Berita
Kasus YY Pertanda Kemunduran Peradaban
Kasus YY (13th) yang menjadi korban perkosaan massal oleh 14 pemuda pada awal April 2016 di Rejang Lebong, Bengkulu mengundang keprihatinan banyak pihak. Tak hanya di medsos, masyarakat juga menyatakan keprihatinannya dengan turun ke jalan. Bahkan hingga hari ini di tengah Car Free Day Bundaran Hotel Indonesia juga dilaksanakan aksi solidaritas untuk YY.
Membaca tragedi yang menimpa YY di pemberitaan media tentu membuat kita bertanya-tanya, mengapa kekejian seperti itu bisa terjadi? Apa yang terjadi pada masyarakat kita? Lalu bagaimana kasus YY dipandang dari sisi psikologi?
Berikut wawancara Tim ABI Press dengan Haris Herdiansyah, M.Si. Kaprodi Psikologi Universitas Paramadina.
Fenomena apa yang sebenarnya terjadi, hingga kasus keji seperti yang menimpa YY bisa terjadi?
Secara psikologis, pertama saya melihatnya dari sisi usia, sebab sebagian besar dari pelaku masih di bawah umur (remaja). Secara perkembangan psikoseksual, itu adalah masa mereka mencoba mengekplorasi aktivitas seksualnya. Jadi secara kognitif, aktivitas seksual ada di depan di dalam pikiran mereka. Dalam kondisi sadar hal itu terbentengi, terbentengi oleh nilai sosial, nilai agama, norma dan sebagainya.
Di sini pemicunya adalah minuman keras yang secara psikologis efeknya adalah pada penurunan tingkat kesadaran. Filter kesadarannya menurun, sehingga apa yang ada di depan susunan struktural kongnitif mereka yang salah satunya adalah seksualitas, jadi terlepas. Filter agama, filter nilai-nilai budaya dan sebagainya dalam kondisi kesadaran menurun, kekangan menurun, itu bobol.
Pada masa remaja, yang ada di depan pikirannya, yaitu pemikiran yang ada di mental seksnya salah satunya adalah seksualitas. Jadi ketika kesadaran menurun yang muncul ya hal itu. Orang-orang tua yang dihimpit kesulitan keuangan atau apa, begitu kesadarannya menurun, apa yang dilakukan adalah merampok, mencuri dan sebagainya.
Makanya kasus penurunan ketidaksadaran yang diakibatkan oleh minuman keras, penggunaan alkohol, obat-obatan dan lain sebagainya itu bisa bervariasi efeknya. Perilaku berikutnya juga bervariasi tergantung dari apa yang ada dalam pikiran orang itu. Secara psikologis, begitu yang terjadi.
Nah, makanya mindset itu yang mempengaruhi orang ketika tidak sadar.
Tapi dari 14 pelaku, 7 di antaranya kan juga sudah dewasa? Jadi apa yang ada dalam pikiran struktural kognitif mereka bukanlah seksual lagi seperti 7 remaja lainnya. Bukankah ini kontradiktif dengan pernyataan Anda di awal?
Nah masalah seksualitas itu bukan hanya milik remaja. Sebab pada fase berikutnya, fase dewasa awal atau dewasa madya pun kalau sebutan dalam psikologis, ya sampai menjelang dewasa akhir atau lansia, seksualitas tetap hidup, di situ bedanya. Ketika memasuki usia dewasa, penyaluran jadi lebih legal, ada pernikahan, ada sarana alat kontrasepsi, kapan pun dilakukan efeknya bisa dikendalikan dan sebagainya.
Kehidupan seksualitas, energi seksualnya tetap ada, artinya pelaku remaja dan pelaku lainnya yang sudah dewasa, seksualitas menjadi sesuatu yang ada di pikologis mereka, bedanya dalam aplikasi kesadaran kehidupan normal sehari-hari dewasa lebih bisa terkendali. Begitu.
Bagaimana Anda memandang kasus YY yang baru ramai sebulan setelah kejadian? Apa yang terjadi menurut Anda?
