Berita
Diskusi dan Bedah Buku Menolak Hukuman Mati
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bekerja sama dengan The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), menggelar diskusi publik dan bedah buku Menolak Hukuman Mati; Perspektif Intelektual Muda di Jakarta, (3/5). Diskusi yang mengahadirkan beberapa penulis buku tersebut menawarkan perspektif baru dalam mengamati sisi lain di balik hukuman mati.
Kontroversi hukuman mati sudah muncul sejak jauh hari. Ada yang setuju lantaran merasa itu sebuah hukuman pantas bagi pelaku kejahatan tertentu. Ada yang tidak setuju lantaran banyak hal yang mesti dibenahi terlebih dahulu. Salah satu argumentasi mereka yang tidak setuju hukuman mati adalah, lantaran sistem peradilan di Indonesia masih “bobrok” dengan banyaknya mafia peradilan masih berkeliaran, dan rekayasa kasus, salah tangkap, korban fitnah, masih sering terjadi.
Eksekusi mati gelombang I dan II sudah terjadi. Eksekusi gelombang III pun sudah direncanakan. Pertanyaannya, “Kira-kira gelombang 3 bakal dilakukan nggak ya?” kata Andy Yentriyani, salah satu penulis yang menjadi pembicara saat itu, mengawali pemaparannya.
Di bagian buku “Menolak Hukuman Mati” itu ia memberi judul “Algojo di Ujung Pena: Sikap Media pada Hukuman Mati dan Akibatnya”. Sesuai judulnya, ia melakukan kajian pada media massa terkait hukuman mati.
“… Satu rezim dengan rezim lainnya punya ide politik yang berbeda. Kapan dia perlu mengeksekusi (orang-orang yang telah dituntut mati) atau tidak,” kata Andy.
Satu-satunya cara untuk mencari tahu jejak itu menurutnya, yang sampai sekarang mungkin dilakukan adalah dengan melakukan kajian pada media.
“Media di satu titik, menjadi cermin situasi politik, sosial, budaya, ekonomi pada suatu masyarakat karena posisinya adalah pewarta. Karena itu, tidaklah heran bahwa ada studi di Amerika menunjukkan jumlah dukungan terhadap eksekusi hukuman mati, ketika (jumlah dukungan itu) turun, dia akan mengubah perilaku politik dari penyelenggara negaranya,” ujarnya seraya menekankan bahwa di sisi yang lain, media jugalah yang membentuk masyarakat.
Nuansa politik dari adanya hukuman mati juga dapat dikaji melalui rentang waktu antara vonis dan eksekusi, dan momentum eksekusinya.
”Kalau zaman Soeharto momentumnya pasti menjelang Pemilu. Jadi kalau partai-partai kampanye lewat bendera, Soeharto kampanye lewat eksekusi mereka-mereka yang dituduh komunis,” kata Julius Ibrani, Koordinator Bantuan Hukum YLBHI saat memoderatori acara. (Malik/Yudhi)