Berita
Mendesaknya Perbaikan Kualitas Pendidikan Untuk Menjawab Tantangan MEA
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang akan diintegrasikan terhadap perekonomian global, mulai diterapkan sejak tahun 2016 ini. MEA sendiri akan menghadapkan negara-negara ASEAN tak terkecuali Indonesia ke dalam arus persaingan yang kuat. Tak hanya soal barang atau jasa, tetapi juga berdampak pada pasar tenaga kerja.
Bicara tentang persaingan, tak lepas dari bicara tentang kualitas. Pertanyaannya, apakah Indonesia sudah cukup mampu mencetak sumber daya manusia yang unggul untuk menjadi pelaku pasar dan mencetak tenaga profesional yang handal? Atau sebaliknya, hanya akan mendominasi sebagai pencetak tenaga buruh kelas bawah dengan upah murah?
Demikian juga halnya ketika kita bicara tentang kualitas sumber daya manusia, tak lepas dari bicara tentang pendidikan. Mencoba menjawab tantangan MEA ini, sekelompok pemuda yang tergabung dalam Temu Kebangsaan Orang Muda menggelar diskusi publik “Menjawab Tantangan MEA” di Griya Gus Dur Jakarta, Selasa (3/5). Sesuai dengan kolerasinya, diskusi ini menghadirkan para pembicara yang konsen di bidang pendidikan.
Salah satu pembicara, Doni Koesoema A. (Pendiri pendidikan karakter Education Consulting) menilai, kurikulum pendidikan 2013 yang diterapkan saat ini masih kurang dari harapan. Di antara yang mesti dikedepankan dalam pendidikan saat ini menurutnya adalah pengetahuan, keterampilan, karakter, metakognisi, dan spiritual.
“Kurikulum mustinya lebih bersifat fleksibel dan terdiversifikasi, bukan terpusat seperti sekarang,” papar Doni.
Dalam hal spiritual misalnya, di sekolah-sekolah cenderung lebih banyak hafalan dan ritual. Padahal semestinya, menurut Doni, pendidikan karakter seperti budi pekerti dan kepedulian sosial yang merupakan esensi dari keberagamaan itu sendiri mesti ditingkatkan. Selain itu, sikap kritis dan kreativitas anak banyak dipotong sejak kecil oleh sistem pendidikan dan kurangnya pengetahuan dan kreativitas guru pengajar.
“Kita butuh guru yang kreatif,” tegas Doni.
“Relasi antara guru dan murid harus jelas,” kata Jimmy Paat (pengamat pendidikan) yang juga menjadi pembicara.
Ia menilai saat ini relasi di sekolah-sekolah antara guru dan murid belum terbentuk. Padahal, peranan guru sangat penting bagi pengajaran anak untuk mencintai pelajaran.
“Kalau sudah cinta belajar, anak akan belajar tanpa paksaan,” terangnya.
Di sisi lain, budaya dialog, menurutnya juga perlu ditumbuhkan untuk memperoleh pemahaman-pemahaman baru. Bukan dengan membiasakan debat, yang hanya mencari menang dan kalah.
Terkait MEA sendiri Jimmy menilai Indonesia masih akan berat menghadapinya karena banyak kekurangan khususnya dalam bidang pendidikan. Dari rilis yang dibagikan saat diskusi itu disebutkan, hingga Februari 2014 jumlah pekerja berpendidikan SMP atau di bawahnya tercatat sebanyak 76,4 juta orang atau sekitar 64 persen dari total 118 juta pekerja Indonesia.
Muncul pertanyaan kemudian, dalam kontestasi MEA ini Indonesia akan memiliki peran apa? Apakah akan mendominasi sebagai penyedia tenaga kerja murah saja? Tentu kita tidak mengharapkan hal itu. (Malik/Yudhi)