar Abdul Halim, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).

Kasus reklamasi yang terjadi tak hanya di Jakarta, tapi juga di berbagai wilayah Indonesia, menurut Abdul lebih tepat ia sebut sebagai kasus properti.

“Ini adalah isu perebutan akses SDA di pesisir. Tempat korporasi, kalau di sini Agung Podomoro dan Agung Sedayu itu merebut akses nelayan,” tambah Abdul.

KIARA mencatat, karena kerakusan developer properti ini, yang paling serius mendapat dampak adalah kaum perempuan. Karena pendapatan suaminya menurun hingga 50%, mereka terpaksa mencari alternatif dalam mencari nafkah.

“Yang terdampak bukan hanya warga Jakarta, tapi juga Jawa Barat dan Banten. Ada total 56.309 keluarga nelayan yang terdampak,” ujar Abdul.

NCICD Untuk Siapa?

Sementara Bosman Batubara dari Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) juga mempertanyakan tujuan mega proyek reklamasi NCICD ini.

“Dalam masterplan NCICD disebutkan bahwa tujuannya untuk menyiapkan perlindungan terhadap banjir, dengan alasan amblesan tanah karena ekstrasi air tanah. Padahal 80% amblesan di Jakarta itu karena pembebanan gedung-gedung,” ujar Bosman.

“Jadi kalau dilakukan reklamasi, justru akan tambah beban subsiden bangunan. Jadi justru malah akan makin banjir,” tambah Bosman.

Selain itu, juga tak ada jawaban mengenai penanganan terhadap racun di Teluk Jakarta, juga adanya penelitian terbaru dari LIPI bahwa Jakarta itu masuk daerah rawan tektonik. Semua ini tidak diperhitungkan penanganannya oleh pengembang. Bosman menilai ada politik pengetahuan di sini.

“Mereka melakukan politik pengetahuan di sini. Kasus Lapindo berulang di sini. Mereka tak mengindahkan penelitian yang sudah ada. Dan melakukan framing yang tidak benar,” kritik Bosman.

Bosman mengkritisi pembangunan yang abai terhadap kepentingan masyarakat dan lingkungan ini hanya untuk memanjakan pihak pengembang.

“Kita tak menolak pembangunan. Yang kita pertanyakan, pembangunan ini untuk siapa?” tanya Bosman. (Muhammad/Yudhi)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *