Berita
Tiga Syarat Pembangunan Bisa Disebut Demi “Kepentingan Umum”
Pembangunan yang saat ini digencarkan oleh pemerintah, tak bisa dipungkiri di beberapa tempat mengakibatkan sejumlah konflik terutama konflik agraria.
Namun seperti biasa pemerintah selalu saja beralasan bahwa pembangunan yang dilakukan adalah demi kepentingan umum. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan kepentingan umum? Serta apa saja syarat minimalnya?
Iwan Nurdin, Sekjen Konsorsium Pembangunan Agraria (KPA) dalam diskusi publik bertema “Melawan Perampasan Tanah” di Gedung Joeang, Jakarta Pusat, Selasa (31/5) mengatakan bahwa konflik agraria terbanyak karena pembangunan infrastruktur.
“Konflik agraria terbanyak adalah karena pembangunan infrastruktur atas nama kepentingan umum,” terang Iwan.
Padahal menurut Iwan, sedikitnya terdapat tiga hal yang harus dikandung dalam sebuah pembangunan yang mengatasnamakan kepentingan umum.
Pertama, pembangunannya harus lintas batas segmen sosialnya. Tidak bisa disebut kepentingan umum jika tersegmen pada satu sisi sosial saja. Contohnya adalah dalam pembangunan pendidikan tidak serta merta dapat disebut sebagai kepentingan umum jika ternyata sekolahan tersebut ternyata adalah sebuah sekolah elit.
“Rumah Sakit pun tidak serta merta menjadi kepentingan umum jika ternyata adalah Rumah Sakit elit,” jelas Iwan.
Syarat kedua adalah pembangunan tersebut bukan untuk mencari keuntungan semata atau Non Profit Oriented. Sementara di Indonesia saat ini menurut Iwan, hampir di semua lini pembangunan, pihak swasta ditarik masuk.
“Karena apa? Karena ini ada potensi keuntungannya tinggi,” ujar Iwan.
Sementara syarat yang ketiga, yang disebut kepentingan umum itu haruslah dibiayai oleh APBN dan jika pembangunannya selesai, maka operator pelaksananya adalah negara atau pemerintah.
Tiga hal tersebut menurut Iwan haruslah menjadi dasar bagi proses kepentingan umum. Tidak peduli di negara dengan ideologi apapun, istilah tanah untuk pengadaan kepentingan umum itu boleh.
“Tapi di tempat kita istilah itu telah diambil untuk hanya kepentingan bisnis dan hanya untuk menguntungkan segelintir pihak saja,” tegas Iwan.
Namun menurut Iwan, jika konsep pengadaan tanah untuk pembangunan dalam prosesnya penuh dengan korupsi dan ujung-ujungnya adalah terjadi peminggiran rakyat secara sistematis, maka hal itu tidak dapat dibenarkan.
“Saya kiira itulah yang disebut dengan perampasan tanah. Ini baru dari sisi pembangunan infrastruktur saja, belum yang lain,” tandasnya. (Lutfi/Yudhi)