Iya tepat sekali! Analisis saya, antara tema politik, tema ekonomi, dan maaf tema selangka*****, punya segmennya masih-masing. Tema yang terakhir ini lebih universal segmennya. Artinya, setiap orang bisa menjadi konsumen tema-tema seksualitas. Nah, berita seperti ini bisa disetting kapan pun dan tetap laku. Barangkali dalam situasi sosial ada orang-orang yang bermain tema apa yang dimunculkan, karena ini barang laku kapan pun dikeluarkannya. Bahkan jika dimunculkan 6 bulan kemudian pun akan masih tetap laku. Langsung akan dikonsumsi oleh masyarakat, apalagi masyarakat kita sangat responsif dengan isu-isu seksualitas. Karena kita adalah masyarakat plural, karena kita masyarakat yang memegang nilai agama, sehingga seksualitas ini menjadi barang yang kontroversial, dan merupakan stimulus yang menarik untuk mendapatkan perhatian. Beda dengan di Barat ketika seksualitas itu dibiarkan bebas, topik-topik berita seksualitas tidak begitu menarik lagi bagi mereka.
Nah, di situ menariknya. Jadi dari segi budaya sendiri ini adalah topik yang potensial untuk dikonsumsi, kemudian dari segi pelaku yang pelakunya adalah remaja, ditambah lagi kondisi pada saat itu korban YY ini kondisinya memang lewat di tempat sepi yang secara kesempatan, pemerkosaan tersebut mudah dilakukan, terlebih lagi dengan kesadaran pelaku yang menurun.
Bagaimana menurut Anda tentang pandangan masyarakat, ada sebagian yang menyalahkan korban dan ada juga yang menyalahkan pelaku?
Yang ada itu adalah hawa nafsu, ndak pernah ada istilah adab nafsu. Jadi sebagai sebuah provokasi, orang bisa dengan mudah mengatakan bahwa Si Hawa yang mengundang dengan pakaian yang minim, gaya jalan yang melenggak-lenggok, bicara yang sensual, kalimatnya dan sebagainya.
Mencari siapa yang salah itu memang pekerjaan yang paling mudah dan hampir semua orang bisa melakukannya. Tapi tidak semua orang sadar, bahwa dengan menunjuk hidung siapa yang salah, masalahnya belum selesai. Bahwa ada hal lain yang harus diselesaikan. Yang menjadi pertanyaan, justru pertama adalah kalau kesadaran itu mudah diturunkan salah satunya dengan minuman keras, nilai agama, nilai sosial kenapa bisa kalah?
Bahkan pendidikan pun, mungkin di antara pelaku ada yang berpendidikan cukup tinggi, kenapa bisa kalah ini? Artinya, kita kembali bertanya, internalisasi nilai agama apa? Yang seperti apa ini? Kok ndak bisa jalan dalam kondisi kesadaran yang rendah? Nilai-nilai sosial sudah kemana sekarang? Kenapa di tempat sepi yang tidak ada polisinya, tidak ada kameranya, tidak ada masyarakat yang di situ, nilai ini tidak berlaku dan justru sikap barbar yang muncul? Pendidikan, dimana ini? Kok ndak gerak ini?
Nah, justru kalau mau cari kesalahan, saya lebih suka tiga nilai ini. Nilai pendidikan, nilai-nilai budaya masyarakat dan nilai agama. Perannya tidak muncul dalam kondisi manusia yang sedang turun kesadarannya. Begitu kan? Itu yang kita pertanyakan!
Menunjuk orang, saya kurang begitu tertarik, justru di belakang orangnya, saat kita berjalan, cara kita minum dan cara kita berbicara itu ada nilai yang mengendalikan, nilai itu yang saya pertanyakan.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Kalau kita lihat dari satu kasus YY ini, kesempatan masih terbuka peluang barbarianisme itu kembali muncul. Dengan penguatan kontrol terhadap situasi, itu juga perlu. Artinya jika memang jalan itu rawan, ya dikasih penerangan, ya dihidupkan. Jika jalan itu rawan dan tidak bisa dikasih penerangan dan tidak bisa dihidupkan, masyarakat punya mekanisme “kalau sudah malam jangan lewat situ, atau kalau mau lewat ditemani dan sebagainnya.”
