Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Mengkaji ‘Syianologi’ di UI

Munculnya banyak pemberitaan yang simpang-siur dan bahkan provokasi-provokasi sektarian yang berupaya membenturkan antara Muslim Sunni dan Syiah di Indonesia,  menuai kekhawatiran banyak pihak.

Berupaya mencari kejelasan akademis secara lebih jernih, Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia melakukan Kajian Syianologi, Sabtu (28/5) di UI Depok.

Prof. Muhammad Iskandar, menyebutkan bahwa memahami Syiah ini sangat penting karena ternyata Syiah memiliki banyak kesamaan dengan Sunni.

“Kita mengkaji hal ini karena ciri-ciri Syiah kok banyak nempel di kita (Sunni). Seperti Tabuik, shalawat, tawassul, itu kan tradisinya orang Syiah. Paling erat di orang-orang Syiah. Padahal di sini, Tawassul itu di kalangan Sunni juga banyak,” ujar Iskandar.

“Dalam penulisan lama kan kita sebenarnya tidak membedakan mana Sunni mana Syiah. Nah, sekarang ada yang mempermasalahkan mana yang jejak Sunni, ternyata adalah Syiah juga,” tambah Iskandar.

Tiga Gerakan Syiah di Timteng

Dalam membahas Syiah di Timur Tengah, Musa Kazim Habsyi menyebutkan bahwa ada tiga model gerakan Syiah di Timteng. Yaitu model Muhammad Baqir Shadr di Iraq yang terinspirasi Ikhwanul Muslimin, Musa Shadr di Lebanon yang inklusif, dan model Imam Khomeini dengan gerakan politik sosial yang masif dari berbagai elemen.

“Di Iran inilah, satu-satunya ekspresi politik Syiah di abad ini yang bisa dikatakan ekspresi itu viable, hidup dan bisa berjalan,” ujar Musa.

Menurut Musa ada tiga penyebab utama Revolusi Islam Iran ini berhasil. Pertama adalah masyarakatnya homogen, kedua ada satu kepemimpinan kolektif yang sudah memiliki pasukan kader dan ketiga kondisi Timteng saat itu yang penuh kontradiksi dan memuncaknya kemuakan pada hegemoni Amerika.

Satu hal yang patut dicatat adalah, keberhasilan Imam Khomeini dengan gerakan revolusinya, tak hanya memiliki pengaruh sosial politik, tapi juga memiliki peran penting dalam perubahan kurikulum akidah atau ushuluddin Syiah.

“Revolusi Imam Khomeini itu bukan cuma revolusi dalam bidang politik, tapi dia juga berdampak pada metodologi pengajaran agama,” ujar Musa.

Upaya ‘Revisi’ Ushuluddin Syiah

Sebagaimana diketahui bahwa dalam Syiah, terbagi menjadi dua, penganut Ushulli yang filosofis dan Akhbari yang tekstual sebagaimana kaum Salafi di dunia Sunni. Dan perbedaan perspektif antara dua corak ke-Syiahan ini bahkan sangat membedakan definisi tentang ke-Syiahan itu sendiri. Dan Imam Khomeini adalah seorang penganut Ushulli.

“Imam Khomeini dan Baqir Shadr, selain melakukan gerakan politik, juga menyasar pada kurikulum pendidikan agama. Kemudian muncul apa yang kemudian disebut al-Masyru al-Islah lil Hauzah, atau proyek Reformasi Kurikulum Pendidikan Hauzah. Yang satu konklusinya, adalah mere-definisikan ke-Syiahan itu tidak lagi dengan standar Akhbari, tapi dengan standar yang lebih kritis,” ujar Musa.

Menurut Musa dan penjelasan Ushulli sendiri, susunan ushuluddin dan susunan ushul mazhab Syiah itu lebih banyak dipengaruhi oleh Akhbari.

“Contoh, bahwa keyakinan kepada Imam itu adalah keyakinan yang mutlak, itu adalah bagian dari ushuluddin. Itu adalah pendapat Akhbari yang secara keliru diterima oleh orang-orang Ushulli sebagai bahan mentah. Karena keyakinan Syiah tentang Imamah itu sendiri bukan ‘Dharurah min Dharurayatuddin’. Itu hanya pandangan (ijtihad) bahwa orang wajib meyakini adanya Imamah. Yang tidak meyakini adanya Imamah ya tidak apa-apa,” terang Musa.

“Syaikh Mufid sendiri punya buku berjudul Tashihul I’tiqadad al-Imamiyah, yaitu revisi terhadap akidah-akidah Imamiyah. Jadi sejak 1.100 tahun yang lalu, sudah muncul pikiran untuk merevisi banyak hal yang diyakini oleh orang Syiah, padahal bukan keyakinan Syiah,” tambahnya.

Upaya revisi ini sekarang banyak dilakukan oleh ulama-ulama Ushulli untuk tidak menjadikan unsur-unsur yang bersifat ijtihadi (debatable) menjadi bahan utama agama. Apalagi, Musa menjelaskan bahwa dalam pandangan Ushulli, secara keseluruhan dari keyakinan tentang Allah sampai keyakinan tentang Imam itu adalah sesuatu yang wajib diraih oleh satu upaya rasional masing-masing orang. Tidak boleh orang bertaklid dalam urusan akidah. (Muhammad/Yudhi)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *