Berita
Diskusi Kitab Terorisme Seri III
Setelah menggelar diskusi seri II di Wahid Institute Jakarta, lembaga Rumah Kitab (Rumah Kita Bersama) kali ini menggelar diskusi “Kitab Terorisme” seri III di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (31/5) bertema “Abu A’la Al-Maududi, Konseptor Gerakan Jihad di Pakistan dan Afghanistan”.
Dalam makalahnya berjudul Abu Al-A’la Al-Maududi (Pelopor Idiologi Jihad Radikal Islam), Roland Gunawan salah satu pembicara diskusi memaparkan bahwa Al-Maududi merupakan figur penting dalam gerakan-gerakan Islam abad modern.
“Meskipun tidak popular, tapi pengaruhnya sangat kuat,” kata Roland.
Abu A’la Al-Maududi lahir 25 September 1903 (3 Rajab 1321 H) di India Selatan. Di usia belasan tahun, semangat Nasionalismenya tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya minat terhadap dunia politik. Kepiawaiannya menulis juga mengantarkannya mendapat julukan sebagai jurnalis.
Pandangan Al-Maududi kian religius ketika ia berkenalan dengan pemimpin penting khilafah, Muhammad Ali di Delhi. Pada tahun 1921 kemudian Al-Maududi berkenalan dengan pemimpin Jam’iyah Ulama Hind (Masyarakat Ulama India), dan diangkat menjadi editor surat kabar resmi mereka, Muslim, hingga tahun 1924.
Jam’iyah mendorongnya untuk mengenyam pendidikan formal agama. Pada tahun 1926 ia kemudian menerima sertifikat pendidikan agama dan menjadi ulama.
Selanjutnya, bersama sejumlah aktivis Islam dan ulama muda, ia mendirikan Jama’at Islamiyah (Partai Islam) pada bulan Agustus 1941 M, sekaligus berkonsentrasi memimpin Jama’at Islamiyah dan menulis banyak karya. Ketika India terpecah, Jama’at juga terpecah. Bersama 385 anggota Jama’at kemudian ia memilih ke Pakistan, dan meninggal di sana pada September 1979 karena penyakit yang menimpanya.
“Pemikiran keagamaannya memiliki ciri khas tersendiri dengan bangunan yang sangat ekslusif, sebagaimana tampak pada berbagai aksi kelompok radikal keagamaan kontemporer,” papar Roland.
Salah satu pokok pemikirannya adalah al-takfir (pengkafiran) dan al-tajhil (penjahiliyahan) terhadap masyarakat yang dianggap tidak berpijak pada apa yang mereka sebut “pemerintahan Allah’. Ia juga beranggapan bahwa orang yang menentang peraturan di kalangan umat Islam, maka hak-haknya akan dicabut dan dianggap sebagai bagian dari ahl al-dzimmah – atau bisa saja ia dikafirkan dan difatwakan bahwa darahnya halal.
Gagasan semacam ini, menurut Roland, belakangan dipakai oleh kelompok-kelompok radikal untuk membunuh orang-orang di negeri-negeri mereka dan memusuhi sistem-sistem politik serta komunitas-komunitas pemikiran dan filsafat.
Sementara itu menurut Ulil Abshar Abdalla yang juga menjadi pembicara, Al-Maududi juga dianggap sebagai pelopor ideologi radikalisme di dunia Islam, sebelum Sayyid Qutb dan Abdullah Azzam yang belakangan justru lebih popular namanya.
“(Awalnya) dia mau membersihkan jihad dari citra buruk, tapi teori-teori Al-Maududi belakangan menginspirasi pemikir-pemikir seperti Sayyid Qutb yang kemudian melahirkan gerakan jihad seperti sekarang (yang justru memperburuk citra Islam),” ungkap Ulil.
Salah satu konsep Al-Maududi yang tak kalah penting menurutnya adalah keinginan mengubah sistem pemerintahan yang bukan Islam menjadi sistem pemerintahan Islam, dengan cara meruntuhkan.
Belakangan kelompok-kelompok radikal seperti ISIS menjadi bukti nyata, bahwa kelompok ini sejalan dengan pemikiran Al-Maududi. (Malik/Yudhi)