Ada kontrol-kontrol dari masyarakat atau mekanisme-mekanisme yang bisa dilakukan secara struktural. Yang kedua adalah kembali mereview lagi nilai-nilai agama kita. Barangkali, secara pendidikan masih relevan atau tidakkah pola-pola yang dulu diajarkan kepada generasi yang sekarang ini? Masih bisa cocok tidak, ini? Sebab ini adalah generasi muda yang melakukan tindakan perkosaan dan pembunuhan pada YY, iya kan? Saya yakin bahwa mereka sekolah, barangkali mereka mengaji dan sebagainya. Tapi metode yang diajarkan itu gagal mempengaruhi perilaku mereka. Hal ini bisa mempertanyakan metodenya atau hal lainnya.
Kemudian yang ketiga adalah kontennya, bahwa kita sekolah untuk apa? Siapa yang mengajarkan nilai kesopanan sekarang? Di masyarakat modern yang semua orang tuanya itu bekerja. Tanggung jawab siapa ini mengajarkan pemuda sekarang? Tetang hal yang tidak boleh, tidak sopan dan lain sebagainya. Nah fungsi-fungsi sosial itu yang sekarang justru harus diangkat ke masyarakat untuk dicari solusinya.
Masyarakat modern, suami-istri bekerja, berangkat pagi pulang malam, begitu kan? Yang mengajari anaknya siapa? Nilainya siapa? Ngaji sekarang tidak melalui ustaz, lewat internet saja bisa. Sehingga tidak bisa diukur, betul tidaknya. Proses evaluasinya susah. Bagaimana cara kita bisa tahu bahwa dia paham betul tentang nilai-nilai agama itu?
Beda dengan zaman dulu, Bapak pergi keluar, Ibu ada di rumah yang mengajari sopan santun, lalu jam tiga sore setelah Ashar, anak diantar ibunya mengaji, guru ngajinya adalah tetangga juga, jadi semuanya tetap terkontrol. Evaluasinya gampang, internalisasi nilainya kelihatan. Kalau sekarang tidak seperti itu, semuanya ambigu, tidak jelas. Begitu, kalau menurut saya.
Jika kondisi ini tidak segera diperbaiki, gambaran masa depan akan seperti apa menurut Anda?
Saya khawatir akan terjadi kemunduran peradaban, dan kembali ke peradaban lepas seperti dulu. Siapa yang kuat adalah yang menang, yang berkuasa adalah yang menang. Kalau itu yang sampai terjadi, akan mengerikan.
Polanya sudah kelihatan, semua berpola meningkat. Begini, maksud saya, untuk mendapatakan sesuatu, untuk memenangkan sesuatu, yang dibangun adalah kekuatannya, kekuatan massa. Semua partai politik berlomba-lomba untuk mendapatkan massa yang banyak biar powernya tinggi. Geng-geng motor, semua direkrut biar menjadi kuat. Hal itu kan dalam rangka membangun kekuatan biar bisa menguasai sesuatu, gitu kan?
Apa bedanya dengan zaman dulu? Dulu begal-begal banyak di setiap daerah, kerajaan-kerajaan kekuatannya terletak pada banyaknya massa yang bisa mereka dapatkan. Ini sama saja balik lagi seperti dulu. Jadi nilai individu itu menjadi tidak berharga. Makanya ketika ada berita tentang penculikan, pembunuhan dan lain sebagainnya, menjadi terasa biasa di telinga. Nyawa individu itu menjadi tidak berharga lagi, menjadi begitu murah. Saya khawatirnya kesana.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa kasus YY ini adalah satu dari tanda-tanda mundurnya peradaban?
Karena lemahnya tiga hal tadi ya, pendidikan, nilai budaya dan agama. Ya, bisa (disimpulkan begitu)! (Lutfi/Yudhi )